Dampak Perubahan Iklim terhadap Penyebaran dan Potensi Pandemi Flu Burung

Foto/penulis
Foto/penulis

Perubahan iklim adalah pergeseran jangka panjang pola dan intensitas berbagai unsur iklim seperti suhu, curah hujan, angin, kelembapan, tutupan awan, radiasi matahari, dan peristiwa cuaca ekstrem. Perubahan ini memiliki dampak luas terhadap ekosistem, pertanian, ketersediaan air, serta meningkatnya risiko penyebaran penyakit. 

Salah satu virus zoonosis yang penyebarannya semakin meluas akibat perubahan iklim adalah virus Avian nfluenza yang sangat patogen atau Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Perubahan iklim mempengaruhi ekologi dan fisiologi inang yang selanjutnya berdampak pada evolusi dan penyebaran virus.  Suhu yang lebih hangat dan perubahan curah hujan telah menciptakan kondisi ideal bagi patogen untuk bertahan hidup di beberapa daerah yang sebelumnya tidak ramah bagi mereka.

Bacaan Lainnya

Wabah avian influenza HPAI (H5N1), atau yang dikenal sebagai flu burung, pertama kali muncul pada tahun 1996 di Guangdong pada angsa domestik. Virus ini kemudian menyebar ke berbagai negara di Asia, Eropa, dan Afrika.

Pada tahun 2003, wabah H5N1 mulai menyebar secara global, menginfeksi berbagai spesies burung, baik unggas domestik maupun burung liar, dan mamalia. Meskipun kasus infeksi H5N1 pada manusia relatif jarang, tingkat kematian yang tinggi menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat.

Saat ini telah beredar luas Virus H5N1 klade 2.3.4.4b dan menyebabkan wabah yang luar biasa.  Klade ini dapat menginfeksi beragam spesies, termasuk berbagai jenis burung air liar, unggas domestik, dan bahkan berbagai jenis mamalia yang sebelumnya belum pernah terjadi.

Kemampuan virus untuk menginfeksi lebih banyak jenis inang, potensi penularannya antar mamalia dan dari mamalia ke manusia, serta penyebarannya yang luas secara geografis, meningkatkan kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya pandemi flu burung HPAI (H5N1).

Perubahan iklim, migrasi inang, dan penyebaran virus Avian influenza

Unggas air (ordo Anseriformes) dan burung pantai/camar (ordo Charadriiformes) merupakan inang alami virus Avian influenza. Sifat migrasi tahunan kedua ordo ini dapat mempercepat penyebaran virus. Perubahan iklim dalam jangka panjang telah memengaruhi pola migrasi mereka, baik dari segi waktu maupun jangkauan.

Perubahan pola migrasi seperti migrasi yang lebih awal atau penundaan migrasi  akan meningkatkan interaksi antar populasi burung liar dan unggas ternak.  Hal ini berpotensi menyebabkan reassortment antara virus Avian influenza patogenisitas rendah (LPAI) dan HPAI yang dapat memicu munculnya strain baru dengan patogenisitas lebih tinggi atau kemampuan menginfeksi spesies lain.

Perubahan pola migrasi tidak hanya disebabkan oleh perubahan iklim, akan tetapi juga oleh cuaca ekstrem. Tiga kasus penyebaran virus HPAI antar benua serta peningkatan kasus infeksi di wilayah asal dikaitkan dengan peristiwa cuaca ekstrem yang terjadi.

Pertama, penyebaran virus H5N1 dari Asia ke Eropa pada tahun 2005 bersamaan dengan musim dingin ekstrem di Eropa. Kedua, virus H5N8 masuk ke Amerika Utara dari Asia pada Desember 2014, setelah Topan Super Nuri melewati Selat Bering. Ketiga, penyebaran global virus H5N1 ke Amerika terjadi setelah virus ini menyebar dari Eropa ke Amerika Utara pada musim dingin 2021-2022, bersamaan dengan peningkatan wabah di Eropa dan badai siklon di Atlantik Utara.

Baca Juga: Mengatasi Polusi Udara dari Aktivitas Pabrik di Indonesia

Analisis filogenetik menunjukkan kemiripan virus antara wilayah asal dan wilayah tujuan mendukung hipotesis bahwa burung liar menjadi penyebab penyebaran virus ini, baik melalui migrasi alami maupun pergerakan yang dipengaruhi cuaca ekstrim.     

Perubahan iklim dan persistensi virus Avian influenza di lingkungan

Perubahan iklim dan persistensi virus Avian influenza di lingkungan memiliki keterkaitan yang kompleks. Suhu yang meningkat akibat perubahan iklim dapat mengurangi persistensi virus di daerah hangat, namun juga dapat memperluas wilayah penyebaran virus ke daerah yang sebelumnya terlalu dingin. Perubahan kelembapan dengan fluktuasi antara kondisi basah dan kering juga memberikan dampak yang kompleks terhadap kelangsungan hidup virus.

Perubahan iklim akan memengaruhi habitat unggas air liar yang berperan sebagai  reservoir alami virus. Kekeringan dapat meningkatkan kepadatan populasi unggas air di sumber air yang terbatas sehingga memfasilitasi penyebaran virus. Sebaliknya, intensifikasi curah hujan lokal dapat menyebabkan terciptanya area basah baru sementara yang menarik unggas air liar, sehingga berpotensi menyebarkan virus ke area baru.

Perubahan iklim akankah sebagai pemicu terjadinya pandemi?

Perubahan iklim dapat meningkatkan risiko pandemi Avian influenza, tetapi tidak secara langsung memicunya. Perubahan iklim menciptakan kondisi yang lebih kondusif bagi penyebaran, persistensi, dan evolusi virus, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya wabah yang lebih luas dan sulit dikendalikan.

Para ilmuwan sepakat bahwa pandemi Avian influenza belum dapat diprediksi, akan tetapi ketika terjadi lonjakan transmisi antar spesies itu merupakan alarm potensi peningkatan risiko.   Sejak tahun 2016, HPAI (H5N1) dari klade 2.3.4.4b telah menjadi salah satu ancaman global paling serius, tidak hanya bagi burung liar dan domestik, tetapi juga bagi kesehatan masyarakat.

Baca Juga: Polusi Suara dan Sound Horeg: Tantangan Hukum di Era Modern

Klade 2.3.4.4b menyebar secara global dan menginfeksi berbagai spesies burung liar, unggas domestik, dan mamalia bahkan manusia. Penyebarannya yang luas dan kemampuannya dalam beradaptasi untuk menginfeksi mamalia menjadikannya sebagai ancaman pandemi yang serius.

Kesiapsiagaan dalam Menghadapi Pandemi

Kesiapsiagaan menghadapi pandemi HPAI merupakan suatu keharusan mengingat potensi dampaknya yang luas, baik bagi kesehatan manusia maupun perekonomian. Kesiapsiagaan ini melibatkan berbagai strategi yang komprehensif dan terkoordinasi dengan baik, mencakup surveilans intensif, upaya pencegahan dan pengendalian yang efektif, serta kesiapan untuk respons dan manajemen wabah yang cepat dan tepat.

Pemantauan yang ketat terhadap unggas, baik domestik maupun liar, menjadi kunci dalam mendeteksi dini keberadaan dan penyebaran virus HPAI. Sistem deteksi dini yang cepat dan akurat, diiringi dengan investigasi epidemiologi yang menyeluruh, memungkinkan identifikasi sumber infeksi dan pola penyebaran virus secara efektif, sehingga memfasilitasi intervensi yang tepat dan mencegah penyebaran virus lebih lanjut.

Upaya pencegahan dan pengendalian memegang peranan penting dalam membatasi penyebaran virus HPAI. Penerapan biosekuriti yang ketat di peternakan unggas dan peternakan hewan besar (sapi dan kambing), pengurangan kepadatan populasi ternak, pengendalian pergerakan ternak dan produk ternak, serta pemusnahan ternak yang terinfeksi merupakan langkah-langkah krusial dalam memutus rantai penularan. Perencanaan yang cermat untuk peternakan unggas dan hewan besar terutama di daerah dengan kepadatan unggas air yang tinggi juga sangat penting untuk pengurangan risiko penularan.

Vaksinasi dapat menjadi strategi pencegahan tambahan yang efektif. Selain itu, edukasi publik tentang cara penularan HPAI dan langkah-langkah pencegahannya sangat penting untuk meningkatkan kesadaran dan meminimalisir risiko penularan dari ternak ke manusia.

Baca Juga: Polusi Udara: Bom Waktu yang Mengintai Kota-Kota Besar

Upaya konservasi sangat krusial untuk memelihara ekosistem yang sehat dan menekan penyebaran virus. Pemulihan habitat alami dapat meredam dampak perubahan iklim pada populasi burung liar, sehingga menurunkan risiko penularan virus HPAI.

Kesiapan dalam merespon dan mengelola wabah merupakan elemen penting dalam kesiapsiagaan menghadapi pandemi HPAI. Rencana tanggap darurat yang komprehensif dan teruji, kapasitas laboratorium yang memadai, serta ketersediaan obat antivirus dan perawatan medis yang tepat harus dipastikan. Koordinasi yang efektif antar sektor, termasuk kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan lingkungan, sangat penting untuk menjamin respons yang terpadu dan efektif.

Selain itu, komunikasi risiko yang transparan dan mudah dipahami oleh publik berperan penting dalam menjaga kepercayaan dan meminimalisir kepanikan. Penelitian dan pengembangan yang berkelanjutan juga diperlukan untuk meningkatkan pemahaman tentang virus HPAI, mengembangkan vaksin dan obat antivirus yang lebih efektif, serta meningkatkan teknologi diagnostik.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *