Gemerlap janji pendidikan terdigitalisasi sering kali mengaburkan pertanyaan krusial: apakah kita tengah mengorbankan pembelajaran yang bermakna demi mengejar efisiensi algoritmik? Di berbagai sekolah di Indonesia, penggunaan platform seperti Kahoot, Quizizz, dan Google Form untuk evaluasi menjadi tren yang menjanjikan kecepatan dan analisis berbasis data.
Namun, di balik kemudahan itu, muncul retakan yang tidak bisa diabaikan: guru yang belum siap secara kompetensi, kesenjangan digital yang menganga, serta penyederhanaan proses belajar yang mereduksi makna menjadi sekadar angka instan.
Bahaya sesungguhnya bukan terletak pada teknologi itu sendiri, melainkan pada kecenderungan kita menganggap kemudahan sebagai kemajuan. Ketika evaluasi lebih menekankan pada kuis gamifikasi daripada kemampuan berpikir kritis, kita perlu bertanya: apakah kita sedang membentuk generasi pemikir atau sekadar pencetak nilai? Ini bukan seruan untuk menolak inovasi, melainkan ajakan untuk mengembalikan ruh kemanusiaan dalam pendidikan di tengah gempita dunia yang serba instan.
Kurikulum Merdeka, yang dirancang untuk menekankan keberagaman gaya belajar dan pertumbuhan personal, ironisnya berbenturan dengan keterbatasan sistem evaluasi digital. Ketika filosofi kurikulum menekankan pembelajaran kontekstual dan reflektif, ketergantungan pada model soal pilihan ganda di aplikasi seperti Quizizz justru memangkas kompetensi kompleks menjadi sekadar benar atau salah.
Di titik inilah impian Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi berisiko menjadi korban dari fenomena “solusionisme teknologi”—yakni ketika alat justru mendikte tujuan, bukan melayani tujuan tersebut.
Pandemi COVID-19 mempercepat adopsi teknologi dalam pendidikan, tetapi juga membongkar ketimpangan struktural yang telah lama ada. Ketika guru-guru berpindah ke Google Form atau Quizizz dalam hitungan hari selama lockdown, logika bertahan hidup lebih mendominasi daripada kualitas pembelajaran.
Tiga tahun kemudian, apa yang dimulai sebagai adaptasi darurat berubah menjadi norma. Kini, kita dihadapkan pada kenyataan pahit: efisiensi yang lahir dari krisis kerap kali mengorbankan kualitas dan kedalaman belajar. Di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar), evaluasi digital bukan lagi soal materi, tetapi soal bertahan hidup dari keterbatasan kuota dan jaringan.
Aplikasi berbasis hiburan edukatif seperti Kahoot, Wordwall, dan Quizizz memang berhasil meningkatkan keterlibatan siswa melalui tampilan visual menarik dan papan peringkat kompetitif. Namun, apakah keterlibatan itu berbanding lurus dengan pemahaman? Penelitian oleh Nicolae dkk. (2017) menunjukkan bahwa antarmuka mencolok sering kali hanya memicu pemrosesan kognitif dangkal.
Siswa lebih mengingat musik dan animasi kuis daripada substansi materi. Inovasi seperti ini, jika tidak dirancang dengan matang, hanyalah pemanis digital pada model evaluasi yang sudah ketinggalan zaman.
Efisiensi semu menjadi bayangan gelap dari digitalisasi evaluasi. Platform seperti Wordwall atau Kahoot memudahkan guru menyusun soal dan memperoleh hasil instan. Namun, apakah kecepatan ini sepadan dengan kualitas hasil belajar? Laporan UNESCO dalam Global Education Monitoring Report 2023 mencatat bahwa ketimpangan digital antara wilayah perkotaan dan pedesaan tetap tinggi. Evaluasi berbasis data dan kecepatan berisiko mengabaikan refleksi mendalam, pemahaman kritis, dan proses belajar yang sebenarnya.
Gamifikasi dalam pembelajaran bisa memikat, tapi juga menyesatkan. Elemen permainan seperti leaderboard atau efek visual hanya merangsang kesenangan jangka pendek. Studi oleh Roberts (2023) menyatakan bahwa pelepasan dopamin saat bermain kuis belum tentu mencerminkan peningkatan kualitas pemahaman. Alih-alih menjadi jalan menuju pembelajaran, gamifikasi yang berlebihan bisa menjadi gangguan yang menyamarkan tujuan utama pendidikan.
Kita juga tidak boleh melupakan kesenjangan digital yang semakin melebar. Di berbagai daerah terpencil, siswa menghadapi keterbatasan jaringan, perangkat, dan keterampilan dasar teknologi. Laporan UNESCO mencatat bahwa sekitar 41% guru di daerah terpencil Indonesia belum terlatih memadai dalam penggunaan teknologi pendidikan. Ketika evaluasi sangat bergantung pada teknologi, ketimpangan ini mengorbankan siswa bukan karena ketidakmampuan, tetapi karena minimnya akses.
Evaluasi digital cenderung menyederhanakan makna pembelajaran menjadi angka-angka yang mudah dihitung. Dalam konteks Pendidikan Agama Islam (PAI), misalnya, nilai-nilai spiritual, moralitas, dan pengamalan ajaran agama sulit diukur dengan kuis daring.
Studi oleh Syafii dan Retnawati (2022) menekankan pentingnya pendekatan kontekstual dan reflektif dalam pembelajaran PAI. Jika evaluasi hanya fokus pada skor, maka kita sedang menjauh dari tujuan pembentukan karakter yang seharusnya menjadi inti pendidikan.
Agar digitalisasi evaluasi benar-benar membawa manfaat, pendekatannya harus bersifat menyeluruh. Peningkatan kompetensi guru merupakan syarat mutlak. Penguasaan teknologi tidak cukup berhenti pada kemampuan teknis membuat soal digital, tetapi harus menyentuh pada pemahaman mendalam tentang pedagogi digital, konteks sosial budaya siswa, serta tujuan evaluasi yang sejati.
Program pelatihan guru perlu dirancang bukan sekadar satu arah, tetapi dialogis dan reflektif. Guru perlu ruang untuk bertukar pengalaman, menganalisis tantangan, dan membangun kesadaran kritis dalam penggunaan alat digital.
Pemerintah juga perlu memainkan peran aktif dalam memperluas pelatihan yang berakar pada kebutuhan lokal, serta memperkuat infrastruktur teknologi secara merata di seluruh wilayah. Tanpa hal ini, digitalisasi hanya akan memperbesar jurang ketimpangan. Dalam konteks PAI, misalnya, guru perlu dilatih membuat asesmen digital yang mampu menangkap nilai spiritual dan integritas siswa, bukan sekadar aspek kognitif belaka.
Kini saatnya kita berhenti memuja efisiensi sebagai ukuran utama keberhasilan pendidikan. Evaluasi pembelajaran bukan sekadar tentang kecepatan koreksi, melainkan tentang makna yang tersembunyi di balik setiap jawaban siswa. Digitalisasi, tanpa empati dan kedewasaan berpikir, bisa menjauhkan kita dari esensi pendidikan: membentuk manusia yang utuh, cerdas, dan berbudi.
Guru bukan sekadar operator teknologi. Ia adalah pengarah nilai, pembentuk karakter, dan penjaga makna. Kita tidak bisa menyerahkan masa depan pendidikan sepenuhnya pada algoritma dan dasbor statistik. Diperlukan keberanian kolektif dari pendidik, pembuat kebijakan, dan masyarakat untuk merancang asesmen digital yang adil, reflektif, dan kontekstual.
Karena di balik setiap klik kuis digital, tersimpan masa depan anak-anak Indonesia. Dan masa depan itu tidak bisa dibangun hanya dengan efisiensi. Ia membutuhkan hati, akal, dan keberanian berpikir melampaui angka.





