Kita hidup di zaman yang serba cepat, kompetitif, dan penuh tekanan. Dunia menuntut kita untuk menjadi “manusia siap pakai”—produktif, adaptif, dan selalu unggul. Nilai akademik tinggi, deretan sertifikat, serta kemampuan teknis yang mumpuni kini dianggap sebagai kunci utama kesuksesan. Namun, benarkah hanya itu yang dibutuhkan untuk benar-benar berhasil dalam hidup?
Pengalaman pribadi membuat saya percaya bahwa kecerdasan intelektual saja tidak cukup. Saya pernah mengenal seorang teman kuliah yang sangat brilian. Ia selalu mendapatkan nilai tertinggi dan disegani karena kecakapannya.
Namun, ketika ia menghadapi kegagalan kecil, ia langsung kehilangan arah, merasa hancur, dan sulit bangkit kembali. Di sisi lain, saya juga mengenal seseorang yang secara akademis biasa saja, namun ia memiliki sikap hidup yang positif, sabar, dan penuh semangat. Menariknya, dialah yang secara konsisten tumbuh dan berkembang, baik dalam karier maupun kehidupan pribadinya.
Dari situ saya mulai menyadari bahwa kesuksesan sejati membutuhkan fondasi yang lebih dalam, yaitu modal religius dan modal psikologis.
Modal religius bukan sekadar tentang menjalankan ibadah rutin. Lebih dari itu, ia menyangkut bagaimana seseorang memaknai hidup, membangun integritas diri, dan memiliki pedoman moral yang kokoh. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, serta rasa syukur biasanya tumbuh dari fondasi spiritual yang kuat.
Orang yang memiliki nilai religius umumnya memandang hidup bukan sekadar tentang mengejar keuntungan atau status sosial. Mereka melihat pekerjaan sebagai amanah, interaksi sosial sebagai ladang kebaikan, dan tantangan sebagai bagian dari proses kehidupan.
Di lingkungan kerja, orang-orang seperti ini cenderung menjadi sosok penyejuk. Mereka membawa semangat kolaboratif, menjaga etika dalam bekerja, dan tidak mudah tergoda oleh hal-hal yang merugikan orang lain. Modal religius menjadikan seseorang lebih sadar bahwa kesuksesan bukanlah hasil kerja keras semata, melainkan juga berkaitan dengan keberkahan dan makna.
Selain itu, modal psikologis juga memegang peranan penting. Ini mencakup optimisme, kepercayaan diri, harapan, serta daya tahan mental. Dalam kehidupan nyata, kita tidak bisa menghindari kegagalan, tekanan, atau kritik. Di sinilah pentingnya memiliki kekuatan mental.
Mereka yang memiliki ketangguhan psikologis mampu menghadapi badai kehidupan tanpa kehilangan arah. Mereka tetap berdiri tegak meski diterpa kegagalan, tetap semangat meski berada dalam kondisi sulit, dan tidak mudah tumbang oleh tekanan sosial.
Saat ini, kita menyaksikan banyak generasi muda yang unggul secara akademik, namun merasa lelah secara emosional, bahkan mengalami burnout. Ini menunjukkan bahwa pendidikan teknis semata tidak cukup. Diperlukan pembinaan karakter dan pelatihan mental agar mereka menjadi manusia yang utuh.
Dalam kajian-kajian tentang modal manusia (human capital), aspek pendidikan dan keterampilan sering ditekankan. Namun, penelitian seperti yang ditulis Dian Ekowati dan timnya dalam artikel Human Capital Creation menyebutkan bahwa aspek religiusitas dan ketangguhan psikologis juga merupakan komponen penting dalam pembentukan SDM unggul.
Bayangkan jika bangsa ini memiliki generasi yang tidak hanya cerdas dan terampil, tetapi juga beretika, berintegritas, dan tahan banting secara mental. Tentu, SDM seperti inilah yang mampu menjadi penggerak perubahan positif dalam masyarakat.
Pada akhirnya, menjadi “manusia utuh” bukan hanya soal meraih gelar atau mengejar sertifikasi. Melainkan tentang membangun keseimbangan antara ilmu dan nilai, antara logika dan hati, serta antara kerja keras dan keteguhan iman. Pendidikan teknis memang penting, tetapi pembentukan karakter dan kekuatan batin jauh lebih esensial dalam jangka panjang.
Jika hari ini kita merasa cemas, lelah, atau kehilangan arah, meskipun secara akademik tak ada masalah—barangkali yang perlu kita perkuat bukan sekadar pengetahuan, melainkan nilai hidup dan mentalitas kita sendiri. Sebab pada akhirnya, sukses bukan hanya soal pintar, tetapi tentang bagaimana kita mampu bertahan, tumbuh, dan tetap menjadi manusia baik di tengah dunia yang semakin keras.





