Abstrak
Fenomena keluarga yang tidak utuh akibat perceraian orang tua menjadi masalah sosial yang memberikan dampak besar pada perkembangan psikologis serta cara anak berinteraksi dengan orang lain. Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengkaji cara anak yang terdampak perceraian berinteraksi dengan anggota keluarga dengan menggunakan pendekatan teori Interaksionisme Simbolik yang dikemukakan oleh George Herbert Mead. Metode yang diterapkan adalah kajian kualitatif deskriptif yang berfokus pada literatur, dengan merujuk pada penelitian oleh Sulistyowati dan rekan-rekannya (2020) di Kelurahan Ronggomulyo, Kabupaten Tuban. Hasil dari analisis menunjukkan bahwa anak yang mengalami perceraian menganggap perceraian sebagai kejadian yang menyakitkan, yang berpengaruh kepada terbentuknya pola interaksi sosial yang bersifat disosiatif (terasing, memberontak) maupun asosiatif (hangat dan saling mendukung), tergantung pada simbol kasih sayang dan perhatian yang diperoleh dari keluarga. Teori Interaksionisme Simbolik menguraikan bahwa makna yang dihasilkan melalui interaksi sosial memiliki peran yang krusial dalam menentukan tindakan sosial anak.
Kata Kunci: Broken home, anak korban perceraian, interaksi sosial, interaksionisme simbolik
Abstract
The phenomenon of broken home families due to parental divorce is a social issue with significant impact on children’s psychological development and social interaction patterns. This article aims to analyze the interaction patterns of children as victims of divorce with their family members using George Herbert Mead’s Symbolic Interactionism theory. The method used is descriptive qualitative through literature review, particularly referring to the study by Sulistyowati et al. (2020) conducted in Ronggomulyo Village, Tuban Regency. The analysis reveals that children often perceive divorce as a painful event, which influences the formation of either dissociative (alienated, rebellious) or associative (warm, supportive) interaction patterns, depending on the symbolic gestures of love and care provided by the family. Symbolic Interactionism explains that meanings formed through social interactions play a vital role in shaping children’s social behavior. This article recommends the active involvement of families, schools, and communities in fostering supportive communication to prevent children from broken home families from engaging in deviant behavior.
Keywords: Broken home, children of divorce, social interaction, symbolic interactionism
Pendahuluan
Perceraian bukan hanya merupakan masalah orang tua. Efeknya bisa dirasakan oleh anak-anak, terutama dalam hal psikologis, emosional, dan cara mereka berinteraksi secara sosial di dalam keluarga maupun komunitas. Ketika perceraian terjadi, itu mengguncang struktur keluarga, dan anak yang masih belum dewasa secara mental sering kali menjadi korban yang harus menghadapi perubahan drastis dalam hidup mereka.
Mereka tidak hanya kehilangan sosok ayah atau ibu secara fisik, tetapi juga kehilangan stabilitas emosional, keamanan, dan kesinambungan hubungan sosial di rumah. Di Indonesia, fenomena keluarga yang berantakan menunjukkan peningkatan yang cukup mengkhawatirkan.
Data dari berbagai lembaga peradilan agama menunjukkan adanya tren kenaikan angka perceraian setiap tahunnya, dengan beragam alasan, seperti perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, serta masalah ekonomi dan komunikasi yang buruk antara pasangan. Ironisnya, dalam proses ini, anak-anak sering kali tidak memperoleh perhatian yang cukup terhadap dampak psikososial yang mereka hadapi.
Mereka dituntut untuk segera menyesuaikan diri dengan kondisi baru di keluarga, meski di sisi lain, belum tentu mereka sepenuhnya memahami apa yang sebenarnya terjadi. Fenomena ini penting untuk dianalisis secara sosiologis karena berkaitan dengan bagaimana individu, dalam hal ini anak-anak, memahami dan merespon perubahan realitas sosial.
Anak-anak tidak sekadar menjadi objek pasif yang menerima keadaan, tetapi juga merupakan subjek aktif yang memberi makna pada setiap simbol dan interaksi yang mereka alami. Saat keluarga tidak lagi utuh baik secara struktural maupun emosional, cara anak-anak memaknai dan merespon situasi tersebut sangat dipengaruhi oleh interaksi mereka dengan lingkungan terdekat terutama dengan anggota keluarga lain seperti ayah, ibu, saudara, atau figur pengganti orang tua.
Salah satu pendekatan yang tepat untuk memahami dinamika ini adalah teori Interaksionisme Simbolik, yang menekankan pentingnya simbol dan makna dalam membentuk tindakan sosial. Teori ini berpendapat bahwa tindakan manusia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor biologis atau ekonomi, namun juga oleh makna yang muncul melalui proses interaksi sosial.
