Dalam dunia pendidikan, asesmen adalah tulang punggung proses pembelajaran, termasuk di Indonesia. Tanpa penilaian yang tepat, guru akan kesulitan mengukur sejauh mana kompetensi siswa terbentuk. Dalam konteks Pendidikan Agama Islam (PAI), asesmen tidak hanya berfungsi untuk menilai penguasaan materi, tetapi juga menilai aspek spiritual dan moral peserta didik, dua dimensi penting yang membentuk karakter siswa secara utuh.
Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menunjukkan skor Indonesia masih tertinggal jauh di bawah rata-rata OECD, yakni peringkat 71 untuk sains, 73 untuk matematika, dan 74 untuk membaca dari 81 negara. Fakta ini menegaskan bahwa Indonesia memerlukan reformasi penilaian yang bukan hanya berfokus pada ujian akhir, melainkan lebih menekankan pada pembelajaran yang bermakna.
Sebagai salah satu jawaban atas tantangan tersebut, Kurikulum Merdeka—yang merupakan penguatan dari Kurikulum 2013—menghadirkan konsep penilaian formatif untuk memantau kemajuan belajar secara berkelanjutan. Konsep ini memungkinkan guru memberikan umpan balik cepat kepada murid, membantu mereka memperbaiki kesalahan sebelum ujian akhir tiba.
Selain itu, kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang menggantikan Ujian Nasional dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter, menempatkan fokus utama pada kompetensi literasi dan numerasi sesuai standar internasional.
Tidak hanya itu, aspek non-kognitif seperti moral dan etika juga ikut diukur. Data survei Kemdikbud tahun 2023 memperkuat pentingnya pendekatan ini: 78% guru PAI merasa lebih efektif memberikan umpan balik formatif dibandingkan hanya mempersiapkan ujian akhir.
Fenomena ini bukan sekadar tren sesaat, tetapi kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kualitas pembelajaran PAI. Asesmen formatif memungkinkan guru mengukur aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik secara simultan, sesuatu yang tidak dapat dicapai hanya dengan ujian akhir.
Kebutuhan akan asesmen formatif semakin terlihat jelas ketika kita melihat rendahnya pemahaman siswa terhadap materi, baik dari fenomena di sekolah maupun dari data PISA. Penerapan asesmen formatif dalam proses belajar mengajar menjadi fondasi penting karena mampu menyediakan umpan balik langsung yang membantu guru dan siswa mengenali kekuatan serta area yang perlu diperbaiki sebelum ujian akhir.
Perbandingan dampak antara penilaian sumatif dan formatif terhadap perkembangan kognitif dan afektif siswa juga menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hasil meta-analisis yang dilakukan Black & Wiliam (1998) menunjukkan bahwa intervensi formatif rata-rata memperbaiki hasil belajar sebesar 0,4 hingga 0,7 deviasi standar—sebuah efek yang sangat besar dalam penelitian pendidikan.
Di Indonesia, studi quasi-eksperimental pada pembelajaran fisika SMA menemukan bahwa kemampuan kognitif siswa meningkat dengan effect size sebesar d = 0,72 setelah integrasi “concept checks” formatif, sementara kelas kontrol tanpa intervensi tidak menunjukkan peningkatan serupa.
Penelitian lainnya oleh Kurniawan et al. (2024) juga mendukung temuan ini. Mereka menemukan bahwa 85% siswa yang mendapatkan penilaian formatif memperoleh skor di atas KKM pada ujian tengah semester, sedangkan hanya 62% siswa pada kelompok sumatif yang mencapai batas minimal.
Observasi di sejumlah madrasah yang menerapkan Kurikulum Merdeka juga mencatat penurunan angka ketidakhadiran sebesar 30% pada siswa yang rutin menerima feedback formatif, dibandingkan hanya 5% penurunan pada kelompok yang mempersiapkan ujian sumatif.
Data-data ini memperkuat argumen bahwa penilaian formatif bukanlah sekadar alat tambahan, tetapi faktor kunci dalam memperkuat pemahaman konsep, memupuk kepercayaan diri, dan meminimalkan kecemasan ujian—semua ini merupakan faktor esensial dalam pembelajaran PAI yang holistik.
Salah satu keunggulan asesmen formatif adalah kemampuannya meningkatkan motivasi, penguatan pengetahuan, dan pembentukan perilaku positif. Dari sisi motivasi, asesmen formatif memfasilitasi self-regulated learning: umpan balik yang tepat waktu mendorong siswa untuk terlibat aktif, meningkatkan motivasi intrinsik, serta mengurangi ketergantungan pada skor akhir.
Sebuah studi di MTs Al-Musaddadiyah Garut bahkan menunjukkan motivasi belajar siswa Akidah Akhlak meningkat sebesar 52% pada siklus pertama dan 87% pada siklus kedua setelah penerapan asesmen formatif, sedangkan kelompok kontrol hanya mengalami kenaikan 15% tanpa intervensi serupa.
Dari perspektif pengetahuan, umpan balik formatif memungkinkan guru menyesuaikan materi sesuai kebutuhan siswa, memperbaiki miskonsepsi sebelum menumpuk materi baru. Dalam konteks PAI, ketepatan makna dalam memahami Al-Qur’an-Hadist atau konsep fiqih sangat penting, karena salah tafsir dapat memengaruhi pemahaman spiritual siswa. Sedangkan dalam ranah perilaku, asesmen formatif mendorong teknik refleksi dan penetapan tujuan (goal setting) yang membentuk kebiasaan belajar kritis serta tanggung jawab moral siswa.
Dalam membudayakan asesmen formatif, guru perlu memahami konsep dan bentuk penerapannya. Dua pendekatan penting yang dapat dipertimbangkan adalah konstruktivisme Jean Piaget dan Lev Vygotsky. Piaget menekankan bahwa pengetahuan dibangun melalui interaksi dengan lingkungan, bukan sekadar diserap secara pasif.
Tahap-tahap perkembangan kognitif menurut Piaget—sensorimotor, praoperasional, konkret operasional, hingga formal operasional—menyediakan kerangka penting untuk memahami kesiapan kognitif siswa.
Dalam PAI, misalnya, guru bisa menggunakan metode “jigsaw” untuk membagi topik sirah Nabi menjadi bagian kecil yang dikerjakan kelompok, kemudian disusun kembali menjadi pemahaman utuh yang sesuai skema berpikir siswa. Guru juga berperan sebagai fasilitator dengan memberikan pertanyaan eksploratif, contoh konkret, dan memfasilitasi diskusi yang membantu siswa membangun pemahaman yang kokoh.
Sementara itu, Vygotsky menekankan peran interaksi sosial dan konsep zona perkembangan proksimal (ZPD)—jarak antara apa yang dapat dicapai siswa sendiri dan dengan bantuan teman atau guru yang lebih mahir.
Dalam pembelajaran PAI, guru atau teman sebaya berfungsi sebagai scaffold yang membantu siswa menginternalisasi konsep akhlak atau fiqih. Contohnya, siswa dipasangkan dengan santri senior untuk berdiskusi mengenai hukum fiqih sebelum mengerjakan soal mandiri. Pendekatan ini menunjukkan bahwa penilaian formatif bukan hanya soal umpan balik individual, tetapi juga refleksi sosial yang memperkaya pemahaman.
Integrasi teori Piaget dan Vygotsky dalam PAI akan semakin menguatkan pemahaman siswa. Pada pelajaran Al-Qur’an-Hadist, guru dapat menggunakan concept checks ala Piaget untuk mendorong asimilasi teks, diikuti diskusi tafsir kelompok kecil sebagai scaffolding menurut Vygotsky.
Pada materi akidah, pemahaman tauhid bisa dibantu dengan analogi konkret dan diskusi asmaul husna bersama teman sebaya. Di bidang akhlak, peran role-play dilanjutkan dengan umpan balik sosial membantu membentuk penalaran moral siswa.
Pada fiqih, strategi jigsaw dipadukan dengan diskusi kelompok heterogen menghasilkan pemahaman aplikatif. Sedangkan pada sejarah Islam, pembuatan peta timeline oleh siswa lalu dipresentasikan dan dikoreksi bersama akan memperkaya perspektif kolektif.
Jika diterapkan secara berkelanjutan, asesmen formatif terbukti lebih efektif dibandingkan ujian akhir dalam pembelajaran PAI karena tiga alasan utama: pertama, mendorong keterlibatan aktif dan motivasi intrinsik siswa; kedua, memperkuat pemahaman kognitif melalui umpan balik yang berkesinambungan; dan ketiga, membentuk perilaku moral reflektif melalui interaksi sosial.
Piaget mengingatkan pentingnya menyesuaikan materi dengan tahap perkembangan kognitif siswa, sementara Vygotsky menggarisbawahi pentingnya scaffold sosial untuk memperluas zona belajar mereka. Implementasi asesmen formatif pada elemen Al-Qur’an-Hadist, akidah, akhlak, fiqih, dan sejarah Islam menciptakan ekosistem belajar yang holistik dan menyentuh seluruh aspek kognitif, afektif, dan sosial.
Oleh karena itu, guru PAI dan pemangku kebijakan harus melihat asesmen formatif bukan hanya sebagai metode alternatif, tetapi sebagai fondasi utama dalam desain kurikulum dan praktik pengajaran. Hanya dengan pendekatan yang berfokus pada umpan balik yang membangun, pembelajaran PAI dapat menjawab tantangan zaman, membentuk siswa yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan moral.





