Basapa di Ulakan: Kebiasaan, Ibadah, dan Larangannya

Penulis Basapa di Ulakan: Kebiasaan, Ibadah, dan Larangannya - Nia Rahmayuni
Penulis Basapa di Ulakan: Kebiasaan, Ibadah, dan Larangannya - Nia Rahmayuni

Setiap memasuki bulan Safar, Ulakan tepatnya di kecamatan Ulakan Tapakis kabupaten Padang Pariaman provinsi Sumatera Barat berubah menjadi ruang yang jauh lebih hidup dari hari biasanya. Orang-orang dari berbagai nagari datang berbondong-bondong untuk mengikuti ‘Basapa’, tradisi ziarah dan ibadah yang berpusat pada makam Syekh Burhanuddin. Jika pada bulan lain surau-surau disekitar masjid besar itu cukup ramai, maka Safar justru membuatnya lebih ramai yang mengunjunginya.

Dalam sebuah wawancara, Nenek Azwarni, penjaga Surau Lubuk Pandan, bercerita bahwa Safar adalah “bulan paling ramai”. Ia tinggal di surau tersebut selama dua bulan terakhir dan merasakan langsung perbedaannya. Lantai dua surau yang biasanya terkunci pun terpaksa dibuka.

Bacaan Lainnya

Di hari biasa, satu surau bisa dihuni empat orang, kadang belasan. Namun saat Basapa, jumlah itu melonjak tajam. Semua orang nagari merasa perlu pulang dan menempati “surau asalnya”.

Di Ulakan, surau bukan sekadar tempat singgah. Ia adalah bagian dari identitas nagari. Warga Anduriang tinggal di Surau Anduriang, orang Tandikek di Surau Tandikek, begitu juga dengan Guguak, Sicincin, Sungai Sariak, dan nagari lainnya. Aturan ini tidak pernah tertulis, tetapi hidup sebagai kebiasaan yang tak dipersoalkan. Jika seseorang bukan berasal dari nagari tersebut, ia perlu mengurus izin ke wali nagari sebelum bisa tinggal di surau.

Selain berziarah, bulan Safar juga dimanfaatkan banyak orang untuk menyelesaikan salat 40 hari. Bagi mereka, ritual ini dimaknai sebagai upaya mengganti salat yang pernah terlewat di masa lalu, termasuk karena haid di usia muda.

Ulakan menawarkan suasana yang tenang dan mendukung untuk menjalani ibadah ini. Di luar bulan Safar pun praktik tersebut tetap dilakukan, tetapi intensitasnya meningkat tajam ketika Safar tiba. Ada yang menuntaskannya selama empat puluh hari berturut-turut, ada pula yang melanjutkannya hingga beberapa kali putaran.

Namun, tidak semua orang mampu menjalaninya. Dari sejumlah wawancara, para ibu menyebut perempuan muda sering terkendala karena datang bulan bisa memutus rangkaian salat. Jika terputus, hitungan harus diulang dari awal. Itulah sebabnya penghuni surau kebanyakan adalah perempuan yang lebih tua, mereka yang merasa memiliki waktu dan kondisi yang lebih memungkinkan untuk menjalani ibadah tersebut.

Di balik suasana religius itu, Basapa juga membawa sejumlah larangan yang diyakini harus dipatuhi demi menjaga kesakralan tempat. Larangan-larangan ini tidak tertulis, tetapi diwariskan melalui cerita para orang tua dan pengalaman jamaah terdahulu.

Larangan yang paling sering disebut adalah larangan berbicara kasar. Hampir semua narasumber menyinggung kisah tentang orang yang berkata sembarangan di kawasan makam lalu “dibengkokkan mulutnya”.

Nenek Numi, penjaga Surau Kayu Tanam yang kini berusia 75 tahun, menjelaskan bahwa masyarakat percaya Syekh Burhanuddin pernah menyumpahi orang yang tidak menjaga ucapannya. Ia dikenal sebagai sosok keramat yang menyebarkan ajaran Islam, dan dipercaya malaikat akan menegur orang-orang yang melanggar adab di kawasan tersebut.

Ada pula cerita tentang seseorang yang mulutnya “berbicara sendiri” setelah berkata tidak pantas. Bagi orang luar, kisah-kisah ini mungkin terdengar berlebihan. Namun bagi warga Ulakan, cerita itu berfungsi sebagai pengingat agar siapa pun menjaga ucapan, tidak hanya di makam, tetapi juga di tempat lain.

Larangan lain berkaitan dengan perempuan yang sedang menstruasi. Mereka tidak diperkenankan memasuki area masjid atau titik-titik tertentu di sekitar makam Syekh Burhanuddin. Aturan ini disampaikan oleh para penjaga surau dengan nada yang lembut, tanpa menggurui. Intinya sederhana: menunggu di luar sebagai bentuk penghormatan terhadap kesucian tempat.

Ada pula aturan yang berkaitan dengan cara tinggal di surau. Menginap harus didahului dengan izin. Para penjaga surau menegaskan bahwa surau bukan penginapan umum. Ada tata krama yang perlu dijaga: datang, melapor, dan tinggal sesuai surau asal nagari.

Orang dari luar tetap diperbolehkan, asalkan melalui perizinan. Aturan ini menjadi semakin penting saat Safar, ketika jumlah pengunjung membludak. Tanpa aturan tersebut, surau bisa kehilangan ketertiban dan kenyamanannya sebagai ruang ibadah.

Menariknya, masyarakat juga sangat menjaga sikap dan nada bicara di sekitar makam. Mereka percaya tempat itu bertuah, bukan sekadar makam biasa. Kisah-kisah tentang perjalanan spiritual Syekh Burhanuddin, mulai dari ujian saat menuntut ilmu hingga karamahnya, membuat kawasan tersebut diperlakukan dengan penuh kehati-hatian.

Ruang ini bukan tempat untuk bercanda berlebihan atau menguji batas. Larangan-larangan yang ada bukan sekadar tabu, melainkan cara menjaga hubungan hormat antara manusia dan ruang yang mereka yakini sarat nilai spiritual.

Basapa, pada akhirnya, bukan hanya ziarah tahunan. Ia adalah momen ketika masyarakat Ulakan memperbarui hubungan mereka dengan tradisi. Surau-surau yang penuh, salat yang tidak boleh terputus, keramaian pedagang pagi, ibu-ibu yang saling berbagi langganan makan, hingga larangan menjaga ucapan, semuanya membentuk potret bagaimana tradisi hidup dan dijalani.

Tradisi ini tetap bertahan meski dunia di luar terus berubah. Surau yang dulu dibangun oleh mamak nagari masih dirawat hingga kini. Aturan yang dahulu hanya disampaikan lewat lisan tetap diwariskan tanpa perlu dituliskan. Basapa bukan perayaan besar dengan gemerlap, tetapi justru mencerminkan cara sebuah komunitas menjaga warisan spiritualnya dengan sederhana dan konsisten.

Jika dilihat secara keseluruhan, Basapa menunjukkan bahwa Ulakan bukan hanya tempat berziarah. Ia adalah ruang hidup yang diisi oleh ibadah, kebiasaan, aturan, dan rasa hormat. Larangan-larangan yang ada bukan sekadar pembatas, melainkan cara masyarakat menjaga martabat tempat yang mereka yakini sebagai pusat cahaya keagamaan. Safar pun menjadi bulan ketika adat, ibadah, dan keyakinan menyatu, lalu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *