Sumatera Barat merupakan daerah tempat tumbuh dan berkembangnya suku Minangkabau. Minangkabau adalah salah satu etnis terbesar di Indonesia yang memiliki adat dan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Wilayah ini kaya akan budaya, dengan sistem sosial yang mengakar pada nilai kebersamaan. Tak mengherankan jika Sumatera Barat memiliki banyak bentuk kesenian lisan yang khas, unik, dan menarik perhatian.
Salah satu di antaranya adalah bagurau, sebuah kesenian yang tak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi sarana berbagi dan mempererat ikatan sosial.
Mendengar kata bagurau, sebagian orang mungkin langsung membayangkan sebuah pertunjukan musik tradisional Minangkabau yang dipenuhi canda-tawa dan cerita lucu. Namun sebenarnya, bagurau menyimpan makna yang jauh lebih dalam.
Ia bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga bagian dari sastra lisan Minangkabau yang sarat nilai budaya, spiritualitas, serta kebersamaan. Salah satu aspek paling menarik dalam tradisi ini adalah adanya sesi galang dana, yang secara spontan muncul dari interaksi antara pemain dan penonton sebagai bentuk apresiasi, dukungan, sekaligus perwujudan solidaritas sosial.
Secara etimologis, bagurau berarti bercanda atau bersenda gurau. Meski terkesan santai dan ringan, dalam praktiknya kesenian ini menjadi ruang publik informal tempat masyarakat Minangkabau saling bertukar cerita, berdiskusi, bahkan merancang bentuk-bentuk dukungan sosial.
Dari ruang inilah inisiatif penggalangan dana tumbuh secara alami—sebuah bukti bahwa humor dan hiburan dapat menjadi pintu masuk untuk menciptakan rasa saling peduli yang mendalam.
Contoh praktik bagurau yang paling menonjol dapat dijumpai di Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang. Di sana, para pemain bagurau melantunkan dendangan pantun yang khas, diiringi alat musik tradisional seperti saluang atau rabab.
Pertunjukan ini dipimpin oleh seorang ratu dendang, yang memainkan peran utama dalam menyampaikan pantun dan lagu, sementara pemain musik juga hanya satu orang. Uniknya, lagu-lagu yang dibawakan sering kali merupakan lagu gembira, seperti Arek-Arek Lungga, lagu legendaris yang masih populer di kalangan anak muda Minang saat ini.
Pertunjukan tersebut diselingi dengan candaan yang spontan, segar, dan sering kali mengandung kritik sosial yang dibalut humor. Hal ini membuat suasana menjadi hidup dan mengundang partisipasi aktif penonton.
Setelah beberapa sesi pantun dan lagu, masuklah sesi galang dana. Pada saat ini, sang ratu dendang meletakkan sebuah kotak donasi di tengah panggung. Dengan cara yang jenaka namun mengena, ia menyampaikan pantun yang memancing tawa dan dorongan untuk memberi.
Penonton dapat mengajukan permintaan lagu tertentu dengan cara memasukkan sejumlah uang ke dalam kotak tersebut. Di sinilah terlihat bahwa pendendang harus memiliki kemampuan luas dalam menguasai berbagai lagu tradisional Minangkabau.
Lagu-lagu yang dinyanyikan dengan irama yang tepat mampu menggugah suasana dan membuat penonton turut bergoyang, menambah semarak acara. Namun yang paling penting, seluruh proses ini berlangsung tanpa tekanan. Tidak ada aturan atau batasan jumlah sumbangan. Semua diberikan berdasarkan kemampuan dan ketulusan hati masing-masing.
Keunikan pola ini terletak pada suasananya yang cair, tidak formal, dan terbuka. Tidak ada gengsi, tidak ada paksaan, dan justru dari sinilah muncul semangat bersama. Nilai-nilai seperti gotong royong, empati, dan tolong-menolong tumbuh secara alami. Budaya memberi tanpa pamrih menjadi bagian dari kesadaran kolektif yang mengakar kuat dalam masyarakat Minangkabau.
Fenomena galang dana dalam bagurau juga mencerminkan nilai-nilai luhur adat Minangkabau yang menjunjung tinggi prinsip musyawarah, mufakat, dan solidaritas sosial. Ini bukan semata tentang mengumpulkan uang, tetapi juga tentang mewariskan dan menjaga nilai-nilai budaya yang hidup. Dari sebuah forum santai dan menyenangkan, terbentuklah semangat gotong royong yang konkret dan bermakna.
Kebiasaan serupa juga terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau. Misalnya, ketika terjadi musibah seperti kebakaran rumah, warga segera berkumpul sambil membawa makanan kecil untuk mengadakan pertemuan santai dan spontan.
Dalam suasana tersebut, setiap orang menyumbang sesuai kemampuannya. Hal yang sama juga terjadi dalam acara adat seperti pernikahan, di mana para tamu tak hanya datang memberi ucapan selamat, tetapi juga memberikan bantuan dalam bentuk uang atau barang kebutuhan.
Seiring perkembangan zaman, tradisi galang dana melalui bagurau juga mengikuti perkembangan teknologi. Jika dahulu hanya berlangsung di rumah gadang atau balai adat, kini banyak pertunjukan bagurau yang diunggah ke media sosial dan platform digital lainnya.
Hal ini membuka peluang bagi masyarakat yang tinggal jauh dari kampung halaman untuk tetap berpartisipasi dan merasakan nilai solidaritas tersebut. Bahkan, dalam bentuk digitalnya, tradisi ini mampu menjangkau audiens yang lebih luas dan lintas generasi.
Dalam dunia yang semakin individualistik, bagurau dan tradisi galang dana menjadi oase yang menyegarkan. Ia menunjukkan bahwa dalam suasana santai dan hiburan, masyarakat tetap bisa menanamkan nilai-nilai luhur seperti empati, peduli, dan gotong royong.
Tradisi ini tidak hanya mempererat hubungan sosial, tetapi juga menjaga warisan budaya agar tetap relevan dan kontekstual di tengah perubahan zaman.
Galang dana dalam bagurau bukanlah sekadar aktivitas mengumpulkan uang atau hiburan belaka. Ia adalah bentuk kearifan lokal yang mempertemukan seni, budaya, dan solidaritas sosial dalam satu ruang yang hidup dan dinamis.
Tradisi ini layak dilestarikan dan bahkan dikembangkan, karena di balik tawa yang muncul, tersimpan kekuatan besar untuk menyatukan dan menggerakkan masyarakat.





