Penambangan timah merupakan salah satu penopang penting sejarah perekonomian Indonesia, khususnya di Kepulauan Bangka Belitung. Namun di balik kontribusi tersebut, mengemuka persoalan besar yang kian mendesak: maraknya praktik tambang timah ilegal yang dilakukan tanpa izin resmi.
Aktivitas ini muncul bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi cerminan tekanan ekonomi yang dialami masyarakat di tengah minimnya lapangan pekerjaan. Meski demikian, alasan ekonomi tersebut membawa konsekuensi ekologis yang jauh lebih berat, terutama terhadap sumber daya air pondasi elementer bagi kehidupan.
Dari sisi ekonomi, sebagian masyarakat menggantungkan penghidupan mereka pada tambang timah yang menawarkan pendapatan cepat dan relatif stabil dalam jangka pendek. Namun jika ditinjau dari perspektif keberlanjutan, praktik penambangan ilegal memicu kerusakan lingkungan yang luas dan berbahaya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa dampak ekologisnya semakin nyata dan mengkhawatirkan.
Penelitian Universitas Gadjah Mada (2023) menunjukkan peningkatan kadar sedimen di sungai-sungai Bangka hingga beberapa kali lipat dari kondisi normal akibat aktivitas tambang. Universitas Diponegoro (2021) menemukan kandungan logam berat seperti timbal (Pb) dan tembaga (Cu) pada air laut di sekitar wilayah pertambangan.
Temuan Universitas Bangka Belitung (2023) juga mengidentifikasi kontaminasi logam Cu dan Zn pada sedimen Sungai Baturusa, salah satu sumber air tawar utama warga. Dampaknya jelas: air sungai dan air tanah menjadi keruh, berbau, dan tidak layak digunakan. Rangkaian fakta ilmiah ini memperlihatkan tingkat kerusakan perairan yang serius akibat operasi tambang ilegal yang tak terawasi.
Secara yuridis, aktivitas tersebut bertentangan dengan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Regulasi ini menegaskan bahwa siapa pun yang melakukan penambangan tanpa izin dapat dikenai pidana penjara dan/atau denda.
Izin usaha pertambangan (IUP), izin usaha pertambangan khusus (IUPK), serta izin lain yang dipersyaratkan adalah instrumen hukum yang bersifat imperatif. Dengan demikian, aktivitas penambangan ilegal bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi telah memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur undang-undang.
Tambang timah ilegal juga bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Setiap aktivitas pembangunan wajib mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Dalam konteks ini, penambangan tanpa izin dilakukan tanpa mekanisme AMDAL, UKL-UPL, atau kajian lingkungan lain yang seharusnya menjadi prasyarat dasar. Praktik semacam ini berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis permanen dan mengabaikan prinsip keadilan antargenerasi bahwa pemenuhan kebutuhan hari ini tidak boleh mengorbankan kemampuan generasi mendatang.
Meski demikian, persoalan ini tidak dapat dibebankan sepenuhnya kepada masyarakat. Pemerintah daerah maupun pusat perlu memahami akar struktural dari maraknya tambang ilegal. Minimnya alternatif mata pencaharian membuat sebagian warga terpaksa menempuh jalan yang melanggar aturan demi memenuhi kebutuhan dasar. Penegakan hukum semata tidak cukup meredam persoalan yang bersifat kompleks ini.
Karena itu, solusi harus dirancang secara komprehensif. Pemerintah perlu menyediakan pendampingan ekonomi alternatif melalui pengembangan pertanian berkelanjutan, perikanan ramah lingkungan, hingga ekowisata di kawasan kolong bekas tambang.
Program rehabilitasi dan reklamasi lahan bekas tambang juga harus dilakukan secara serius dan terukur agar tidak menjadi sumber pencemaran baru di masa depan. Upaya mitigasi kerusakan lingkungan wajib berjalan seiring dengan penguatan kesejahteraan masyarakat.
Pertambangan timah ilegal adalah dilema yang menghubungkan kebutuhan ekonomi dan ancaman ekologis. Jalan keluar menuntut keberanian politik, kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan, serta komitmen untuk menghadirkan keadilan lingkungan bagi seluruh generasi.





