Bahasa Kekinian Gen Z: Antara Tren dan Tanggung Jawab Berbahasa

Ilustrasi Gen Z menggunakan tren istilah bahasa-bahasa kekinian dalam komunikasi. (GG)
Ilustrasi Gen Z menggunakan tren istilah bahasa-bahasa kekinian dalam komunikasi. (GG)

Generasi Z atau Gen Z dikenal sebagai generasi yang paling cepat beradaptasi terhadap perkembangan zaman. Salah satu bentuk adaptasi yang paling menonjol terlihat dalam cara mereka menggunakan bahasa.

Istilah-istilah seperti cringe, healing, gaslighting, bestie, anjay, hingga kepo kini akrab di telinga masyarakat, menandakan kuatnya pengaruh bahasa gaul dalam kehidupan sehari-hari Gen Z. Fenomena ini tak lepas dari peran besar media sosial sebagai wadah utama persebaran bahasa yang cepat, dinamis, dan mudah ditiru.

Bacaan Lainnya

Bahasa kekinian yang digunakan Gen Z memiliki sisi positif. Ia mencerminkan kreativitas linguistik dan membangun rasa kebersamaan antaranggota komunitas digital. Kata-kata yang dianggap lucu, nyeleneh, atau tidak biasa justru berfungsi sebagai jembatan sosial, mempererat relasi pertemanan, bahkan menjadi penanda identitas kelompok. Dalam hal ini, bahasa tidak sekadar menjadi alat komunikasi, melainkan juga menjadi simbol kedekatan dan solidaritas sosial.

Namun, perkembangan ini tidak sepenuhnya tanpa konsekuensi. Ketika bahasa kekinian mulai digunakan secara bebas di berbagai ruang, termasuk dalam konteks formal, muncul persoalan baru yang patut diperhatikan.

Banyak pelajar dan mahasiswa yang terbiasa menulis dengan gaya bahasa media sosial ke dalam karya ilmiah, laporan, atau tugas akademik lainnya. Bahkan, tak sedikit yang mencampurkan bahasa Indonesia dengan istilah asing dan slang tanpa mempertimbangkan relevansi dan kepantasan konteksnya.

Kebebasan berekspresi dalam berbahasa memang merupakan hak setiap individu, termasuk generasi muda. Akan tetapi, hak ini perlu diiringi dengan tanggung jawab. Berbahasa yang baik bukan berarti mengekang kreativitas, melainkan menyadari bahwa setiap bentuk komunikasi memiliki audiens dan tujuan yang berbeda.

Apa yang cocok dalam percakapan santai belum tentu sesuai digunakan dalam ranah akademik atau profesional. Di sinilah pentingnya kesadaran berbahasa, yakni kemampuan untuk memilah dan memilih diksi, gaya, serta struktur kalimat sesuai konteksnya.

Pakar linguistik telah lama menegaskan bahwa cara seseorang menggunakan bahasa mencerminkan tingkat literasi, nalar berpikir, bahkan etika pribadinya. Maka dari itu, tren bahasa kekinian sebaiknya tidak hanya dijadikan sarana ekspresi semata, tetapi juga sebagai media edukasi.

Generasi Z sebagai pelopor berbagai tren digital seharusnya mampu menunjukkan bahwa mereka tidak hanya kreatif, tetapi juga bijak dalam bertutur. Keberanian mereka dalam menciptakan kosakata baru hendaknya diimbangi dengan kesadaran untuk tetap memelihara mutu dan norma bahasa Indonesia.

Sudah saatnya Gen Z memosisikan diri bukan hanya sebagai trendsetter bahasa, melainkan juga sebagai role model dalam praktik berbahasa yang santun, logis, dan komunikatif. Mendorong kreativitas memang penting, tetapi tanggung jawab berbahasa jauh lebih esensial. Karena pada akhirnya, cara kita berbicara dan menulis akan menentukan bagaimana kita dipahami, dinilai, dan dihargai oleh masyarakat luas.

Masyarakat digital yang semakin inklusif dan interaktif memerlukan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga fasih secara etika berbahasa. Bahasa bukan hanya tentang kata, tetapi juga tentang nilai. Maka mari kita dorong Gen Z untuk terus berinovasi dalam berbahasa—tanpa melupakan tanggung jawab yang menyertainya.


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *