Pendidikan hukum yang menanamkan keberanian pada siswa sangat penting sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan serta pelecehan seksual di lingkungan sekolah. Dengan membekali siswa SMK Negeri 4 Kota Tangerang Selatan melalui edukasi hukum yang komprehensif, mereka tidak hanya memahami hak dan kewajiban secara legal, tetapi juga memiliki keberanian untuk menolak serta melawan segala bentuk tindakan yang merendahkan martabat mereka. Langkah ini sejalan dengan prinsip pendidikan karakter yang menekankan pembentukan sikap sosial, empati, dan tanggung jawab.
Di sekolah-sekolah di Tangerang Selatan, nilai-nilai seperti kejujuran, kedisiplinan, dan tanggung jawab telah menjadi fondasi penting dalam interaksi sosial siswa. Melalui pendidikan hukum yang berbasis pada keberanian, siswa diharapkan mampu menjadi subjek aktif dalam penegakan aturan serta pelindung diri dan orang lain dari tindakan kekerasan.
Dalam konteks ini, edukasi hukum bukan hanya sebatas pemahaman teori, melainkan sebagai alat pemberdayaan yang strategis untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman, kondusif, dan bebas dari kekerasan maupun pelecehan seksual.
Perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Undang-undang ini mengatur berbagai bentuk kekerasan seksual, seperti pelecehan, pemerkosaan, eksploitasi seksual, hingga kekerasan seksual berbasis digital.
UU ini juga memberikan perlindungan menyeluruh bagi korban, termasuk hak atas keamanan pribadi dan keluarga, pendampingan hukum, jaminan kerahasiaan identitas, serta bantuan psikologis dan sosial.
Sanksi pidana yang diatur dalam UU TPKS juga cukup berat, mulai dari hukuman penjara hingga denda maksimal, pencatatan rekam jejak pelaku, dan kewajiban mengganti kerugian korban. Meski telah diatur secara komprehensif, implementasi undang-undang ini masih menghadapi tantangan, terutama dalam sosialisasi, dukungan psikologis, serta koordinasi antara aparat penegak hukum dan lembaga pendidikan.
Pasal-pasal kunci dalam UU TPKS seperti Pasal 4 ayat (1) menjabarkan sembilan bentuk kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual fisik dan nonfisik, eksploitasi, perbudakan seksual, serta pemaksaan perkawinan dan kontrasepsi. Pasal 5 dan 6 secara khusus mengatur detail pelecehan seksual nonfisik dan fisik, dengan sanksi pidana hingga 12 tahun penjara dan denda maksimal Rp300 juta.
Pasal 13 UU TPKS bahkan mengatur tentang perbudakan seksual dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Di samping itu, beberapa pasal dalam KUHP juga dapat digunakan untuk menjerat pelaku, seperti Pasal 281, 289, dan 290 yang mengatur tindakan tidak senonoh dan pencabulan dengan kekerasan.
Namun, pemahaman hukum saja tidak cukup. Edukasi hukum harus disampaikan secara aktif, kreatif, dan menyenangkan, sehingga siswa dapat menginternalisasi nilai-nilai hukum dan mengembangkan keberanian. Mereka tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga agen perubahan yang memiliki pemahaman kritis dan responsif terhadap situasi di sekitarnya.
Manfaat dari edukasi hukum sangat besar bagi siswa, terutama dalam membentuk keberanian mereka. Pertama, pendidikan hukum meningkatkan kesadaran hukum dan etika, sehingga siswa memahami hak dan kewajiban mereka serta dapat mencegah terjadinya pelecehan.
Kedua, siswa akan lebih memahami hak-hak individu termasuk pentingnya menjaga privasi tubuh dan batasan pribadi. Ketiga, edukasi ini mengembangkan kemampuan berpikir kritis, sehingga siswa mampu menganalisis situasi yang berpotensi membahayakan.
Keempat, siswa terdorong untuk berpartisipasi aktif dalam mencegah tindak kekerasan di lingkungan sekolah dan masyarakat. Terakhir, edukasi ini membangun keberanian untuk melapor, sebuah aspek penting agar tindakan kekerasan tidak terus berulang dan pelaku dapat diproses secara hukum.
Keberhasilan pendidikan hukum tidak dapat dicapai tanpa dukungan dari guru dan orang tua. Orang tua sebagai figur terdekat bagi anak harus menjalin komunikasi yang terbuka dan suportif. Mereka harus mampu memberikan pemahaman yang sesuai usia mengenai apa itu pelecehan seksual, bagaimana cara melindungi diri, serta mengenali tanda-tanda bahaya. Selain itu, pengawasan terhadap pergaulan dan aktivitas anak di dunia digital juga menjadi bagian penting dari perlindungan.
Guru memiliki peran yang tak kalah penting. Melalui kurikulum pembelajaran, guru dapat mengintegrasikan materi tentang perlindungan anak dan edukasi seksual yang sesuai usia. Mereka juga harus menciptakan lingkungan kelas yang aman, menjadi pendengar yang baik bagi siswa, serta siap menjadi penghubung antara siswa dan pihak berwenang bila terjadi kasus pelecehan. Sekolah juga perlu menerapkan kebijakan yang tegas dan responsif terhadap kasus kekerasan seksual agar siswa merasa aman untuk berbicara dan mendapatkan perlindungan.
Kekerasan dan pelecehan seksual merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Tindak ini tidak hanya menimbulkan luka fisik, tetapi juga trauma psikologis dan dampak sosial yang panjang. Sekolah sebagai lingkungan tempat tumbuh dan berkembangnya anak-anak dan remaja harus menjadi ruang yang aman dari segala bentuk kekerasan.
Perlu ada kesadaran kolektif dan komitmen semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, keluarga, maupun lembaga pendidikan, untuk bersinergi menciptakan ruang yang aman dan nyaman bagi generasi muda.
Edukasi hukum yang disertai dengan pembangunan karakter dan keberanian menjadi strategi utama dalam menanggulangi kekerasan seksual di sekolah. Pendekatan ini tidak hanya menciptakan siswa yang paham hukum, tetapi juga membentuk pribadi yang berani bertindak ketika terjadi pelanggaran.
Mereka akan menjadi pelapor, pelindung diri, dan pembela korban, bukan hanya penonton yang diam atau takut. Dengan demikian, edukasi hukum yang berbasis pada keberanian merupakan investasi jangka panjang dalam menciptakan generasi yang kuat, berdaya, dan peduli terhadap keadilan sosial.
Dengan sinergi yang kuat antara edukasi hukum, keluarga, sekolah, dan penegakan hukum, lingkungan pendidikan kita akan menjadi tempat yang aman dan membangun bagi setiap siswa. Edukasi ini akan menjadi benteng pertahanan pertama dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual, sekaligus membuka jalan bagi terciptanya budaya sekolah yang sehat, inklusif, dan menghargai hak asasi manusia.





