Bullying bukanlah fenomena baru dalam dunia pendidikan. Sejak dulu, kekerasan verbal maupun fisik telah menjadi ancaman serius bagi tumbuh kembang anak, terutama di lingkungan sekolah. Pada jenjang sekolah dasar, bentuk-bentuk perundungan bisa muncul dalam berbagai rupa, mulai dari ejekan atas kondisi fisik atau prestasi akademik, pengucilan dalam pergaulan, hingga kekerasan fisik yang mungkin tampak ringan namun berdampak besar secara emosional. Dahulu, semua itu biasanya terjadi dalam ruang lingkup yang terbatas: di dalam kelas, lorong sekolah, atau saat jam istirahat.
Namun, seiring kemajuan zaman dan berkembangnya teknologi, bentuk serta saluran terjadinya bullying pun ikut mengalami perubahan. Teknologi digital kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari anak-anak.
Bahkan, anak usia sekolah dasar pun telah terbiasa menggunakan media sosial, aplikasi pesan singkat, serta platform hiburan digital. Mereka tidak hanya bermain secara fisik, tetapi juga aktif di dunia maya melalui aplikasi seperti WhatsApp, TikTok, YouTube Shorts, maupun game online.
Sayangnya, dunia digital yang seharusnya menjadi ruang yang mendidik dan menyenangkan kini justru membuka peluang baru bagi terjadinya cyberbullying. Kekerasan ini terjadi tanpa harus ada tatap muka.
Satu komentar bernada sinis di grup kelas, satu unggahan video sindiran, atau percakapan dalam game daring yang berisi ejekan, semua itu dapat menjadi bentuk kekerasan psikologis yang menggores hati korban secara diam-diam.
Berbeda dengan bullying konvensional yang biasanya terbatas pada ruang dan waktu tertentu, cyberbullying dapat terjadi kapan saja dan di mana saja bahkan saat anak sudah berada di rumah, tempat yang seharusnya menjadi ruang aman.
Ini memperparah dampak psikologis yang dirasakan oleh korban, karena tidak ada lagi tempat yang benar-benar bebas dari potensi perundungan. Celakanya, guru dan orang tua kerap kali tidak menyadari hal ini, karena tidak ada luka fisik yang tampak atau tangisan di kelas. Yang terlihat hanyalah perubahan sikap: semangat belajar yang menurun, anak yang tiba-tiba menarik diri dari pergaulan, atau menjadi lebih pendiam.
Dunia Digital: Antara Kesempatan dan Ancaman
Fenomena ini diperburuk oleh rendahnya literasi digital di kalangan anak-anak. Sebagian besar dari mereka menggunakan teknologi tanpa pemahaman yang memadai mengenai etika berkomunikasi di dunia maya.
Banyak dari mereka yang meniru gaya bicara para influencer atau konten viral tanpa menyadari bahwa kata-kata tersebut bisa melukai orang lain. Bahkan ada pula yang menjadikan media sosial sebagai sarana mencari pengakuan atau popularitas, walau harus dengan cara menjatuhkan orang lain.
Cyberbullying pun menjadi sulit dikenali. Tidak seperti perundungan fisik yang meninggalkan luka nyata, kekerasan digital menghasilkan luka batin yang tak kasat mata. Korban mungkin tampak baik-baik saja di permukaan, namun di balik itu mereka menyimpan tekanan, rasa malu, atau ketakutan yang mendalam.
Mereka bisa menangis diam-diam setelah membaca pesan menyakitkan, merasa tidak memiliki tempat di lingkungan sosialnya, atau bahkan enggan membuka gadget karena khawatir akan ada komentar negatif yang menyakitkan.
Ironisnya, pelaku cyberbullying pun sering kali tidak menyadari bahwa tindakannya tergolong sebagai kekerasan. Mereka menganggapnya hanya candaan, bagian dari tren, atau sebatas hiburan. Padahal, bagi korban, luka yang ditinggalkan bisa mendalam dan bertahan lama, bahkan hingga masa dewasa.
Dampak yang Tak Ringan
Dampak dari cyberbullying terhadap anak usia sekolah dasar bukan sekadar rasa sedih sesaat. Di masa ketika anak sedang dalam tahap membentuk identitas diri, serangan secara verbal atau ejekan di dunia maya dapat meruntuhkan kepercayaan diri yang sedang dibangun.
Anak mulai mempertanyakan nilai dirinya, merasa tidak layak diterima dalam kelompok sosial, dan dalam kondisi yang ekstrem, bisa menyalahkan diri sendiri sebagai sumber masalah.
Tak sedikit anak yang menunjukkan perubahan perilaku drastis setelah menjadi korban. Mereka bisa menjadi pendiam, kehilangan minat terhadap aktivitas yang dahulu disenangi, atau bahkan menolak berinteraksi dengan teman sebayanya.
Beberapa anak mengalami gejala psikosomatis seperti sakit kepala, gangguan tidur, atau nyeri perut tanpa sebab medis yang jelas, sebagai respons terhadap tekanan psikologis yang mereka alami.
Cyberbullying juga dapat menimbulkan kecemasan sosial dan ketakutan berkelanjutan. Dunia digital yang awalnya memberi hiburan, justru berubah menjadi sumber kecemasan. Mereka hidup dalam ketegangan yang terus-menerus karena takut akan ejekan berikutnya atau komentar yang menyakitkan.
Jika tidak ditangani sejak dini, luka psikologis ini berpotensi berkembang menjadi trauma jangka panjang, mengganggu proses pembelajaran, hingga merusak potensi terbaik yang semestinya mereka kembangkan di sekolah.
Peran Kolektif dalam Mengatasi Cyberbullying
Dalam menghadapi situasi ini, kita tidak bisa bersikap pasif, netral, apalagi mengabaikan. Anak-anak membutuhkan lebih dari sekadar pengawasan; mereka membutuhkan pendampingan, keteladanan, dan perlindungan nyata dari lingkungan terdekat. Di sinilah peran guru, orang tua, dan masyarakat menjadi sangat vital.
Guru bukan hanya pengajar materi akademik, tetapi juga penjaga kesehatan mental siswa. Etika digital, empati, dan pengendalian diri perlu menjadi bagian dari pembelajaran sehari-hari. Guru dapat menciptakan ruang diskusi yang aman, seperti kelas refleksi atau forum terbuka, untuk mendorong siswa mengekspresikan perasaan mereka dan memahami dampak dari tindakan di dunia maya.
Orang tua juga memegang tanggung jawab besar. Memberikan akses ke gadget sama artinya dengan mengizinkan anak menjelajah dunia luas. Maka, perlu ada komunikasi yang hangat dan terbuka, disertai pengawasan yang bijaksana.
Orang tua harus menjadi tempat pertama yang dicari anak saat menghadapi masalah. Edukasi yang konsisten, pembatasan waktu layar, serta pengenalan terhadap konten positif adalah langkah nyata yang bisa diambil di rumah.
Lingkungan sekitar, termasuk sekolah dan komunitas, juga harus menciptakan budaya yang menolak segala bentuk kekerasan. Program pencegahan bullying perlu melibatkan seluruh elemen sekolah, mulai dari kepala sekolah, wali kelas, hingga petugas keamanan demi menciptakan ruang yang aman dan nyaman bagi setiap anak.
Mengatasi bullying di era digital bukanlah pekerjaan individu. Ini adalah tanggung jawab kolektif. Kita perlu bergerak bersama: mendengar dengan lebih peka, bertindak dengan lebih cepat, dan mendidik dengan lebih dalam. Karena setiap anak, tanpa kecuali, berhak merasa aman, baik di sekolah, di rumah, maupun saat menjelajah ruang digital.





