Transformasi digital menjadi keniscayaan dalam pelayanan publik, termasuk perpajakan. Masyarakat menuntut layanan yang cepat, sederhana, transparan, dan dapat diakses tanpa hambatan birokrasi yang bertele-tele. Dalam konteks itu, kehadiran Coretax sebagai sistem administrasi perpajakan terintegrasi layak diapresiasi karena menawarkan harapan baru bagi kemudahan pelaporan pajak orang pribadi.
Selama ini, pelaporan pajak kerap dipersepsikan sebagai kewajiban yang rumit dan membingungkan. Wajib pajak orang pribadi harus berhadapan dengan pengisian data manual, ketidaksinkronan informasi bukti potong, atau bahkan ketiadaan bukti potong dari pemberi kerja.
Kekhawatiran melakukan kesalahan dalam pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) sering membuat pelaporan pajak dipandang sebagai beban administratif, bukan perwujudan tanggung jawab warga negara.
Coretax dirancang untuk menjawab problem tersebut melalui sistem digital yang terintegrasi. Berbagai layanan perpajakan dihimpun dalam satu platform, sehingga pengelolaan data menjadi lebih akurat, otomatis, dan terstruktur.
Informasi penghasilan, bukti potong, serta riwayat pembayaran tersedia dalam satu akses. Dampaknya terasa langsung bagi wajib pajak orang pribadi: proses pelaporan SPT menjadi lebih sederhana, efisien, dan memiliki risiko kesalahan yang lebih kecil.
Wajib pajak tidak lagi bergantung sepenuhnya pada bukti potong fisik dari pemberi kerja. Data bukti potong yang dilaporkan oleh pemotong pajak melalui SPT Masa PPh Pasal 21 maupun SPT Masa Unifikasi dapat terintegrasi secara otomatis ke SPT wajib pajak. Apabila dibutuhkan, softcopy bukti potong dapat diunduh secara mandiri melalui akun Coretax, sehingga wajib pajak memperoleh rincian pemotongan secara jelas tanpa proses yang berbelit.
Lebih jauh, Coretax mencerminkan perubahan paradigma pelayanan perpajakan. Negara menempatkan wajib pajak sebagai subjek yang harus dilayani dengan baik, bukan semata objek pemungutan.
Antarmuka yang lebih ramah pengguna dan layanan berbasis daring memungkinkan pelaporan dilakukan kapan saja dan di mana saja. Model pelayanan ini sejalan dengan dinamika masyarakat yang semakin digital dan menghargai efisiensi waktu.
Meski demikian, keberhasilan Coretax tidak hanya bergantung pada kecanggihan sistem. Tantangan besar terletak pada kesiapan masyarakat beradaptasi dengan teknologi baru. Kesenjangan literasi digital masih nyata di berbagai kelompok wajib pajak. Tanpa sosialisasi, pelatihan, dan pendampingan yang konsisten, sebagian masyarakat berisiko tidak menikmati kemudahan yang ditawarkan.
Di titik inilah peran edukasi menjadi strategis. Direktorat Jenderal Pajak perlu memastikan informasi mengenai penggunaan Coretax disampaikan secara luas, jelas, dan inklusif. Materi sosialisasi yang komunikatif, penggunaan berbagai saluran informasi, serta hadirnya layanan bantuan yang responsif akan memperkuat kepercayaan publik dan mendorong pemanfaatan sistem ini secara optimal.
Coretax juga membuka peluang peningkatan kepatuhan sukarela. Ketika prosedur pelaporan lebih sederhana dan transparan, hambatan psikologis maupun administratif berkurang. Wajib pajak akan lebih terdorong memenuhi kewajibannya secara sadar, bukan karena paksaan. Transparansi data dan kepastian layanan menjadi prasyarat penting terbentuknya budaya pajak yang sehat.
Coretax bukan sekadar inovasi teknis, melainkan bagian dari agenda reformasi perpajakan. Bagi wajib pajak orang pribadi, sistem ini menawarkan pengalaman pelaporan pajak yang lebih mudah, ringkas, dan manusiawi.
Konsistensi implementasi, penguatan infrastruktur digital, serta komitmen pada pelayanan yang inklusif akan menentukan apakah Coretax benar-benar menjadi fondasi bagi sistem perpajakan Indonesia yang modern, efektif, dan berkeadilan.