Dengan kata lain, bagaimana anak-anak memahami proses perceraian, bagaimana mereka bereaksi terhadap perubahan sikap orang tua, dan bagaimana mereka berperilaku setelah perceraian adalah hasil dari proses penafsiran simbolik yang kompleks.
Melalui pendekatan ini, kita dapat melihat bahwa reaksi anak-anak yang mengalami perceraian baik berupa isolasi, perilaku nakal, maupun bentuk interaksi lainnya tidak dapat dilihat hanya sebagai masalah psikologis atau moral, melainkan sebagai bagian dari proses sosial yang dipenuhi dengan simbol, makna, dan interpretasi.
Oleh karena itu, sangat penting untuk mengeksplor bagaimana pola interaksi sosial dalam keluarga yang tidak utuh terbentuk dan apa makna yang diciptakan anak-anak dalam menjalani hubungan sosial setelah perceraian orang tua.
Metode
Tulisan ini adalah sebuah pandangan ilmiah yang didasarkan pada literatur serta analisis reflektif terhadap penelitian yang berkaitan, khususnya penelitian kualitatif yang berjudul “Pola
Interaksi Sosial pada Anggota Keluarga Broken Home” yang dilakukan oleh Sulistyowati, Kumalasari, dan Afryliani (2020). Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode kajian literatur dan analisis teori yang berfokus pada perspektif interaksionisme simbolik yang dikemukakan oleh George Herbert Mead. Sumber data utama diambil dari hasil penemuan empiris terkait interaksi antara anak-anak yang mengalami perceraian dengan anggota keluarganya di Kelurahan Ronggomulyo, Kabupaten Tuban.
Hasil dan Pembahasan
Teori Interaksionisme Simbolik adalah pendekatan dalam bidang sosiologi dan komunikasi yang fokus pada bagaimana individu menciptakan makna melalui interaksi sosial. Pendekatan ini digagas oleh George Herbert Mead, seorang filsuf dan psikolog sosial dari Chicago School, lalu disusun lebih terstruktur oleh Herbert Blumer pada tahun 1937. Blumer adalah yang pertama secara resmi memperkenalkan istilah “interaksionisme simbolik” sebagai perspektif dalam kajian sosial.
Berbeda dengan pendekatan struktural-fungsionalis atau perilaku yang lebih mengutamakan struktur atau dorongan biologis, interaksionisme simbolik melihat manusia sebagai makhluk sosial yang secara aktif menciptakan realitas melalui simbol dan makna. Dengan kata lain, tindakan manusia tidak terjadi secara otomatis sebagai reaksi terhadap rangsangan tertentu, tetapi melalui proses penafsiran terhadap simbol-simbol yang ada dalam konteks sosial.
Asumsi Dasar Teori
Blumer menciptakan tiga asumsi mendasar yang menjadi dasar utama interaksionisme simbolik:
- Manusia bertindak berdasarkan makna yang ditetapkan pada sesuatu manusia tidak bereaksi terhadap objek, kejadian, atau orang lain secara langsung, melainkan berdasarkan makna yang dihasilkan dari hal tersebut. Sebagai contoh, seorang anak akan berinteraksi dengan ayah atau ibunya bukan hanya karena mereka adalah orang tua secara biologis, tetapi karena pemahaman anak tersebut terhadap sosok ayah atau ibu yang terbentuk dari pengalaman dan interaksi sehari-hari.
- Makna berasal dari interaksi sosial Makna bukanlah sesuatu yang sudah ada secara bawaan, melainkan diperoleh melalui interaksi sosial. Seseorang akan memiliki pemahaman tertentu tentang “keluarga”, “kasih sayang”, atau “pengkhianatan” berdasarkan pengalaman berkomunikasi dengan orang lain. Proses interaksi ini bersifat berkelanjutan dan dinamis.
- Makna dimodifikasi melalui proses interpretasi Makna yang diterima oleh individu tidak bersifat statis. Setiap orang secara aktif menafsirkan, mengevaluasi, dan memodifikasi makna tersebut seiring dengan perubahan situasi dan pengalaman baru. Individu menggunakan refleksi diri untuk menyesuaikan tindakan mereka sesuai dengan makna yang terus berkembang.
Konsep-konsep dalam Interaksionisme Simbolik
Dalam teori Interaksionisme Simbolik, ada empat konsep utama yang penting untuk memahami dinamika anak-anak sebagai korban perceraian. Pertama adalah simbol, yang berarti makna yang terbentuk melalui bahasa, gerakan, atau tindakan. Contohnya, sebuah pelukan dianggap sebagai ungkapan cinta, sedangkan sikap tidak bicara dapat diartikan sebagai penolakan. Kedua, Self, yaitu identitas anak yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain.
Seorang anak dari keluarga yang tidak utuh mungkin merasa rendah diri jika mengalami perlakuan buruk atau diabaikan oleh orang tua mereka. Ketiga, pengambilan peran, yaitu kemampuan untuk melihat dari perspektif orang lain.
Anak yang sering menyaksikan pertikaian antara orang tuanya akan belajar untuk memahami peran orang dewasa, meskipun tidak selalu dengan cara yang baik. Terakhir, looking-glass self, konsep dari Charles Cooley, menggambarkan bagaimana anak menilai diri sendiri berdasarkan apa yang ia rasakan tentang pandangan orang lain terhadapnya. Jika ia merasa disayangi atau diacuhkan, ia bisa menginternalisasi identitas negatif tersebut sebagai bagian dari dirinya.
Kajian Sosial Menggunakan Pendekatan Interaksionisme Simbolik
Ditemukan dua jenis interaksi sosial pada anak-anak dari keluarga yang terpisah yang bisa dianalisis melalui teori ini:
- Pola Interaksi yang Terpisah, Anak yang tinggal dengan ayah tetapi tidak menerima perhatian emosional menunjukkan perilaku menyimpang dan interaksi yang rendah. Mereka membentuk makna bahwa keluarga sudah tidak lagi memberikan rasa aman. Simbol “keheningan”, “kekerasan verbal”, atau “pengabaian” menjadi pemicu negatif yang melahirkan respons berupa pembangkangan, penyimpangan, atau pengunduran diri dari hubungan keluarga.
- Pola Interaksi yang Terhubung Anak yang masih mendapatkan perhatian dari ibu atau anggota keluarga lain cenderung memiliki interaksi yang hangat dan sehat. Meskipun mereka masih merasakan kesedihan, makna positif yang dibangun dari kasih sayang dan komunikasi yang terbuka membuat mereka dapat menyesuaikan diri dengan baik. Simbol seperti pelukan, kata-kata penyemangat, atau perhatian kecil menimbulkan makna positif dalam pikiran anak.
Kesimpulan
Anak-anak yang berasal dari keluarga yang tidak utuh tidak otomatis menjadi individu yang bermasalah atau menyimpang. Dengan menggunakan pandangan Interaksionisme Simbolik, kita bisa melihat bahwa perilaku mereka adalah hasil dari proses panjang dalam membangun makna yang mereka peroleh dari tanda-tanda dalam keluarga baik berupa cinta, pengabaian, atau pertikaian. Hubungan yang terjalin antara anak dan anggota keluarga sangat menentukan pembentukan identitas dan pola perilaku anak di masa depan.
Oleh karena itu, dukungan emosional dari orang tua dan keluarga setelah perceraian memiliki dampak besar terhadap cara anak mempersepsikan dirinya dan lingkungan di sekitarnya. Anak-anak bukanlah pihak yang pasif, melainkan subjek aktif yang membentuk makna hidup mereka melalui pengalaman sosial. Menciptakan interaksi yang positif, meskipun dalam keluarga yang tidak lengkap secara struktur, tetap memberi kesempatan pada anak untuk mengembangkan kepribadian yang baik dan dapat beradaptasi.
Referensi
- Sulistyowati, T., Kumalasari, L. D., & Afryliani, I. W. (2020). Pola Interaksi Sosial Pada Anggota Keluarga Broken Home (Studi Interaksi Anak Korban Perceraian dengan Anggota Keluarga di Keluarahan Ronggomulyo Kabupaten Tuban). Jurnal Perempuan dan Anak
- (JPA), 3(1).
- Anwar, Yesmil. (2013). Sosiologi Untuk Universitas, Bandung: Refika Aditama. Badan Pusat Statistik. (2016). Pembangunan Ketahan Keluarga. Dipetik Maret 4, 2018, dari https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/9455b-buku-pembangunanketahanankeluarga- 2016.pdf
- Fio. (2012, Oktober 7). Perceraian (Definisi, Penyebab, Dampak, dan Cara Mengatasi). Dipetik Maret 5, 2018, dari http://fyoonamyart.blogspot.co.id/2012/10/perceraian–definisifaktorpenyebab.html
- Wijaya, Louis Nugraheni. (2012). Pola Pengasuhan Remaja Dalam keluarga Broken Home Akibat Perceraian. Surakarta: Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Sebelas Maret.





