Analisis Kritis Musik Video “Berita Kehilangan” oleh .Feast: Diskursus, Kekuasaan, dan Makna dalam Budaya Populer

Musik video “Berita Kehilangan” dari grup musik .Feast bukan sekadar suguhan hiburan. Karya ini hadir sebagai refleksi dari keresahan sosial yang terus membayang di kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan lirik tajam dan visual yang sarat simbolisme, video ini berhasil menyentil isu-isu penting seperti intoleransi, kekerasan, dan polarisasi sosial yang kian meruncing.

Di tengah dominasi media arus utama yang kerap mereproduksi narasi-narasi kekuasaan, kehadiran karya seperti ini membuka ruang alternatif bagi masyarakat untuk merenung dan bertanya: mengapa realitas sosial kita menjadi seperti ini, dan bagaimana sebaiknya kita menyikapinya?

Bacaan Lainnya

Pemikiran Michel Foucault menjadi relevan untuk memahami kekuatan di balik narasi yang dibangun dalam karya ini. Foucault menyatakan bahwa diskursus tidak hanya berkaitan dengan apa yang dikatakan, tetapi juga siapa yang berhak berbicara, dalam konteks apa, dan bagaimana kebenaran dibentuk dan diterima masyarakat. Kekuasaan menurutnya tidak melulu bersifat represif, melainkan justru halus dan mengakar melalui bahasa, simbol, dan wacana yang mengatur cara berpikir.

Dalam konteks musik video “Berita Kehilangan”, .Feast dengan sadar membentuk diskursus tandingan terhadap narasi dominan yang kerap menormalisasi kekerasan dan intoleransi. Melalui karya ini, mereka menciptakan ruang simbolik tempat berbagai makna diperebutkan. Musik video ini bukan hanya medium artistik, tetapi juga arena pertarungan ideologis.

Salah satu kekuatan utama video ini terletak pada liriknya yang politis dan berani. Kalimat seperti “kebencian takkan pernah menang karena beberapa orang memaafkan” menjadi pernyataan perlawanan terhadap gelombang kebencian yang merasuki ruang sosial, baik secara langsung maupun melalui media digital. Lirik-lirik tersebut bukan sekadar ungkapan emosional, melainkan penolakan terhadap normalisasi kekerasan yang secara halus dibentuk oleh kekuatan tertentu.

Di sisi lain, visualisasi dalam video ini menghadirkan gambaran yang kuat tentang ketegangan sosial. Wajah-wajah muram, simbol kehilangan, hingga gambaran konflik sosial bukan sekadar penambah estetika, tetapi justru mempertegas pesan yang ingin disampaikan. Visual ini menjadi ruang reflektif bagi audiens untuk menyadari bahwa realitas sosial kita tengah berada dalam krisis, dan butuh respons yang kritis pula.

Melalui pendekatan Foucault, video ini dapat dibaca sebagai upaya untuk menantang hegemoni narasi dominan. Karya ini tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi juga menawarkan tafsir baru yang membebaskan. Musik video menjadi medan di mana resistensi terhadap kekuasaan beroperasi secara halus, namun berdampak.

Tidak dapat disangkal bahwa budaya populer memiliki peran yang sangat strategis dalam membentuk pemahaman publik. Meski sering dianggap remeh atau sekadar hiburan, budaya populer seperti musik video justru menjadi arena negosiasi makna dan kekuasaan. Dalam kasus .Feast, mereka berhasil memanfaatkan medium ini untuk menyuarakan perlawanan, memperluas kesadaran, serta memicu diskusi.

Musik video ini membuktikan bahwa seni dapat memainkan peran sebagai agen perubahan sosial. Ia menjadi alat untuk menantang narasi mapan, membuka ruang bagi suara-suara yang terpinggirkan, dan membangun solidaritas sosial, khususnya di kalangan generasi muda yang lebih akrab dengan medium digital.

Namun demikian, penting untuk menyadari adanya risiko kooptasi. Industri budaya dan media sosial memiliki kecenderungan untuk mengubah pesan kritis menjadi komoditas yang kehilangan daya subversifnya. Pesan mendalam dapat dengan mudah dijinakkan dan dibungkus dalam kemasan yang “ramah pasar”, sehingga kehilangan substansi aslinya.

Oleh karena itu, apresiasi terhadap karya seperti ini seharusnya tidak berhenti pada tataran estetika semata. Diperlukan refleksi kritis yang berkelanjutan, agar karya ini menjadi bahan diskusi dan aksi nyata.

Makna dalam karya seni tidak bersifat mutlak. Ia selalu terbuka untuk ditafsirkan ulang tergantung siapa audiensnya dan dalam konteks apa karya tersebut dikonsumsi. Dalam dunia yang diatur oleh algoritma dan tren, makna kritis bisa tereduksi menjadi konsumsi sesaat. Karena itulah, kita perlu membangun kesadaran akan pentingnya membaca secara aktif dan kontekstual.

Sebagai langkah praksis, musik video ini sepatutnya digunakan sebagai alat edukasi di ruang-ruang diskusi, kelas, maupun komunitas. Melibatkan publik dalam membedah makna di balik simbol, lirik, dan narasi akan memperkuat posisi karya seni sebagai katalis perubahan.

Kolaborasi lintas bidang, antara musisi, akademisi, aktivis, dan masyarakat sipil sangat penting untuk memperluas jangkauan dampak sosial dari budaya populer.

Dalam konteks ini, gagasan Stuart Hall dalam kajian Cultural Studies memberi sumbangan penting. Hall menekankan bahwa audiens tidak pasif. Mereka bisa menerima, menegosiasikan, atau bahkan menolak makna yang ditawarkan oleh media. Dalam hal ini, audiens memiliki kuasa untuk membentuk ulang makna dan menciptakan narasi tandingan yang lebih sesuai dengan realitas dan nilai-nilai kemanusiaan yang diyakini.

Musik video “Berita Kehilangan” membuka peluang itu. Ia menjadi ajakan untuk melihat ulang realitas sosial secara kritis. Ia menggugat narasi dominan, dan mengajak audiens untuk tidak hanya menjadi konsumen, melainkan juga aktor dalam proses perubahan. Budaya populer tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Ia adalah medan perjuangan ideologis, tempat di mana makna, kekuasaan, dan perlawanan bertemu.

Tantangan ke depan adalah menjaga agar ruang-ruang diskursif seperti ini tetap hidup dan berdaya. Kita perlu memastikan bahwa karya seni tidak kehilangan tajinya karena tekanan pasar atau algoritma media sosial. Refleksi kritis dan tindakan praksis adalah dua kunci penting untuk memastikan keberlanjutan gerakan sosial melalui medium budaya.

Musik video “Berita Kehilangan” oleh .Feast menunjukkan bahwa budaya populer mampu melampaui batasan hiburan. Ia menjadi medium yang kuat untuk menggugat ketidakadilan, membangun solidaritas, dan mendorong transformasi sosial.

Dengan pendekatan analisis dari Foucault dan Hall, kita dapat memahami bahwa seni bukanlah ruang kosong, melainkan penuh makna dan potensi perubahan. Kini, tinggal bagaimana kita sebagai audiens menanggapi: apakah akan tetap pasif, atau mengambil peran aktif dalam mendorong keadilan dan kemanusiaan melalui budaya?

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *