Di lingkungan kampus hari ini, satu kompetisi kerap berlangsung tanpa aba-aba resmi. Sebagian mahasiswa menekuni perkuliahan dengan satu tujuan utama: meraih indeks prestasi setinggi mungkin. Sebagian lain menghabiskan energi di ruang-ruang organisasi, mengumpulkan pengalaman kepemimpinan dan jejaring sosial.
Ada pula yang harus membagi waktu antara kuliah, pekerjaan sambilan, dan tanggung jawab keluarga. Meski jalur yang ditempuh berbeda, semuanya seolah terlibat dalam perlombaan senyap untuk satu predikat yang tidak tertulis: mahasiswa ideal.
Gelar itu memang tidak tercetak di ijazah, tetapi kehadirannya terasa nyata dalam keseharian kampus. Ia muncul dalam pujian dosen tentang mahasiswa yang “aktif dan menonjol”. Ia hidup dalam kebanggaan orang tua yang mengukur keberhasilan anaknya melalui peringkat kelas.
Ia semakin dipertegas oleh media sosial yang dipenuhi unggahan sertifikat, jabatan, dan pencapaian. Standar ideal ini bekerja seperti bayangan bermuka dua: di satu sisi menuntut kecemerlangan akademik, di sisi lain mengagungkan kesibukan organisasi.
Akibatnya, banyak mahasiswa terjebak dalam logika pembuktian tanpa henti. Diri diukur bukan dari proses belajar yang dijalani, melainkan dari daftar capaian yang dianggap wajib. Mereka yang mengejar IPK tinggi kerap memandang rendah rekan yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar kelas.
Sebaliknya, mahasiswa yang aktif berorganisasi tidak jarang meremehkan mereka yang memilih tenggelam dalam buku dan penelitian. Di tengah polarisasi ini, muncul pertanyaan mendasar yang justru membebani: haruskah seseorang menjadi segalanya sekaligus untuk dianggap berhasil?
Masalahnya terletak pada konsep “ideal” itu sendiri. Kata ini mengandaikan satu standar tunggal yang seolah relevan bagi semua orang. Padahal, mahasiswa datang dari latar sosial, ekonomi, dan psikologis yang sangat beragam.
Mahasiswa yang harus membantu menopang ekonomi keluarga tidak berada pada posisi yang sama dengan mereka yang sepenuhnya disokong orang tua. Demikian pula, potensi mahasiswa yang tekun di laboratorium riset tidak dapat disamakan dengan mereka yang menemukan makna belajar melalui kerja-kerja pengabdian masyarakat.
Ironisnya, tekanan ini sering kali bukan lahir dari pilihan personal, melainkan dari dorongan sistemik. Dunia kerja mensyaratkan IPK minimal sekaligus pengalaman organisasi. Lingkaran pertemanan memuliakan kesibukan sebagai simbol produktivitas.
Keluarga, dengan niat baik, kerap menyederhanakan prestasi menjadi angka dan jabatan. Dalam situasi seperti ini, mahasiswa berlari bukan karena memahami arah tujuan, melainkan karena takut tertinggal.
Standar yang kaku dan seragam ini membawa konsekuensi serius terhadap kesehatan mental. Perasaan tidak pernah cukup menjadi pengalaman yang jamak. Kecemasan terhadap penilaian orang lain tumbuh subur, sementara ruang untuk gagal dan berefleksi semakin menyempit. Padahal, masa kuliah seharusnya menjadi fase eksplorasi intelektual dan pembentukan karakter, bukan sekadar arena pengumpulan legitimasi sosial.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana keluar dari jerat ini? Langkah awalnya adalah mengakui bahwa jalan menuju keberhasilan tidak pernah tunggal. Mahasiswa yang memilih fokus mendalam pada penelitian dan menyelesaikan skripsi dengan kualitas tinggi telah menunjukkan prestasi yang tak kalah bernilai dibanding mereka yang membangun usaha rintisan dari lingkungan kampus. Keduanya menampilkan kapasitas, ketekunan, dan tanggung jawab dalam bentuk yang berbeda.
Pada titik ini, penting untuk mempertanyakan ulang: ideal menurut standar siapa? Barangkali, mahasiswa ideal justru adalah mereka yang mampu merancang jalan belajarnya sendiri secara sadar. Mereka yang memiliki keberanian untuk memusatkan energi pada satu bidang ketika itu memang dibutuhkan.
Atau mereka yang cukup jujur pada diri sendiri untuk menolak peluang yang tidak sejalan dengan nilai dan kapasitas pribadinya. Dalam pengertian ini, keberhasilan pendidikan tinggi tidak diukur dari banyaknya pujian, melainkan dari kemampuan memahami diri dan menentukan prioritas secara matang.
Gelar mahasiswa ideal pada akhirnya hanyalah konstruksi sosial yang berubah-ubah mengikuti kepentingan zaman. Yang jauh lebih nyata adalah perjalanan individu dengan segala keterbatasan dan potensi yang menyertainya.
Alih-alih saling bersaing memperebutkan pengakuan abstrak, kampus semestinya menjadi ruang saling menghargai keberagaman jalur dan pilihan. Pendidikan tinggi akan kehilangan maknanya jika berubah menjadi arena pertarungan yang hanya menyisakan kelelahan kolektif.
Mari ganti kata ideal dengan kata yang lebih manusiawi. Menjadi mahasiswa yang utuh, yang berani hidup sesuai dengan kebenaran diri sendiri, mungkin justru prestasi terbesar yang luput kita rayakan. Di akhir masa studi, yang akan dibawa bukan hanya selembar ijazah, tetapi juga pengalaman dan pembelajaran yang membentuk karakter.
Maka, pilihlah jalur yang membuat kita bertumbuh dengan autentik, karena di sanilah makna sejati dari pendidikan berada. Dengan begitu, kita tidak hanya menjadi mahasiswa yang diakui oleh sistem, tetapi juga menjadi pribadi yang mengenal dirinya sendiri dan siap menghadapi dunia nyata dengan segala kompleksitasnya.





