Badai PHK Massal di Indonesia: Solusi atau Ancaman bagi Ketenagakerjaan?

Ilustrasi gambar/jawapos
Ilustrasi gambar/jawapos

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di berbagai sektor industri. Fenomena ini semakin mencuat akibat perlambatan ekonomi global, disrupsi teknologi, serta perubahan pola konsumsi masyarakat. Ribuan pekerja kehilangan pekerjaan, sementara perusahaan berusaha bertahan di tengah ketidakpastian.

PHK massal bukan sekadar angka statistik, tetapi juga menyangkut kehidupan keluarga yang bergantung pada pendapatan pekerja. Selain itu, meningkatnya pengangguran dapat memicu berbagai masalah lain, seperti daya beli yang menurun, ketimpangan sosial yang melebar, dan meningkatnya tekanan terhadap sektor informal.

Bacaan Lainnya

Di sisi lain, sebagian pihak melihat PHK sebagai langkah strategis bagi perusahaan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman, terutama dengan otomatisasi dan efisiensi. Hal ini menimbulkan dilema: apakah badai PHK ini merupakan ancaman bagi ketenagakerjaan atau justru solusi untuk menciptakan ekosistem kerja yang lebih fleksibel dan berdaya saing?

Dengan melihat permasalahan ini, perlu ada kajian mendalam tentang kebijakan tenaga kerja, peran pemerintah dalam melindungi pekerja, serta strategi perusahaan dalam menghadapi perubahan tanpa mengorbankan kesejahteraan buruh.

Gelombang PHK massal dan penutupan pabrik semakin marak terjadi pada awal tahun ini. Data dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mencatat bahwa dalam dua bulan pertama tahun 2025, sebanyak 44.069 buruh terkena PHK dari 37 perusahaan.

Sementara itu, pada periode Januari-Maret 2024 lalu, jumlah tenaga kerja yang terkena PHK mencapai 12.395 pekerja. Kondisi ini paling banyak terjadi di DKI Jakarta, di mana sebanyak 5.225 orang kehilangan pekerjaan pada periode tersebut. Laporan dari berbagai serikat buruh menyebut setidaknya puluhan ribu buruh terdampak PHK massal akibat penutupan pabrik, efisiensi karyawan, hingga relokasi pabrik ke wilayah atau negara lain.

Provinsi Jawa Tengah menjadi salah satu wilayah dengan angka PHK tertinggi, terutama karena penutupan pabrik PT Sritex di Sukoharjo yang mem-PHK 8.508 pekerja pada 26 Februari 2025. Selain itu, DKI Jakarta dan Jawa Barat juga mencatat angka PHK yang signifikan, dengan banyaknya perusahaan yang melakukan efisiensi atau menutup operasionalnya.

Provinsi DKI Jakarta mencatat jumlah PHK tertinggi sepanjang tahun 2024, dengan 17.085 pekerja terdampak, setara dengan 21,91% dari total nasional. Jawa Tengah menyusul dengan 13.130 pekerja terkena PHK, diikuti oleh Banten (13.042), Jawa Barat (10.661), dan Jawa Timur (5.327).

Pada awal tahun 2025 ini, PT Sritex menyita perhatian publik sejak dinyatakan pailit pada Oktober 2024 lalu. Menteri Ketenagakerjaan Yasserli mengungkapkan bahwa jumlah korban PHK di Sritex Group mencapai 11.025 orang.

PHK telah dilakukan secara bertahap sejak Agustus 2024 hingga Februari 2025. Saat ini, upah para pekerja sudah dibayarkan, namun hak-hak lainnya seperti pesangon, tunjangan hari raya (THR), manfaat jaminan hari tua (JHT), jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), dan jaminan kesehatan nasional (JKN) masih belum terbayarkan. Hal ini menjadi perhatian Kementerian Ketenagakerjaan untuk mendorong agar pembayaran tersebut dapat dilakukan sebelum Hari Raya Idul Fitri.

PT Yamaha Music Indonesia juga melakukan PHK massal di awal tahun ini. Total buruh yang terkena PHK mencapai 1.100 orang. PHK besar-besaran di perusahaan asal Jepang ini dilakukan dengan alasan relokasi produksi ke negara asal dan sebagian ke Tiongkok. Jika tidak ada solusi konkret, angka pengangguran bisa terus meningkat, PHK terjadi di berbagai sektor, dan industri nasional terancam bangkrut.

Selain itu, PT Victory Chinglu Indonesia, sebuah pabrik sepatu di Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang, melakukan PHK massal terhadap 2.400 pekerja. Dampak dari PHK massal seperti yang terjadi di tiga perusahaan tersebut sangat luas, termasuk meningkatnya tingkat pengangguran, penurunan daya beli masyarakat, dan potensi meningkatnya kemiskinan.

Selain itu, tekanan terhadap sektor informal meningkat seiring banyaknya pekerja yang beralih ke sektor tersebut demi mencari nafkah. Bagi pemerintah, meningkatnya angka pengangguran dapat menurunkan penerimaan pajak dan meningkatkan beban pada program jaminan sosial.

Pemerintah dan dunia usaha perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gelombang PHK massal ini. Beberapa solusi yang bisa diterapkan antara lain:

Pertama, penguatan industri dan daya saing lokal. Agar perusahaan tidak terus melakukan PHK akibat tekanan ekonomi, pemerintah harus memberikan dukungan nyata dalam meningkatkan daya saing industri lokal.

Pemberian subsidi atau insentif pajak bagi perusahaan yang mempertahankan tenaga kerja menjadi salah satu solusi efektif. Selain itu, sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) perlu didorong lebih jauh, mengingat sektor ini mampu menyerap banyak tenaga kerja dan memiliki ketahanan yang lebih baik dalam menghadapi krisis ekonomi.

Kedua, program reskilling dan upskilling pekerja. Perubahan industri yang pesat mengharuskan pekerja memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja saat ini. Oleh karena itu, program pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling) harus digalakkan. Pelatihan di bidang teknologi digital, seperti coding, analisis data, dan digital marketing bisa menjadi solusi bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan di sektor manufaktur.

Ketiga, diversifikasi sumber lapangan kerja. Indonesia tidak bisa terus bergantung pada sektor manufaktur dan tekstil sebagai penyerap tenaga kerja utama. Diversifikasi sektor ekonomi harus dilakukan dengan mendorong pertumbuhan di bidang ekonomi kreatif dan digital, yang terbukti mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Selain itu, sektor pertanian modern dan agribisnis dapat dikembangkan dengan menerapkan teknologi digital agar lebih efisien dan menarik bagi generasi muda.

Terakhir, perlindungan dan jaring pengaman ekonomi. Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) perlu diperluas dengan durasi bantuan yang lebih panjang dan cakupan yang lebih luas, sehingga pekerja memiliki waktu yang cukup untuk mencari pekerjaan baru. Selain itu, pemerintah dapat memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi pekerja terdampak PHK sebagai bentuk dukungan jangka pendek.

PHK massal di Indonesia merupakan tantangan serius yang tidak hanya mengancam stabilitas ketenagakerjaan, tetapi juga perekonomian secara keseluruhan. Jika tidak segera ditangani, gelombang PHK ini dapat meningkatkan angka pengangguran, memperburuk daya beli masyarakat, dan memperbesar ketimpangan sosial.

Namun, jika dikelola dengan baik, kondisi ini juga bisa menjadi momentum untuk memperkuat daya saing tenaga kerja Indonesia dan mendorong transformasi industri ke arah yang lebih modern dan adaptif terhadap perubahan global.

Untuk itu, solusi strategis harus segera diterapkan, mulai dari reformasi kebijakan ketenagakerjaan, penguatan daya saing industri lokal, hingga program pelatihan dan diversifikasi lapangan kerja.

Pemerintah, dunia usaha, dan pekerja harus bersinergi dalam menghadapi tantangan ini agar PHK massal tidak hanya menjadi ancaman, tetapi juga peluang untuk menciptakan ekosistem ketenagakerjaan yang lebih tangguh, inovatif, dan berkelanjutan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *