Benarkah Olahraga Padel Dikenakan Pajak? Menata Persepsi, Meluruskan Regulasi

Ilustrasi by Meta AI
Ilustrasi by Meta AI

Gaya hidup masyarakat perkotaan mengalami pergeseran signifikan dalam satu dekade terakhir. Pola konsumsi, cara bekerja, hingga cara menjaga kesehatan bergerak menuju orientasi yang semakin sadar kebugaran.

Olahraga tidak lagi diposisikan semata sebagai aktivitas fisik, melainkan bagian dari identitas sosial, simbol kedisiplinan diri, sekaligus ruang interaksi. Fenomena ini terlihat dari meningkatnya minat terhadap berbagai jenis olahraga, baik indoor maupun outdoor, yang tumbuh seiring dinamika kota modern.

Bacaan Lainnya

Di antara ragam olahraga tersebut, padel menempati posisi yang menarik. Olahraga raket yang dimainkan secara berpasangan ini berkembang pesat di kalangan masyarakat urban. Karakteristiknya yang relatif mudah dipelajari, bersifat sosial, dan selaras dengan budaya gaya hidup aktif menjadikan padel cepat diterima oleh pemula maupun komunitas olahraga. Tidak mengherankan jika dalam beberapa pekan terakhir, lapangan padel di kota-kota besar kerap penuh dan harus dipesan jauh hari sebelumnya.

Popularitas ini, bagaimanapun, membawa konsekuensi lain berupa perhatian publik terhadap aspek regulasi, termasuk perpajakan. Beredar anggapan bahwa olahraga padel dikenakan pajak, yang memicu kekhawatiran sebagian masyarakat.

Di tengah minimnya literasi pajak, isu semacam ini mudah berkembang menjadi kesimpulan keliru, seolah-olah aktivitas olahraga itu sendiri menjadi objek pungutan negara. Di sinilah pentingnya pelurusan perspektif agar diskursus publik tidak terjebak pada kesalahpahaman.

Perlu ditegaskan bahwa pajak tidak dikenakan atas aktivitas olahraga padel sebagai praktik olahraga. Yang menjadi objek pajak adalah pemanfaatan jasa, fasilitas, dan sarana olahraga yang disediakan secara komersial.

Dalam konteks ini, penggunaan lapangan, peralatan, serta perlengkapan padel masuk dalam kategori Pajak Barang dan Jasa Tertentu atau PBJT, yang merupakan pajak daerah. Landasan hukumnya tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah Nomor 257 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Kepala Bapenda Nomor 854 Tahun 2024.

PBJT atas fasilitas olahraga diklasifikasikan sebagai PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan. Kategori ini mencakup berbagai jenis sarana olahraga yang dikelola secara komersial, mulai dari tempat kebugaran, lapangan futsal, kolam renang, lapangan tenis, hingga fasilitas padel. Artinya, padel tidak diperlakukan secara khusus atau diskriminatif, melainkan ditempatkan sejajar dengan cabang olahraga lain yang telah lebih dahulu dikenakan pajak daerah.

Dalam skema ini, subjek pajak bukanlah individu yang berolahraga, melainkan konsumen jasa. Sementara itu, pihak yang berkewajiban memungut dan menyetorkan pajak adalah pengelola atau penyedia fasilitas.

Pajak dipungut dari penyewa lapangan sebagai bagian dari harga jasa, kemudian disetorkan ke kas daerah sesuai ketentuan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, misalnya, menetapkan tarif PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan sebesar 10 persen, termasuk untuk penyewaan lapangan padel.

Pemahaman ini penting karena sering kali masyarakat menyamakan seluruh pungutan dengan pajak pusat. Padahal, sistem perpajakan Indonesia membedakan secara tegas antara pajak daerah dan pajak pusat.

Pajak daerah dikelola oleh pemerintah daerah dan hasilnya digunakan untuk membiayai layanan publik di wilayah tersebut. Sebaliknya, pajak pusat dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak dan menjadi bagian dari penerimaan negara.

Pajak pusat meliputi Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Meterai, Pajak Bumi dan Bangunan sektor tertentu, serta Pajak Karbon yang masih dalam tahap implementasi.

Dalam konteks usaha penyewaan lapangan padel, pajak pusat tidak dikenakan atas transaksi sewa lapangan secara langsung. Yang menjadi objek pajak pusat adalah penghasilan atau laba yang diperoleh badan usaha dari kegiatan tersebut.

Dengan kata lain, setelah pengelola lapangan padel menerima pendapatan dan memperhitungkan biaya operasional, laba bersih yang dihasilkan merupakan objek Pajak Penghasilan. Penghasilan ini wajib dilaporkan dan disetorkan ke negara melalui mekanisme Pajak Penghasilan Badan.

Tarif yang dikenakan mengikuti ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Bagi wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu, tersedia opsi tarif final sebesar 0,5 persen dari omzet.

Distingsi antara pajak daerah dan pajak pusat ini sering luput dari perhatian publik. Akibatnya, muncul persepsi seolah-olah satu aktivitas dikenai pajak berlapis secara tidak adil. Padahal, masing-masing pajak memiliki dasar hukum, objek, dan tujuan yang berbeda.

Pajak daerah atas fasilitas olahraga bertujuan mendukung pembiayaan layanan publik daerah, sementara pajak pusat atas laba usaha merupakan kontribusi korporasi terhadap penerimaan negara.

Isu pajak padel seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan literasi perpajakan masyarakat, bukan sumber kecemasan. Transparansi regulasi dan komunikasi publik yang memadai perlu diperkuat agar masyarakat memahami bahwa pajak tidak dimaksudkan untuk membatasi aktivitas sehat, melainkan memastikan keadilan fiskal dalam pemanfaatan jasa komersial. Olahraga tetap menjadi ruang publik yang perlu didorong, sementara kewajiban pajak berjalan seiring dengan prinsip gotong royong dalam pembiayaan negara dan daerah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *