Dari Kardus ke Posko: Perjuangan KKN Literasi UNS Menghidupkan Buku Desa

Mahasiswa KKN UNS pelaksana program literasi di Desa Sokorini, Magelang. (doc. KKN Literasi 164 UNS)
Mahasiswa KKN UNS pelaksana program literasi di Desa Sokorini, Magelang. (doc. KKN Literasi 164 UNS)

Magelang, Krajan.id – Niat mulia mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) untuk menumbuhkan budaya literasi di Desa Sokorini, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, justru terbentur kenyataan yang ironis.

Ribuan buku bantuan dari Perpustakaan Nasional (Perpusnas) yang mestinya menjadi jendela pengetahuan, tak bisa diakses warga. Buku-buku itu masih terkurung rapi di dalam kardus, tersegel, dan tak boleh dibuka semua atas kebijakan sepihak pengelola perpustakaan desa.

Bacaan Lainnya

“Padahal tujuan awal kami sederhana, ingin menghidupkan budaya membaca anak-anak. Tapi bagaimana bisa, kalau buku-buku yang seharusnya untuk masyarakat justru dikunci?” kata Lintang Mukti, ketua KKN Literasi 164 UNS, dengan nada getir.

Bantuan sekitar seribu buku yang diterima Desa Sokorini seharusnya menjadi penguat kegiatan Taman Baca Cahaya Pelangi, perpustakaan desa yang ditunjuk sebagai pusat kegiatan literasi. Namun saat mahasiswa tiba di lokasi, hampir seluruh koleksi bantuan itu masih tersegel. Beberapa bahkan dikabarkan telah dialihkan ke lembaga lain tanpa kejelasan.

Literasi yang Dikunci Segel

Mahasiswa KKN 164 UNS saat memeriksa kondisi buku bantuan Perpusnas yang dilarang untuk dibuka dan dibaca, sebuah kebijakan yang menghentikan layanan perpustakaan di desa. (doc. KKN Literasi 164 UNS)
Mahasiswa KKN 164 UNS saat memeriksa kondisi buku bantuan Perpusnas yang dilarang untuk dibuka dan dibaca, sebuah kebijakan yang menghentikan layanan perpustakaan di desa. (doc. KKN Literasi 164 UNS)

Kondisi itu mematikan denyut literasi di Sokorini. Layanan baca berhenti total, dan ruang publik yang semestinya hidup oleh kegiatan membaca kini sepi. Mahasiswa KKN yang semula berencana membuat sistem digitalisasi perpustakaan dan katalog online terpaksa menghentikan programnya.

“Warga kehilangan akses. Buku-buku itu tidak boleh dibuka, bahkan kami tidak bisa mendata atau memberi label,” tutur Angela Fidelia, anggota tim KKN. “Kami akhirnya memutuskan menciptakan ruang baca sendiri di posko.”

Langkah itu jadi titik balik kecil. Mahasiswa menggandeng ibu-ibu PKK untuk meminjam sebagian buku pribadi mereka sekitar 70 eksemplar untuk dijadikan bahan bacaan alternatif. Buku-buku itu kemudian disusun di posko KKN, yang berubah menjadi perpustakaan darurat bagi anak-anak desa.

Setiap sore, posko itu ramai oleh suara tawa dan kegiatan membaca nyaring. Anak-anak berkumpul di lantai, mendengarkan cerita dari kakak-kakak mahasiswa, atau sekadar membalik halaman buku bergambar. “Anak-anak datang hampir setiap hari. Mereka antusias sekali, walau pilihannya terbatas,” ujar Angela.

Masalah Lama: Akses dan Kuasa atas Pengetahuan

Kisah di Sokorini bukan semata soal buku yang tersegel. Ia menyingkap problem struktural yang lebih dalam tentang siapa yang berhak atas pengetahuan. Bantuan dari negara yang mestinya menjadi milik bersama justru tersandera oleh ego dan ketertutupan pengelolaan.

Mahasiswa KKN menemukan, tidak ada mekanisme transparan terkait penyerahan dan pendataan buku. Pengelola perpustakaan bersikukuh mempertahankan kebijakan “larangan penggunaan” tanpa dasar yang jelas. Akibatnya, literasi masyarakat macet di tengah jalan.

“Buku-buku itu milik publik, bukan milik pribadi,” tegas Faza Zaida, salah satu perwakilan mahasiswa KKN dalam rapat evaluasi bersama perangkat desa. “Jika akses ilmu dikunci, bagaimana literasi bisa tumbuh?”

Melalui mediasi pada 14 Juli 2025, mahasiswa KKN mengusulkan agar pemerintah desa meninjau ulang status Taman Baca Cahaya Pelangi/Sokorini Sinau sebagai lembaga pengelola.

Mereka juga mendorong pembentukan tim baru yang melibatkan unsur karang taruna, PKK, dan relawan literasi agar pengelolaan buku lebih terbuka dan akuntabel.

Dari Posko ke Harapan Baru

Suasana sore di Posko KKN 164 di mana anak-anak menemukan kembali dunia membaca meski dengan koleksi buku yang terbatas. (doc. KKN Literasi 164 UNS)
Suasana sore di Posko KKN 164 di mana anak-anak menemukan kembali dunia membaca meski dengan koleksi buku yang terbatas. (doc. KKN Literasi 164 UNS)

Walau penuh keterbatasan, program KKN Literasi UNS di Sokorini tak berakhir sia-sia. Posko mereka kini menjadi ruang kecil yang menyalakan harapan baru. Anak-anak yang dulu tak punya akses kini mulai mengenal buku, membaca bersama, dan bercerita.

“Sekecil apapun gerakan literasi, ia punya dampak. Kami percaya perubahan bisa dimulai dari hal sederhana,” ujar Lintang.

Namun, upaya mahasiswa ini hanyalah permulaan. Tanpa dukungan struktural dari pemerintah desa dan lembaga seperti Dinas Perpustakaan maupun Perpusnas, semangat literasi di akar rumput akan terus terganjal oleh tembok birokrasi dan ego personal.

Buku-Buku yang Menunggu Dibuka

Kasus di Sokorini mencerminkan persoalan yang lebih luas tentang bagaimana masyarakat memaknai pengetahuan. Buku-buku bantuan negara tak seharusnya menjadi simbol kekuasaan individu, tetapi jembatan menuju masa depan generasi muda.

Di balik segel-segel yang belum dibuka itu, tersimpan ribuan cerita yang menunggu untuk dibaca. Pertanyaannya kini: siapa yang sebenarnya berhak atas buku-buku desa?

Simak berita terbaru kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Krajan.id WhatsApp Channel: https://whatsapp.com/channel/0029VaAD5sdDOQIbeQkBct03 Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar