Digitalisasi Kota, Tapi Manusia Masih Analog: PR Besar Smart City Surabaya

Ilustrasi ini menyoroti bahwa kemajuan teknologi tanpa kesiapan manusia hanya akan menciptakan jarak sosial dan ketimpangan baru dalam ruang kota pintar. (GG)
Ilustrasi ini menyoroti bahwa kemajuan teknologi tanpa kesiapan manusia hanya akan menciptakan jarak sosial dan ketimpangan baru dalam ruang kota pintar. (GG)

Surabaya terus berbenah diri menuju kota pintar. Dalam beberapa tahun terakhir, wajah ibu kota Provinsi Jawa Timur ini berubah drastis. Digitalisasi merambah ke berbagai aspek pelayanan publik. Warga kini dimudahkan oleh kehadiran teknologi dalam mengakses layanan, mulai dari perizinan daring, aplikasi pengaduan warga, hingga sistem pembayaran parkir digital berbasis QRIS yang menggantikan uang tunai.

Langkah ini jelas menunjukkan arah kebijakan menuju smart city yang efisien, transparan, dan bebas dari praktik pungutan liar. Namun, di balik kemajuan itu, masih ada persoalan mendasar yang belum tersentuh secara serius yaitu kesiapan manusia di balik sistem yang canggih tersebut.

Bacaan Lainnya

Kemajuan teknologi tidak serta-merta diiringi oleh kesiapan sumber daya manusia. Masih banyak pelaku teknis di lapangan, seperti juru parkir, yang belum siap mengikuti kecepatan perubahan. Contoh paling nyata adalah insiden yang terjadi di awal tahun 2024, ketika seorang juru parkir di pusat kota menolak menggunakan alat pembayaran digital. Ia bahkan menutupi alat tersebut dan tetap meminta pembayaran tunai, seolah teknologi itu tidak pernah hadir.

Kejadian ini bukan satu-satunya. Penolakan serupa kerap terjadi di beberapa titik parkir lain. Fenomena ini menandakan bahwa teknologi yang canggih sekalipun akan mandek bila manusianya belum disiapkan.

Penolakan terhadap sistem baru ini bukan semata-mata karena ketidakmampuan, melainkan karena kurangnya komunikasi, pemahaman, dan pendampingan. Ketakutan akan kehilangan pekerjaan, minimnya literasi digital, hingga kebiasaan lama menjadi hambatan besar dalam proses transformasi digital di Surabaya.

Program yang baik sekalipun bisa terhenti di tengah jalan apabila tidak melibatkan aktor-aktor utama di lapangan. Para juru parkir bukan sekadar objek dari kebijakan ini, melainkan subjek yang harus dipersiapkan dan diajak berdialog. Sayangnya, kebijakan ini terkesan top-down, minim sosialisasi, dan terlalu percaya bahwa teknologi bisa bekerja otomatis tanpa adaptasi manusia.

Selain itu, praktik parkir liar masih marak. Selama belum ada pengawasan yang kuat dan komitmen untuk menegakkan aturan, sistem secanggih apa pun bisa dimanipulasi. Digitalisasi tanpa integritas hanya akan menjadi alat baru untuk praktik lama.

Lalu, apakah program ini harus dihentikan? Tentu tidak. Justru keberadaan sistem parkir digital membawa banyak manfaat strategis. Ia dapat mendorong transparansi pendapatan daerah, memberikan kepastian tarif kepada pengguna, serta menyediakan data real-time yang berguna untuk perencanaan kebijakan transportasi. Keberadaannya juga bisa menjadi alat untuk menekan praktik pungli dan meningkatkan efisiensi layanan publik.

Namun, agar tujuan-tujuan itu tercapai, pemerintah kota harus mengubah pendekatannya. Edukasi, pelatihan, dan pendampingan harus menjadi prioritas utama. Pendekatan berbasis teknologi perlu dilengkapi dengan pendekatan berbasis kemanusiaan. Jangan hanya bicara soal sistem, tapi juga siapkan manusia yang akan menjalankan sistem itu.

Literasi digital di kalangan masyarakat dan para pelaku teknis harus ditingkatkan. Ketimpangan pengetahuan teknologi antara generasi muda dan tua, antara pusat dan pinggiran kota, harus dijembatani. Pemerintah juga perlu bersikap inklusif dalam mendesain sistem yang ramah pengguna, mudah diakses, dan memberi rasa aman bagi semua pihak yang terlibat.

Pada akhirnya, menjadi kota pintar bukan berarti semua harus digital secara instan. Kota yang benar-benar pintar adalah kota yang memahami konteks sosial budayanya sendiri. Teknologi harus menjadi alat bantu, bukan penguasa. Dan yang lebih penting lagi, manusia sebagai aktor utama harus dilibatkan secara penuh, didengar aspirasinya, serta diberdayakan potensinya.

Karena smart city bukan hanya tentang infrastruktur digital, tetapi juga soal membangun kultur dan mindset baru. Sebab kota bukan sekadar kumpulan bangunan dan jaringan digital, tetapi tempat hidup manusia yang harus merasa terlibat dan dilayani dengan adil.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *