Adu Burung Dara dalam Kacamata Patologi Sosial: Antara Tradisi, Hiburan, dan Potensi Penyimpangan

Joki saat mengepak-ngepakkan pasangan burung merpati di atas arena ring dari ban bekas itu dalam ajang Lomba Merpati Balap Sprint di Dusun Mencorek, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

Di tengah derasnya arus modernisasi, masyarakat Indonesia masih memelihara beragam bentuk hiburan tradisional yang sarat nilai budaya. Salah satu yang masih bertahan hingga kini ialah adu burung dara, atau dalam istilah lokal dikenal dengan adu doro.

Tradisi ini tidak sekadar menjadi tontonan rakyat, tetapi juga mencerminkan kompleksitas hubungan antara budaya, moralitas, dan dinamika sosial masyarakat. Fenomena ini menarik dikaji, sebab memperlihatkan bagaimana sebuah tradisi yang semula bernilai positif dapat bergeser makna ketika kehilangan landasan moralnya.

Bacaan Lainnya

Pada mulanya, tradisi adu burung dara berakar dari kecintaan masyarakat terhadap alam dan hewan peliharaan. Dalam praktiknya, dua ekor burung dilepaskan ke udara, dan pemenang ditentukan berdasarkan kecepatan serta ketepatan burung kembali ke pemiliknya.

Kegiatan ini menuntut ketekunan, kesabaran, dan kedisiplinan. Bagi banyak komunitas, adu burung dara bukan sekadar perlombaan, melainkan ajang kebersamaan dan solidaritas sosial.

Pertemuan antarpemilik burung sering kali menjadi ruang silaturahmi yang hangat. Dari sisi psikologis, kegiatan ini juga menjadi sarana rekreasi murah yang mampu mengendurkan ketegangan hidup. Ia menjadi medium pelepas stres sekaligus ruang untuk menyalurkan hobi yang menumbuhkan rasa bangga atas hasil perawatan hewan peliharaan. Dalam bingkai seperti ini, adu burung dara sesungguhnya hadir sebagai bentuk ekspresi budaya yang bernilai luhur.

Namun, nilai-nilai tersebut mulai tergerus ketika unsur ekonomi dan taruhan masuk ke dalamnya. Dalam beberapa tahun terakhir, sebagian kegiatan adu burung dara berubah menjadi ajang perjudian terselubung.

Uang menjadi pusat perhatian, bukan lagi kecakapan melatih burung atau semangat kebersamaan. Pergeseran makna inilah yang menimbulkan kekhawatiran. Tradisi yang sejatinya mengandung nilai sosial positif justru berubah menjadi praktik yang berpotensi menyalahi norma hukum dan moral.

Perjudian sendiri merupakan fenomena sosial yang telah lama dihadapi masyarakat Indonesia. Baik dalam bentuk modern seperti taruhan olahraga, maupun tradisional seperti sabung ayam, togel, dan lomba hewan peliharaan, praktik ini pada dasarnya menempatkan keberuntungan di atas kerja keras.

Negara pun secara tegas melarangnya melalui UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, disusul berbagai aturan lain dalam KUHP dan PP No. 9 Tahun 1981. Pelarangan itu tentu beralasan, sebab perjudian terbukti dapat menurunkan produktivitas, menumbuhkan konflik sosial, hingga menjerumuskan pelakunya pada kesulitan ekonomi dan gangguan moral.

Ketika semangat taruhan menyusup ke dalam tradisi adu burung dara, nilai budaya yang seharusnya menjadi kebanggaan lokal perlahan memudar. Arena perlombaan berubah menjadi ruang pertaruhan yang rawan konflik, baik antarpeserta maupun dengan masyarakat sekitar.

Kebisingan, keributan, bahkan perkelahian sering kali menjadi bagian dari “hiburan” yang kehilangan makna. Fenomena ini memperlihatkan wajah ambivalen dari sebuah tradisi: di satu sisi memperkuat ikatan sosial, tetapi di sisi lain membuka celah bagi penyimpangan sosial yang destruktif.

Untuk mencegah pergeseran nilai yang semakin jauh, perlu langkah-langkah bijak dalam pengelolaan tradisi ini. Komunitas pecinta burung dara sebaiknya memiliki aturan internal yang tegas melarang segala bentuk taruhan, dengan menekankan aspek sportif dan rekreatif. Di sisi lain, edukasi budaya dan moral juga penting agar masyarakat memahami kembali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi tersebut.

Peran tokoh masyarakat dan aparat hukum menjadi krusial dalam menjaga keseimbangan ini. Mereka perlu aktif melakukan pembinaan, bukan sekadar penertiban. Pemerintah daerah pun dapat berperan dengan menjadikan adu burung dara sebagai bagian dari festival budaya, yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik. Dalam format seperti itu, adu burung dara bisa menjadi wahana edukatif untuk memperkenalkan kearifan lokal sekaligus menumbuhkan kepedulian terhadap satwa dan lingkungan.

Adu burung dara adalah cermin dua sisi kehidupan sosial kita. Ia dapat menjadi simbol pelestarian budaya, kebersamaan, dan harmoni sosial, tetapi juga dapat berubah menjadi sumber patologi sosial jika disalahgunakan. Pelestarian tradisi harus berjalan beriringan dengan peneguhan moral.

Menjaga tradisi tidak cukup hanya dengan mempertahankan bentuknya, tetapi juga dengan merawat makna di dalamnya. Karena itu, seluruh elemen masyarakat mulai dari pemerintah, tokoh adat, hingga komunitas pecinta burung dara.

Semua perlu memastikan bahwa tradisi ini tetap menjadi warisan budaya yang menumbuhkan nilai-nilai kebersamaan, bukan arena perjudian yang merusak tatanan sosial. Dengan pengelolaan yang bijak, adu burung dara dapat terus hidup sebagai warisan yang membanggakan, mencerminkan semangat masyarakat yang harmonis sekaligus beradab.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *