Analisis Hegemoni Patriarkal dalam Serial Netflix “Gadis Kretek”: Perspektif Teori Antonio Gramsci

Poster serial Gadis Kretek. (Netflik)
Poster serial Gadis Kretek. (Netflik)

Serial Netflix Gadis Kretek (2023), adaptasi dari novel karya Ratih Kumala, bukan sekadar drama romantis berlatar industri kretek era 1960-an hingga 1980-an. Serial ini menjadi cermin kebudayaan yang menyimpan berbagai lapisan makna, terutama dalam melihat bagaimana hegemoni patriarkal bekerja, direproduksi, dan dalam beberapa hal ditantang di tengah masyarakat Indonesia yang terus berubah.

Konsep hegemoni dari Antonio Gramsci menjadi kacamata yang relevan dalam membedah bagaimana dominasi laki-laki dalam struktur sosial tidak selalu dipertahankan melalui kekerasan atau paksaan, melainkan melalui konsensus dan apa yang disebut sebagai “akal sehat”.

Bacaan Lainnya

Dalam konteks Gadis Kretek, hegemoni patriarkal ditampilkan lewat mekanisme halus yang membentuk peran gender, ekspektasi sosial, serta pembagian kekuasaan yang tampak alamiah namun sejatinya bersifat ideologis.

Tokoh utama Dasiyah (diperankan oleh Dian Sastrowardoyo) menjadi representasi perempuan yang tidak hanya menghadapi batasan fisik dan ekonomi, tetapi juga ideologi patriarkal yang telah terinternalisasi dalam struktur masyarakat Jawa.

Dalam banyak hal, perempuan di serial ini digambarkan sebagai tenaga kerja yang terampil, namun tetap termarjinalkan dalam struktur produksi dan narasi sejarah industri kretek. Penempatan perempuan sebagai pelengkap atau bahkan objek dari tokoh laki-laki menunjukkan bagaimana norma sosial membentuk kesadaran kolektif.

Gramsci menyatakan bahwa hegemoni tidak hanya bersifat represif, namun juga adaptif. Maka, perubahan sosial seperti masuknya teknologi dan modernisasi tidak serta merta menggeser kekuasaan patriarkal.

Alih-alih melemah, kekuasaan ini justru bertransformasi secara pasif. Perempuan memang masuk dalam ruang kerja, namun peran mereka tetap dibatasi oleh norma patriarkal, diperhalus dalam bentuk romantisasi peran tradisional perempuan yang tunduk namun cakap.

Netflix sebagai platform global juga menciptakan dimensi lain dari hegemoni, yakni hegemoni kultural global. Narasi lokal seperti industri kretek dan budaya Jawa disesuaikan dengan selera global yang berujung pada komodifikasi budaya. Dalam kondisi ini, Gadis Kretek menjadi ruang kontestasi antara nilai lokal dan global, antara resistensi dan konsolidasi patriarki.

Meski Dasiyah diposisikan sebagai protagonis, narasi keahliannya kerap divalidasi oleh pengakuan laki-laki. Ia diperbolehkan masuk ke dunia kretek, namun dalam batas yang dikontrol oleh relasi kuasa patriarkal.

Dasiyah tetap didefinisikan melalui relasinya dengan laki-laki, entah sebagai istri, anak, atau ancaman yang harus dikendalikan. Ini mencerminkan apa yang disebut Gramsci sebagai operasi hegemoni modern—bukan dalam bentuk larangan eksplisit, tetapi melalui legitimasi budaya yang diterima sebagai wajar.

Kekuatan serial ini justru terletak pada ruang subversif yang dihadirkan Dasiyah. Ia tidak melawan secara terang-terangan, tetapi menegosiasikan identitasnya melalui strategi yang halus. Menggunakan pengetahuan tentang rempah wilayah “feminin” yang dianggap rendah ia menunjukkan bahwa perempuan bisa memiliki kekuatan ekonomi yang setara. Pengetahuan yang dianggap minor ini menjadi alat untuk merebut ruang dalam sistem maskulin.

Melalui strategi peniruan dan apropriasi, Dasiyah menunjukkan bahwa perempuan bisa menguasai wilayah yang sebelumnya diklaim milik laki-laki. Ia menciptakan identitas hibrid perempuan yang tetap menggunakan keahlian tradisional namun memiliki kendali dalam dunia bisnis. Ini adalah bentuk perlawanan yang tidak frontal, tetapi cukup menggoyahkan struktur dominasi.

Namun, perlu dicatat bahwa serial ini masih terjebak dalam narasi individualisme. Keberhasilan Dasiyah digambarkan sebagai hasil perjuangan personal, bukan kolektif. Ini menjadi titik kelemahan dalam potensi transformasi hegemoni yang lebih besar.

Representasi perempuan dalam media yang terlalu fokus pada “perempuan luar biasa” justru berisiko mengabaikan pengalaman perempuan “biasa” yang tetap berada dalam struktur ketidakadilan.

Secara estetika, serial ini juga menghadirkan tantangan. Penggambaran perjuangan perempuan cenderung diromantisasi. Keindahan sinematografi bisa menjadi jebakan karena mengaburkan realitas penindasan yang dihadapi tokoh-tokohnya. Hal ini menunjukkan bagaimana media populer bisa menjadi arena perang posisi, tetapi juga ruang domestikasi makna yang berpotensi melanggengkan status quo.

Dalam konteks produksi, Gadis Kretek menunjukkan bagaimana hegemoni global dan lokal saling melengkapi. Netflix menyesuaikan konten lokal agar bisa diterima global, namun dalam proses itu terjadi reduksi makna budaya. Kretek, sebagai simbol maskulinitas lokal, diromantisasi untuk konsumsi global. Budaya Jawa dikemas secara estetis namun kehilangan kompleksitas sosial-politiknya.

Gramsci menyebut bahwa transformasi hegemoni memerlukan keterlibatan kolektif dalam produksi pengetahuan. Untuk melampaui narasi seperti Gadis Kretek, perlu ada produksi intelektual organik yang mampu menciptakan narasi tandingan dan memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan gender secara struktural, bukan hanya simbolik. Ini menuntut keterlibatan akademisi, seniman, aktivis, dan komunitas untuk membangun blok historis baru yang menyatukan kekuatan-kekuatan progresif.

Sebagai teks budaya, Gadis Kretek berkontribusi dalam “perang posisi” melawan hegemoni patriarkal. Ia memberi visibilitas pada pengalaman perempuan, menantang dominasi maskulin dalam sejarah industri kretek, dan menunjukkan potensi resistensi. Namun, tanpa dukungan struktur produksi yang setara dan narasi yang lebih kolektif, potensi ini tetap terbatas.

Media populer seperti Gadis Kretek bisa menjadi titik awal untuk refleksi kritis tentang gender dan kekuasaan. Tetapi, perubahan struktural memerlukan strategi kontra-hegemoni yang melampaui layar. Literasi media, partisipasi perempuan dalam produksi konten, dan penguatan narasi alternatif menjadi kunci dalam perjuangan jangka panjang menuju transformasi sosial yang adil dan setara.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *