Orang tua adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anak. Dalam lingkup keluarga, nilai, sikap, dan karakter seorang anak dibentuk sejak dini melalui pola asuh yang diterimanya. Anak adalah peniru ulung. Ia belajar dari cara orang tuanya berbicara, bersikap, hingga menyelesaikan masalah. Karena itu, pola pengasuhan yang diterapkan memiliki peran besar dalam membentuk fondasi kepribadian anak di masa depan.
Pemahaman orang tua terhadap tahapan tumbuh kembang anak menjadi kunci terjalinnya komunikasi dan interaksi yang sehat. Ketika hubungan ini harmonis, nilai-nilai yang ingin ditanamkan orang tua akan lebih mudah diterima dan diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.
Kini, tantangan itu semakin kompleks ketika pengasuhan dihadapkan pada generasi Z mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Generasi ini tumbuh di tengah derasnya arus digitalisasi. Informasi mengalir tanpa batas, teknologi menjadi bagian dari keseharian, dan media sosial menjadi ruang utama untuk berekspresi.
Dalam pusaran dunia digital, anak-anak generasi Z sering kali mengalami krisis identitas. Mereka mudah terpengaruh oleh tren, cenderung ingin serba cepat, dan kerap mencari pengakuan lewat validasi sosial. Di sisi lain, kebebasan berekspresi yang luas membuat batas antara nilai positif dan negatif semakin kabur.
Kehidupan digital memang memberi banyak kemudahan, tetapi juga membuka celah bagi persoalan etika dan karakter. Fenomena seperti rendahnya empati, ketidaksopanan dalam berkomunikasi, hingga kecanduan gawai menjadi cermin bagaimana pengawasan dan pola asuh di rumah masih perlu diperkuat.
Dalam kondisi ini, pola asuh orang tua menjadi faktor yang menentukan arah pembentukan karakter anak. Namun, tak sedikit orang tua masih berpegang pada pengalaman masa lalunya tanpa menyesuaikan diri dengan konteks zaman.
Ada yang masih menerapkan pola asuh otoriter keras, menuntut, dan minim dialog dengan dalih kedisiplinan. Sebagian lainnya justru terlalu permisif, membiarkan anak tumbuh tanpa batas yang jelas.
Padahal, anak generasi Z tidak dapat dibentuk dengan pola asuh semata-mata berdasarkan perintah dan larangan. Mereka membutuhkan penjelasan logis, ruang berdiskusi, serta kesempatan untuk didengar. Ketika anak merasa bahwa pendapatnya tidak dihargai, mereka cenderung menutup diri dan menjauh. Tidak sedikit anak yang kemudian menjadi pasif, mudah cemas, dan sulit terbuka kepada orang tuanya.
Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa komunikasi yang efektif menjadi kunci dalam pengasuhan. Anak perlu merasa aman untuk bercerita tanpa takut dihakimi. Orang tua sebaiknya tidak hanya menjadi pengatur, tetapi juga menjadi pendengar yang sabar dan pendamping yang bijak.
Dalam berbicara dengan anak, gunakan bahasa yang menenangkan, bukan mengancam. Ketika anak merasa dicintai dan dihargai, mereka akan lebih mudah menerima nilai-nilai positif yang ditanamkan.
Salah satu pola pengasuhan yang dinilai paling seimbang dan relevan diterapkan pada generasi Z adalah pola parenting otoritatif. Berbeda dengan pola otoriter yang kaku atau permisif yang terlalu bebas, pola otoritatif menempatkan keseimbangan antara kasih sayang, kebebasan, dan pengendalian diri.
Dalam pola ini, orang tua memberikan kebebasan bagi anak untuk berpendapat dan mengambil keputusan, namun tetap menetapkan batas dan aturan yang jelas. Hubungan antara orang tua dan anak bersifat dua arah terbuka, hangat, dan saling menghargai.
Anak yang tumbuh dengan pola pengasuhan otoritatif cenderung memiliki kepribadian yang lebih matang. Mereka mandiri, percaya diri, dan mampu mengontrol emosi. Ketika menghadapi tekanan, anak dengan pola asuh ini lebih mampu mengelola stres dan mencari solusi yang rasional. Mereka pun memiliki orientasi pada prestasi tanpa kehilangan empati terhadap orang lain.
Pola otoritatif juga memberi ruang bagi anak untuk mengenali potensi dirinya. Orang tua menjadi fasilitator yang menuntun, bukan penguasa yang mendikte. Ketika anak diberi kesempatan untuk berkembang dengan dukungan yang positif, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan berintegritas.
Lebih dari sekadar strategi pengasuhan, pola otoritatif sejatinya adalah bentuk hubungan manusiawi antara orang tua dan anak. Hubungan yang didasari pada kepercayaan, komunikasi, dan kasih sayang. Di tengah arus digital yang sering menimbulkan jarak emosional, pola ini menjadi jembatan untuk menjaga kehangatan keluarga.
Anak-anak generasi Z mungkin tumbuh dalam dunia yang berbeda dari orang tuanya, tetapi kebutuhan mereka akan rasa aman, cinta, dan penerimaan tetap sama. Pola asuh otoritatif menawarkan jalan tengah yang bijak bagi orang tua dalam mendidik anak di era modern: tidak mengekang, tetapi juga tidak membiarkan.
Dengan komunikasi yang terbuka dan kasih sayang yang konsisten, pola ini dapat menciptakan hubungan yang harmonis di rumah. Anak merasa didengarkan, dihargai, dan dicintai. Dari sanalah kepribadian positif akan tumbuh membentuk generasi Z yang bukan hanya cerdas secara digital, tetapi juga matang secara emosional dan sosial.





