Dinamika Sejarah dan Relevansi Hukum Islam di Indonesia

Ilustrasi foto. (taxation)
Ilustrasi foto. (taxation)

Hukum Islam atau syariah telah mengalami perjalanan panjang seiring dengan sejarah umat Islam, mulai dari masa Nabi Muhammad SAW hingga era modern saat ini. Sejak masa kenabian (610–632 M), hukum Islam bersumber langsung dari wahyu Allah yang tercantum dalam Al-Qur’an, serta penjelasan Nabi melalui sunnah. Pada periode ini, hukum tidak hanya mengatur aspek ibadah ritual seperti zakat, puasa, dan haji, tetapi juga mencakup urusan sosial, ekonomi, dan pidana.

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, masa Khulafaur Rasyidin (11–14 H) menjadi fase penting dalam perkembangan hukum Islam. Para sahabat menghadapi persoalan-persoalan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga metode ijtihad dan musyawarah mulai diterapkan dalam pengambilan keputusan hukum. Hal ini menjadi tonggak awal pembentukan tradisi hukum Islam yang lebih dinamis.

Bacaan Lainnya

Memasuki masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, hukum Islam mengalami perkembangan pesat. Muncul berbagai mazhab seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, yang masing-masing memiliki pendekatan dan metode interpretasi terhadap sumber hukum Islam. Pada era Abbasiyah (750–1258 M), dilakukan kodifikasi besar-besaran terhadap ilmu fikih dan hadis. Hal ini menjadikan hukum Islam semakin sistematis, komprehensif, dan dapat diterapkan dalam berbagai konteks masyarakat Muslim yang beragam.

Modernisasi hukum Islam mulai terasa sejak abad ke-19, ketika dunia Islam dihadapkan pada pengaruh kolonialisme Barat dan gelombang reformasi sosial. Banyak negara Muslim, termasuk Indonesia, mulai menyesuaikan penerapan hukum Islam agar relevan dengan perkembangan zaman serta sistem hukum nasional yang berlaku.

Di Indonesia, proses masuknya Islam berlangsung melalui jalur damai dan akulturatif, dengan perdagangan maritim sebagai salah satu faktor utama. Ada beberapa teori yang menjelaskan asal-usul masuknya Islam ke Nusantara. Teori Gujarat menyatakan bahwa Islam dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, India, pada abad ke-7 M, didukung oleh bukti seperti batu nisan Sultan Malik al-Saleh di Aceh. Namun, teori ini dikritik karena terlalu menitikberatkan pada bukti fisik.

Teori Makkah mengemukakan bahwa Islam masuk melalui jamaah haji yang kembali dari tanah suci dan menyebarkannya ke Nusantara. Pendapat ini didukung oleh sejarawan Barat seperti T.W. Arnold dan Van Leur, serta tokoh Indonesia seperti Buya Hamka.

Sementara itu, Teori Persia menunjukkan adanya pengaruh pedagang Persia dengan bukti kesamaan tradisi seperti perayaan Tabut dan gaya kaligrafi makam. Teori Tiongkok pun tidak kalah penting, menyebutkan bahwa pedagang Muslim dari Tiongkok turut serta dalam proses penyebaran Islam.

Bukti sejarah menunjukkan bahwa Islam telah hadir di Indonesia sejak abad ke-7, namun pengaruhnya semakin kuat pada abad ke-13, ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudra Pasai di Aceh dan Kesultanan Demak di Jawa. Proses Islamisasi berlangsung damai, disertai dengan akulturasi budaya yang memungkinkan hukum Islam diterima luas oleh masyarakat yang sebelumnya menganut Hindu-Buddha.

Namun, masa penjajahan Belanda membawa tantangan besar. Awalnya, Belanda bersikap kompromistis terhadap hukum Islam. Seiring waktu, mereka menerapkan politik devide et impera dengan cara mempertentangkan hukum Islam dan hukum adat demi dominasi hukum kolonial. Akibatnya, hukum Islam kehilangan peran dominannya dalam kehidupan masyarakat.

Setelah Indonesia merdeka, hukum Islam mulai mendapatkan pengakuan kembali. Salah satu tonggak penting adalah lahirnya Undang-Undang No. 14 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang mengatur kewenangan pengadilan agama dalam perkara seperti perkawinan, waris, dan wakaf. Pengakuan ini memperkuat posisi hukum Islam sebagai sistem hukum yang berdiri sendiri dalam ruang lingkup tertentu.

Era reformasi membawa peluang baru. Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 membuka ruang bagi pembentukan peraturan daerah berbasis syariah, khususnya di daerah yang memiliki kekhususan, seperti Provinsi Aceh. Di sana, hukum Islam dilembagakan melalui Qanun, yang mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat, dari ekonomi, sosial, hingga kriminal, sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Pokok-pokok sumber hukum Islam mencakup:
Al-Qur’an, sebagai sumber utama dan petunjuk hidup umat Islam;
Sunnah Nabi, berupa perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW;
Ijma’, yaitu kesepakatan para ulama;
dan Qiyas, yakni analogi hukum dari kasus serupa.

Selain itu, beberapa mazhab seperti Maliki juga menambahkan praktik masyarakat Madinah (amal ahl al-Madinah) sebagai rujukan hukum, mengingat kota tersebut sebagai pusat awal perkembangan Islam setelah hijrah.

Dalam praktiknya, hukum Islam tidak hanya mengatur ibadah ritual, tetapi juga aspek muamalah seperti ekonomi, sosial, pidana, dan politik. Kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan realitas masyarakat menjadikannya sistem hukum yang hidup dan adaptif.

Dapat disimpulkan bahwa relevansi hukum Islam dari masa ke masa terletak pada fleksibilitasnya dalam menghadapi perubahan sosial dan politik, tanpa kehilangan nilai-nilai dasar keadilan dan moralitas. Di Indonesia, hukum Islam bukan sekadar peninggalan sejarah, tetapi merupakan sistem yang terus berkembang, menjawab tantangan zaman, serta berperan dalam menjaga kemaslahatan umat dan memperkuat fondasi kehidupan berbangsa dalam kerangka negara hukum yang demokratis dan pluralistik.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *