Hari ini, kita hidup di zaman yang katanya serba “terhubung.” Cukup dengan satu sentuhan jari, kita bisa mengirim pesan, membagikan kabar, atau melihat aktivitas orang lain dalam waktu nyaris seketika. Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan X (dulu Twitter) menjadi alat utama komunikasi anak muda.
Tapi sebagai mahasiswa yang aktif di lingkungan kampus dan peka terhadap dinamika sosial di sekitar, saya justru melihat kenyataan yang berbeda: meskipun kita lebih sering berkomunikasi, tapi sebenarnya kita makin jarang benar-benar terhubung.
Media sosial telah mengubah cara kita berkomunikasi secara mendasar. Dulu, komunikasi erat kaitannya dengan kehadiran fisik, tatapan mata, ekspresi wajah, intonasi suara, bahkan bahasa tubuh. Sekarang? Semua bisa disampaikan melalui emoji, stiker, atau kata-kata yang sudah dipoles berkali-kali sebelum dikirim. Semakin sering kita bersembunyi di balik layar, semakin hilang pula kemampuan kita untuk memahami orang lain secara utuh.
Saya tidak hanya bicara soal teori. Dalam keseharian, saya melihat sendiri bagaimana interaksi sosial di lingkungan mahasiswa berubah drastis. Banyak dari kita yang lebih nyaman menyampaikan unek-unek melalui status atau chat pribadi, tetapi kaku saat harus berbicara langsung.
Ketika ada perbedaan pendapat dalam rapat organisasi, misalnya, konflik tidak dibicarakan secara terbuka, melainkan saling sindir lewat media sosial. Komunikasi menjadi tidak sehat, karena tidak ada ruang aman untuk berdialog secara langsung.
Yang lebih memprihatinkan adalah dampaknya terhadap kesehatan mental. Media sosial secara tidak langsung membentuk standar sosial yang tidak realistis. Kita melihat unggahan teman yang liburan, berprestasi, tampil menarik, dan merasa hidup kita kurang sempurna.
Padahal, semua itu hanyalah potongan kecil dari realita yang sudah dikurasi. Akibatnya, banyak mahasiswa merasa rendah diri, mengalami overthinking, bahkan stres karena membandingkan diri dengan standar semu yang diciptakan algoritma.
Ini bukan lagi soal teknologi, tapi soal psikologi komunikasi. Media sosial telah menciptakan jarak emosional yang tidak kita sadari. Kita tahu kabar satu sama lain, tapi tidak tahu perasaan sebenarnya. Kita saling menyapa lewat kolom komentar, tapi merasa kesepian di dunia nyata. Bahkan, banyak dari kita yang mulai merasa cemas saat harus berbicara langsung karena terlalu terbiasa dengan komunikasi digital yang serba instan dan bisa dikontrol.
Bahkan dalam konteks akademik, penggunaan media sosial juga mulai mengaburkan batas antara informasi dan opini. Mahasiswa sering kali mengambil informasi dari TikTok, Reels, atau thread X tanpa mengecek kebenarannya.
Ini menciptakan budaya instan dan superfisial, di mana yang viral dianggap valid, dan yang mendalam dianggap membosankan. Kita jadi terbiasa menerima informasi dalam bentuk potongan, bukan dalam bentuk pemahaman yang utuh.
Tentu saya tidak mengatakan bahwa media sosial harus dihapus dari hidup kita. Tidak. Saya juga menikmatinya, baik untuk hiburan, membangun jejaring, atau mengekspresikan diri. Tapi justru karena kita tahu kekuatannya begitu besar, kita harus punya kesadaran untuk tidak diperbudak olehnya. Kita perlu belajar menjadi pengguna yang sadar, bukan hanya pemakai pasif yang terus-menerus digiring algoritma.
Sebagai mahasiswa, saya percaya bahwa sudah waktunya kita membangun budaya komunikasi yang sehat, baik secara online maupun offline. Kita perlu kembali belajar mendengarkan dengan saksama, berbicara dengan empati, dan tidak takut untuk hadir secara penuh dalam percakapan nyata.
Jangan sampai kita lebih peduli dengan “views” daripada nilai dari apa yang kita katakan. Jangan sampai kita lebih nyaman mengetik paragraf panjang, tapi gugup ketika harus bicara di depan kelas.
Kita juga harus mendorong kampus, organisasi mahasiswa, dan komunitas lain untuk lebih aktif menciptakan ruang diskusi tatap muka yang aman dan terbuka. Ruang-ruang ini penting agar kita terbiasa menghadapi perbedaan pendapat tanpa rasa takut atau permusuhan. Karena komunikasi sejati tidak selalu tentang setuju, tapi tentang memahami.
Jika tidak, kita akan tumbuh menjadi generasi yang tampak sibuk berbicara, tetapi tidak saling mendengar. Generasi yang terlihat “terhubung,” tetapi sebenarnya saling asing.





