Analisis Dramaturgi Terhadap Perilaku Frontliner Alfamart dalam Membangun Citra Profesional di Ruang Publik

Ilustrasi foto. (artcollectorz.com)
Ilustrasi foto. (artcollectorz.com)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana Teori Dramaturgi yang dikembangkan oleh Erving Goffman direalisasikan oleh karyawan Alfamart dalam melaksanakan peran mereka sebagai pelayanan masyarakat. Teori ini memandang interaksi sosial layaknya sebuah pertunjukan teater, di mana individu berperan sebagai aktor yang menyuguhkan penampilan tertentu di hadapan audiens. Dalam studi ini peneliti melakukan pengkajian dari beberapa sumber seperti buku maupun jurnal. Temuan menunjukkan bahwa para karyawan melakukan manajemen kesan secara intensif di area “front region” dengan menunjukkan senyum, kesantunan, serta sikap yang profesional. Sebaliknya, ketika mereka berada di “back region”, mereka lebih leluasa mengekspresikan emosi dan pendapat yang tidak dapat ditunjukkan di depan pelanggan. Hasil ini menegaskan bahwa teori dramaturgi relevan untuk memahami dinamika perilaku kerja di sektor layanan.

Bacaan Lainnya

Kata Kunci: Dramaturgi, karyawan, Alfamart, interaksi sosial, front stage, back stage.

PENDAHULUAN

Pertumbuhan sektor ritel modern di Indonesia menunjukkan laju yang sangat cepat, terlihat dari semakin banyaknya minimarket yang bermunculan di berbagai daerah. Alfamart adalah salah satu jaringan ritel terkemuka di Indonesia, dengan begitu dalam kegiatan operasional sehari-hari interaksi antara karyawan dan pelanggan memegang peranan penting karena secara langsung memengaruhi mutu pelayanan serta citra perusahaan di mata publik. Hal ini menunjukan peran karyawan dalam front region sangat penting untuk menciptakan bagaimana karyawan membentuk dan mempertahankan citra profesional saat berhadapan dengan konsumen.

Dalam hal ini, teori dramaturgi yang dikemukakan oleh Erving Goffman menjadi landasan teoritis yang tepat untuk menelaah bagaimana karyawan membentuk dan menjaga penampilan profesional mereka di hadapan khalayak.

Goffman memandang bahwa kehidupan sosial mirip dengan panggung pertunjukan, di mana setiap individu menjalankan peran tertentu demi membangun kesan yang diinginkan (Goffman, 1959). Berdasarkan pandangan ini, perilaku karyawan frontliner dapat dipahami sebagai upaya menunjukan sisi citra diri yang positif, sedangkan ketika sudah melepas seragam atau saat jam kerja sudah berakhir, mereka akan mengeluarkan sisi kepribadian sesungguhnya atau apa adanya yang dinamakan “back region”.

Penerapan teori ini dalam lingkungan kerja, seperti yang terjadi pada karyawan Alfamart, dapat membantu menjelaskan bagaimana mereka mengelola penampilan, emosi dan perilaku saat berinteraksi dengan pelanggan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini mengadopsi pendekatan kualitatif, sebagaimana dijelaskan oleh Bogdan dan Taylor (1975) bahwa metode ini bertujuan menghasilkan data deskriptif berupa tuturan lisan maupun tulisan dari individu, serta perilaku yang dapat diamati.

Penyajian data dalam penelitian ini bersifat deskriptif, dengan tujuan utama untuk merangkum berbagai keadaan, situasi, atau fenomena sosial yang terjadi di tengah masyarakat yang menjadi fokus penelitian.

Melalui pendekatan ini, peneliti berusaha mengungkap karakteristik dari fenomena yang muncul, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih luas dan utuh mengenai kondisi sosial yang diamati. (Bungin, 2001:48; Paradigma, Vol. 5, No. 3, 2017).

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana individu menjalankan peran mereka mulai dari self presenting, sampai di area “front region” maupun “back region” selama menjalankan aktivitas kerja. Melalui pendekatan ini, peneliti berusaha mengungkap bagaimana strategi penyajian diri dibangun dan dipelihara dalam konteks profesional melalui pengelolaan impresi yang dilakukan secara sadar oleh aktor sosial. Bungin, Burhan. (2001).

KAJIAN TEORI

  • Self Presenting

Self-presenting adalah proses di mana seseorang sengaja membentuk citra dirinya di hadapan orang lain agar terlihat seperti yang diinginkan. Menurut Goffman (1995), ekspresi diri dilakukan untuk memahami situasi sosial dan membentuk identitas, dengan tujuan memengaruhi interaksi sosial yang terjadi. Hal ini bisa sesuai atau bahkan berbeda dari keadaan sebenarnya. Taylor, Pepperland, dan Sears (2009) menyebut ekspresi diri sebagai cara seseorang mengatur hubungan sosialnya, sedangkan Baron dan Byrne (2004) percaya bahwa manusia secara naluriah ingin terlihat baik demi meninggalkan kesan positif pada orang lain dalam berbagai situasi.

Dalam buku *The Presentation of Self in Everyday Life*, Goffman menjelaskan bahwa setiap individu seperti aktor di atas panggung. Mereka mengatur latar, peran, dan cara tampil demi menyampaikan kesan tertentu kepada audiens. Di wilayah depan (front region), orang akan menunjukkan sisi terbaiknya. Bagi Goffman, strategi ini penting untuk mencapai tujuan pribadi dan memperkuat identitas sosial yang diinginkan (Goffman, 1995; Felldman, 1995).

Dalam menyusun kesan diri, Goffman membagi strategi presentasi diri ke dalam beberapa bagian penting. Pertama, performa adalah segala tindakan yang dilakukan untuk membentuk kesan tertentu tentang diri seseorang atau situasi yang sedang berlangsung. Kedua, ada setting atau panggung, yaitu semua perlengkapan atau elemen yang dipakai untuk mendukung penampilan, seperti tempat dan suasana. Ketiga, penampilan (appearance) mencerminkan hal-hal yang berkaitan dengan fisik atau atribut diri seperti pekerjaan, usia, prinsip hidup, serta gaya berpakaian. Terakhir, tingkah laku (manner) menggambarkan sikap atau cara berinteraksi yang menunjukkan niat atau karakter seseorang (Goffman, 1995).

  • Teori Dramaturgi

Teori dramaturgi yang dikembangkan oleh Erving Goffman merupakan bagian dari pendekatan interaksionisme simbolik yang memandang kehidupan sosial layaknya sebuah drama. Dalam pandangan ini, individu digambarkan sebagai aktor yang memainkan berbagai peran di hadapan audiens, sesuai dengan latar, situasi, dan tujuan sosial tertentu. Identitas manusia, menurut Goffman, bersifat tidak tetap dan dapat berubah tergantung konteks serta siapa yang menjadi lawan interaksi (Ulfah et al., 2016).

Berbeda dari teori lain yang menekankan pada alasan di balik tindakan, dramaturgi lebih fokus pada cara seseorang menyampaikan tindakannya. Goffman menekankan bahwa tindakan manusia sarat dengan ekspresi yang bersifat impresif, di mana setiap perilaku memiliki nilai dramatik (Mulyana, 2003). Konsep “diri” dalam dramaturgi bukanlah milik individu sepenuhnya, melainkan hasil dari interaksi antara aktor dan audiens dalam suatu situasi sosial tertentu. Oleh karena itu, citra diri yang dibangun seseorang dalam interaksi sosial sangat rentan terganggu karena sifatnya yang situasional dan performatif (Ritzer, 2014). Teori ini menekankan bahwa manusia memiliki kontrol atas bagaimana mereka menampilkan diri dan mengelola kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain.

  • Karyawan Alfamart

Karyawan Alfamart membentuk karakter kerja yang kuat dan tangguh saat menjalankan tugas, termasuk dalam menyikapi kebijakan atasan. Mereka tetap bersikap ramah, bersahabat, dan profesional ketika melayani pelanggan yang datang ke toko. Permasalahan internal antara sesama karyawan, seperti pramuniaga dan kasir, sebisa mungkin tidak dibawa keluar dan tidak diketahui oleh atasan, termasuk kepala toko maupun pihak manajemen pusat. Menurut mereka, kepala toko cenderung tidak peduli dengan keluhan pribadi maupun rasa tidak nyaman yang dirasakan karyawan, dan pihak manajemen pusat pun jarang turun langsung melihat kondisi toko. Oleh karena itu, segala bentuk masalah di toko biasanya ditanggung dan diatur oleh kepala toko sebagai perpanjangan tangan dari manajemen.

Ketika karyawan dan kepala toko sedang dalam masalah, mereka akan mempertahankan sikap profesionalisme. Para karyawan akan tetap fokus memberikan pelayanan terbaik, tidak menunjukkan masalah internal yang sedang terjadi. Mereka tersenyum saat berinteraksi dengan pelanggan, dan terlihat akrab serta sesekali bercanda dengan kepala toko di depan umum. Hal ini tampak dari keramahan dalam percakapan mereka, penggunaan intonasi suara yang sopan, serta gerakan tubuh atau gestur yang menunjukkan sikap hormat dan menyenangkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

  • Self Presenting yang di perlihatkan oleh Karyawan Alfamart

Personal front yang ditampilkan oleh karyawan Alfamart memang berbeda-beda, tapi pada dasarnya mereka ingin menciptakan kesan sebagai sosok yang ramah, hangat, dan mudah didekati layaknya teman. Selain menjalankan tugas untuk menjaga hubungan baik dengan pelanggan, mereka juga memiliki kepentingan pribadi seperti membangun relasi atau mencari peluang kerja lain melalui interaksi dengan pembeli yang mungkin memiliki koneksi luas.

Dalam interaksi ini, simbol-simbol sosial digunakan sebagai alat komunikasi, sesuai dengan pandangan Goffman yang menggabungkan dramaturgi dan interaksionisme simbolik. Dramaturgi menekankan pentingnya ekspresi diri dalam interaksi, di mana perilaku manusia dinilai bukan hanya dari apa yang dilakukan, tetapi bagaimana mereka melakukannya secara ekspresif dan impresif, sehingga menjadikan tindakan manusia bersifat dramatik.

  • Perilaku Fornt Liner Karyawan Alfamart pada Front Region

Front region adalah ruang di mana seorang individu menunjukkan “penampilan resmi” mereka. Bagi karyawan Alfamart, front region terjadi saat mereka berada di area toko, khususnya di kasir, rak display, atau saat menyambut konsumen.

Di ruang ini, karyawan dituntut untuk tersenyum, bersikap ramah, dan melayani dengan sopan—tidak peduli suasana hati atau kondisi pribadi mereka. Mereka mengenakan seragam, menjaga postur tubuh, dan menggunakan sapaan formal seperti:

“Selamat datang di Alfamart, ada yang bisa dibantu?” Semua ini adalah bagian dari “performa” mereka dalam mempertahankan citra profesional di mata pelanggan. Dalam hal ini, penampilan dan gaya bicara adalah bagian dari strategi untuk membentuk kesan tertentu (impression management) kepada publik.

  • Perilaku Karyawan Alfamart pada Back Region

Back region karyawan Alfamart sangat beragam, tergantung pada karakter pribadi dan latar belakang keluarga masing-masing. Ada karyawan yang saat di depan terlihat rapi, ramah, dan menarik, namun di balik layar justru menunjukkan sisi yang berbeda, seperti cuek terhadap penampilan, terlihat lusuh, dan kurang menjaga kebersihan.

Dari data yang dihimpun peneliti, diketahui bahwa sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah, bahkan ada juga yang berasal dari keluarga broken home dan sering mengeluhkan perlakuan tidak adil, seperti diskriminasi serta eksploitasi selama bekerja.

Dalam konteks penelitian ini, perilaku sosial karyawan Alfamart diamati baik saat mereka tampil di panggung depan maupun di belakang. Kehidupan mereka dapat diibaratkan seperti sedang memainkan sebuah peran dalam pertunjukan drama, yang sering kali tidak mencerminkan keadaan asli yang mereka alami.

Semua itu dilakukan bukan hanya untuk menciptakan kesan tertentu di hadapan pelanggan atau atasan, tetapi juga sebagai bentuk strategi untuk mendapat pengakuan atau penghargaan atas peran profesional yang mereka tampilkan setiap harinya.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis menggunakan teori dramaturgi dari Erving Goffman, dapat dipahami bahwa karyawan Alfamart membentuk citra diri melalui dua sisi kehidupan kerja, yaitu panggung depan dan panggung belakang, sesuai dengan peran sosial yang sedang mereka mainkan.

Pada panggung depan, mereka dituntut untuk selalu tampil ramah, sopan, penuh senyum, dan profesional ketika berhadapan langsung dengan pelanggan, terlebih saat diawasi oleh kepala toko.

Penampilan ini tidak hanya bertujuan untuk memberikan kenyamanan kepada pelanggan, tetapi juga untuk membangun persepsi yang baik di mata atasan serta lingkungan kerja secara umum. Pola komunikasi antara karyawan dan atasan pun memperlihatkan hubungan timbal balik yang diwarnai oleh proses simbolik dalam menyampaikan pesan-pesan sosial.

Di sisi lain, kehidupan di balik layar atau panggung belakang para karyawan justru menunjukkan realitas yang jauh lebih rumit dan tidak seideal yang tampak di permukaan. Berbagai tantangan mereka hadapi, mulai dari kondisi ekonomi yang terbatas, latar belakang keluarga yang sulit, hingga adanya keluhan mengenai perlakuan yang dirasa tidak adil di tempat kerja.

Meskipun begitu, mereka tetap mampu menjalankan perannya secara konsisten demi mempertahankan citra positif di hadapan pelanggan maupun atasan. Ini menunjukkan bahwa strategi self-presenting yang mereka terapkan bukan sekadar bentuk pencitraan semata, melainkan juga sebagai upaya penyesuaian diri yang penting dalam menjaga peran dan relasi sosial di lingkungan kerja Alfamart.


DAFTAR PUSTAKA

  • Goffman, E. (1959). The presentation of self in everyday life. Anchor Books.
  • Ulfah, N. S., & Khaerunnisa. (n.d.). “Self Presentation Remaja Dalam Media Sosial Instagram.
  • Ritzer, G. (2014). Teori sosiologi modern (Edisi 7). Kencana.
  • Wulandari, A., & Fadilah, N. (n.d.). Representasi diri karyawan minimarket dalam interaksi sosial.
  • Sofian. (n.d.). Pengelolaan diri karyawan frontliner di minimarket: Kajian teori dramaturgi.
  • West, R., & Turner, L. H. (2017). Introducing communication theory: Analysis and application (6th ed.). McGraw-Hill Education.
  • (n.d.). Analisis sikap konsumen terhadap program corporate social responsibility (CSR) berupa donasi pada bisnis ritel Alfamart.
  • Bangsawan, T. N. (n.d.). Dramaturgi karyawan di Ikatan Pemuda Mandiri Coffee Jombang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *