Berisik Heningku

Berisik Heningku

Tawa yang dulu ada
telah berganti irama yang tak bernada,
menyisakan rasa di tengah riuh kepala.
Kini rasa itu bertapa,
entah tercipta atau justru terlupa.

Bacaan Lainnya

Bahasa tak mampu lagi berbicara;
hanya keheningan yang menyimpan luka.
Entah sampai kapan,
tapi kuharap ia tak menjadi abadi.

Teka-teki yang tak kunjung tertata,
simbol-simbol yang seakan buta,
membentuk puisi yang terasa hampa
dan kebahagiaan yang perlahan sirna.

Dan pada detik yang diam itu,
aku mencari jejak cahaya,
menggenggam sisa-sisa cerita
yang pernah membuatku percaya.


Luruh di Sepanjang Jalan

Oleh ombak mengukir kenang,
menciptakan lukisan yang tak abadi.
Luruhan yang tiba di tepi,
tak ada yang mampu untuk kembali.

Dengan tetes gerimis yang perlahan jatuh,
gelap dingin menabur sunyi.
Ditemani selembar tisu,
mempertontonkan harapan yang telah sirna.

Sementara ia di sana,
kini menembang bahagia.
Tak terusik oleh awan hitam di sekitarnya,
dan menutup mata di penghujung jalan.

Di antara langkah yang tertinggal,
kutemukan jejak yang tak pernah hilang —
tentang rindu yang terjaga
di dada semesta yang tak lagi bising.


Telah Reda

Sisipan kata merayu tinta,
berulang menjatuhkan air mata—
bukan karena benci,
dan bukan pula karena berharap kembali.

Peluk berpeluh cinta
menyulam kata demi kata;
bahagia dahulu tak pernah jeda,
mendaki reruntuhan tawa yang kini tinggal sisa.

Rerintik perlahan menyapu rindu,
membawa layu yang tersisa di antara semu.
Bunga yang dulu ia beri
masih menyaksikan riang dari balik jendela sepi.’


Semu Sebelum Temu

Kita pernah jadi rumah
yang tak pernah selesai dibangun— atapnya dari tawa,
dindingnya dari potongan waktu yang kita bagi. Kita berteduh di situ,
tanpa tahu apakah kita sedang tinggal atau hanya singgah.

Tak ada temu,
hanya jarak yang kita rawat dengan huruf-huruf di layar. Dan dari sana,
aku mengenal suaramu lewat diam, mengenal hatimu lewat jeda.
Namun akhir datang
bukan dengan pertengkaran, bukan dengan kata pisah— hanya hening
yang tiba-tiba betah tinggal di antara kita. Percakapan terhenti,
seketika gelap merambat.

Mungkin itu ego, mungkin sekadar lelah,
atau mungkin kita memang hanya kabut yang tak pernah menjadi hujan.
Tak pasti, tak selesai,
dan kini asing terasa begitu akrab.
Kita hanyalah cerita yang tak punya bab akhir, hubungan yang hanya hidup di antara
salam pembuka dan titik tiga. Semu sebelum temu—
dan mungkin,
takkan pernah temu sama sekali.


Lenyap

Kupintal rindu dari benang senja,
kuselipkan di antara bisik angin.
Namun langit menutup pintunya
sebelum doa sempat mengetuk.

Bintang-bintang pernah kutitipkan namamu,
tapi satu per satu padam
di telapak malam.
Yang tersisa hanyalah gelap
yang menelan arah pulang.

Kupeluk bayangmu
hingga jariku berdebu,
namun pelukan itu kosong—
seperti meraih air
yang mengalir dari sela tangan.

Kini, segala yang kupahat dalam hati
menjadi reruntuh sunyi.
Tak ada warna, tak ada suara,
hanya gemuruh yang mengendap
di lorong dada.

Dan aku mengerti…
ada mimpi yang memang dicipta
untuk hilang,
untuk menjadi angin,
untuk lenyap—
seperti hujan yang mati
di udara.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *