Dari Kelas ke Kehidupan Bagaimana Teori Sastra Mengubah Cara Saya Memandang Dunia

Penulis Dari Kelas ke Kehidupan Bagaimana Teori Sastra Mengubah Cara Saya Memandang Dunia - Dimas Andik Ardiansyah
Penulis Dari Kelas ke Kehidupan Bagaimana Teori Sastra Mengubah Cara Saya Memandang Dunia - Dimas Andik Ardiansyah

Di awal perkuliahan, saya sempat merasa asing dengan mata kuliah Teori Sastra. Saat itu, saya bahkan belum benar-benar paham apa yang akan dipelajari dan sejauh apa manfaatnya. Dalam bayangan saya, sastra hanyalah bacaan ringan untuk mengisi waktu luang, sesuatu yang dinikmati tanpa perlu dipikirkan terlalu dalam.

Pandangan itu mulai berubah seiring berjalannya waktu. Perlahan, saya menyadari bahwa karya sastra menyimpan lebih dari sekadar cerita. Di dalamnya ada cerminan kondisi sosial, ekonomi, hingga ideologi pengarang.

Bacaan Lainnya

Sejak memahami hal tersebut, cara saya membaca pun ikut berubah. Setiap dialog, setiap adegan, selalu memancing pertanyaan. Apa maksud di balik kalimat ini? Apakah ada kritik tersembunyi terhadap pemerintah, kelompok tertentu, atau realitas sosial yang sedang terjadi?

Kesadaran itu tumbuh ketika saya mulai memperhatikan pola-pola kecil dalam bacaan. Diskusi di kelas dan obrolan santai dengan teman-teman membuat saya semakin yakin bahwa karya sastra tidak pernah lahir begitu saja. Selalu ada latar belakang yang mendorongnya, entah keresahan pribadi pengarang, situasi zaman, atau perubahan sosial yang sedang bergulir.

Sejak saat itu, belajar teori sastra bukan lagi sekadar mengejar nilai akademik. Ia berubah menjadi cara untuk menjawab rasa penasaran saya terhadap makna-makna tersirat di balik kata-kata.

Dari berbagai teori yang saya pelajari, ada dua pendekatan yang paling berpengaruh dalam mengubah cara saya membaca sastra, yaitu sosiologi sastra dan pendekatan interdisipliner. Keduanya membuka mata saya bahwa karya sastra tidak hanya berbicara tentang teks, tetapi juga tentang realitas yang melingkupinya serta ilmu lain yang bisa memperkaya pemaknaan.

Sosiologi sastra mengajarkan saya melihat teks sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Saya teringat sebuah sesi tanya jawab saat presentasi, ketika seorang teman bertanya tentang fokus kajian sosiologi pengarang. Jawaban yang muncul cukup membekas. Pengarang tidak dipandang hanya sebagai individu kreatif, tetapi sebagai manusia yang hidup dalam lingkungan sosial nyata. Latar belakang keluarga, kelas sosial, pendidikan, hingga budaya tempat ia tumbuh ikut membentuk cara pandangnya terhadap dunia.

Dari sini saya memahami bahwa karya sastra tidak hanya menceritakan individu, melainkan juga sistem sosial yang membentuknya. Ketimpangan ekonomi, ketidakadilan, budaya lokal, bahkan gerakan sosial sering kali hadir secara halus dalam cerita. Membaca sastra, berarti juga membaca masyarakat yang melahirkannya.

Salah satu tokoh yang paling saya ingat dalam kajian ini adalah Lucien Goldmann dengan gagasan strukturalisme genetik. Menurut Goldmann, karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia suatu kelompok sosial. Pengarang menulis bukan semata sebagai individu, tetapi sebagai bagian dari kelas atau komunitas tertentu. Pandangan dunia ini kemudian tercermin dalam struktur cerita, tokoh, konflik, dan tema.

Pemikiran tersebut saya kaitkan dengan novel Tentang Kamu karya Tere Liye, sebuah tugas refleksi yang diberikan di kelas. Tokoh utama dalam novel ini, Sri Ningsih, lahir di Pulau Bungin, Sumbawa, sebuah pulau kecil dengan keterbatasan fasilitas hidup. Ia tumbuh sebagai yatim piatu dan harus bekerja keras sejak kecil dengan nilai ketabahan, etos kerja tinggi, serta moral yang kuat.

Jika dilihat melalui kacamata strukturalisme genetik, Sri Ningsih mewakili kelompok masyarakat kecil yang hidup dalam keterbatasan. Kisah hidupnya mencerminkan pengalaman kolektif masyarakat kelas bawah di Indonesia, mulai dari ketimpangan akses pendidikan hingga eksploitasi tenaga kerja. Perjuangan Sri sebagai buruh pabrik yang diperas tenaganya menggambarkan realitas kelas pekerja yang sudah lama terjadi sejak masa industrialisasi.

Pendekatan interdisipliner juga memberi warna baru dalam cara saya memahami sastra. Dari penjelasan dosen dan diskusi kelas, saya menyadari bahwa satu karya sastra sering kali tidak cukup dijelaskan dari satu bidang ilmu saja. Sastra bisa dikaji bersamaan dengan psikologi, filsafat, politik, atau sosiologi.

Dalam Tentang Kamu, saya melihat sisi psikologis yang kuat pada tokoh Sri Ningsih. Ia mengalami musibah bertubi-tubi, kehilangan orang tua, diperlakukan kejam oleh ibu tirinya, dan hidup dalam kesepian. Meski begitu, Sri tetap memilih bertahan. Ia bekerja keras, menahan diri, bahkan berjanji untuk tidak larut dalam tangisan.

Cara Sri menghadapi kekerasan dan kehilangan menunjukkan proses batin yang panjang dan kompleks. Pendekatan psikologi membantu saya memahami bahwa keteguhannya bukan sekadar sikap moral, melainkan hasil pergulatan jiwa yang mendalam.

Sementara itu, seorang teman saya melihat novel ini dari sudut pandang filsafat. Sikap Sri yang tetap menolong ibu tirinya, meski sering disakiti, mencerminkan etika kebajikan. Nilai moral tidak ditentukan oleh balasan atau keadilan yang setara, melainkan oleh karakter dan kebiasaan baik yang tertanam dalam diri seseorang. Dari sisi filsafat eksistensial, Sri digambarkan sebagai manusia yang membentuk makna hidupnya melalui pilihan dan sikap, bahkan ketika situasi hidupnya tidak adil.

Pengalaman saling berbagi sudut pandang ini membuat saya semakin sadar bahwa sastra selalu terbuka untuk ditafsirkan dari berbagai arah.

Setelah satu semester mempelajari teori sastra, cara saya memandang karya sastra berubah secara mendasar. Di balik indahnya rangkaian kata, sering tersembunyi kritik, pengalaman personal, atau representasi realitas sosial yang dialami pengarang maupun kelompok tertentu. Kesadaran ini terasa seperti teguran bagi saya, bahwa ketidakadilan adalah bagian dari kehidupan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Saya juga belajar bahwa sastra tidak pernah berdiri sendiri. Ia menjadi semakin bermakna ketika dibaca dengan berbagai pendekatan ilmu. Sastra bisa menjadi ruang refleksi, bahan pembelajaran, sekaligus sumber hikmah. Melalui cerita-cerita yang ditulis, kita diajak bercermin, memahami pengalaman orang lain, dan belajar menjadi manusia yang lebih peka terhadap sekitar.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *