Dampak Media Sosial terhadap Kebahasaan Masyarakat

Ilustrasi gambar/Penulis
Ilustrasi gambar/Penulis

Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern. Platform seperti Instagram, X, TikTok, dan WhatsApp digunakan secara masif, menciptakan ruang komunikasi digital yang dinamis. Namun, di balik kemudahan dan kecepatan yang ditawarkan, media sosial membawa dampak signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk kebahasaan.

Sebagai medium utama dalam interaksi daring, media sosial menciptakan pola-pola kebahasaan baru yang tidak hanya memperkaya, tetapi juga berpotensi mereduksi penggunaan bahasa, khususnya dalam konteks formal. Fenomena ini memunculkan pertanyaan penting: bagaimana media sosial memengaruhi kebahasaan masyarakat?

Bacaan Lainnya

Media sosial memunculkan berbagai bentuk komunikasi yang cenderung informal, singkat, dan efisien. Tren seperti penggunaan singkatan (“otw” untuk “on the way” atau “btw” untuk “by the way”) dan emoji untuk menggantikan kata-kata telah menjadi praktik umum. Fenomena ini memengaruhi generasi muda dalam berkomunikasi, baik secara tertulis maupun lisan.

Menurut laporan Digital 2023 Global Overview Report, jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai lebih dari 167 juta orang, setara dengan 60,4% dari total populasi, dengan sebagian besar pengguna berusia 18-34 tahun. Kelompok usia ini sering menjadi agen utama dalam perubahan pola kebahasaan.

Bahasa gaul atau slang juga semakin marak di media sosial. Kata-kata seperti “santuy” (santai), “mager” (malas gerak), atau “julid” (judes sekali) menjadi bagian dari percakapan sehari-hari. Meski memperkaya kosakata bahasa Indonesia, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait hilangnya kemampuan generasi muda dalam menggunakan bahasa formal sesuai konteks.

Media sosial juga membawa dampak positif dalam perkembangan kebahasaan. Salah satu manfaatnya adalah penyebaran dan pelestarian bahasa daerah. Banyak kreator konten di platform seperti YouTube dan TikTok mempopulerkan bahasa daerah melalui lagu atau cerita dalam bahasa Jawa, Sunda, atau Bugis. Hal ini membantu menjaga keberagaman linguistik Indonesia yang rentan terhadap kepunahan.

Selain itu, media sosial menjadi sarana edukasi bahasa. Banyak akun atau komunitas yang menawarkan konten pembelajaran bahasa asing maupun bahasa Indonesia. Contohnya, beberapa kreator rutin membagikan tips penggunaan bahasa Indonesia sesuai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Langkah ini berkontribusi pada peningkatan literasi kebahasaan masyarakat.

Baca Juga: Kecanduan Gadget: Ancaman Tersembunyi bagi Masa Depan Akademik Anak

Namun, tidak bisa diabaikan bahwa media sosial juga berdampak negatif terhadap kemampuan berbahasa. Salah satu fenomena yang mencolok adalah munculnya bahasa alay, yaitu penggunaan huruf dan angka secara acak atau penggantian huruf pada kata baku dalam tulisan (misalnya, “4ku” untuk “aku” atau “cius” untuk “serius”). Penggunaan bahasa seperti ini dikhawatirkan dapat menurunkan kualitas literasi masyarakat, terutama dalam kemampuan menulis dengan baik dan benar.

Lebih jauh lagi, media sosial sering kali menjadi tempat suburnya kesalahan berbahasa yang terus diulang dan akhirnya dianggap benar. Misalnya, penggunaan kata “di” sebagai kata depan sering salah dalam penulisan, seperti “diubah” yang salah ditulis sebagai “di ubah.” Jika kesalahan ini tidak diluruskan, kualitas bahasa tertulis masyarakat berpotensi menurun.

Selain itu, media sosial cenderung mendominasi penggunaan bahasa gaul atau bahasa asing, seperti bahasa Inggris, yang dapat mengesampingkan bahasa daerah. Menurut data UNESCO, 15 bahasa daerah di Indonesia telah punah, dan jumlah ini berisiko bertambah jika tidak ada upaya pelestarian.

Untuk meminimalkan dampak negatif media sosial terhadap kebahasaan, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah meningkatkan edukasi bahasa melalui kurikulum sekolah dan kampanye publik. Kampanye seperti “Bangga Berbahasa Indonesia” dapat diluncurkan di media sosial untuk menarik perhatian generasi muda.

Baca Juga: Solusi Mengurai Konflik Hukum dalam Pemanfaatan Lahan untuk Menghentikan Deforestasi

Platform media sosial juga dapat berperan aktif dalam melestarikan bahasa dengan menampilkan fitur pemeriksaan tata bahasa atau mendukung konten yang mempromosikan penggunaan bahasa yang baik. Langkah ini tidak hanya membantu menjaga kualitas kebahasaan, tetapi juga memperkuat identitas budaya Indonesia.

Media sosial telah mengubah cara masyarakat berkomunikasi, membawa dampak positif dan negatif terhadap kebahasaan. Di satu sisi, media sosial memperkaya kosakata dan mempromosikan keberagaman linguistik. Namun, di sisi lain, platform ini juga menghadirkan tantangan dalam menjaga kualitas bahasa, terutama dalam konteks formal.

Oleh karena itu, kesadaran kolektif sangat diperlukan untuk memanfaatkan media sosial secara bijak, sehingga dampak negatif terhadap kebahasaan dapat diminimalkan dan aspek positifnya lebih dioptimalkan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *