Memasuki pertengahan tahun 2025, Indonesia melangkah semakin mantap menuju cita-cita besar dalam visi Indonesia Emas 2045. Di tengah berbagai dinamika global, perekonomian nasional menunjukkan performa yang cukup menggembirakan.
Namun, keberlanjutan capaian ini sangat bergantung pada kemampuan pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan dalam mengatasi berbagai tantangan struktural yang belum terselesaikan.
Stabilitas makroekonomi sejauh ini masih terjaga dengan baik. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh sebesar 5,1 persen (year-on-year) pada kuartal pertama tahun 2025.
Pertumbuhan ini didorong oleh sektor konsumsi rumah tangga, investasi swasta, serta ekspor komoditas unggulan seperti nikel dan batu bara. Angka ini mencerminkan keberlanjutan pemulihan ekonomi pascapandemi, sekaligus sinyal ketahanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi perlambatan ekonomi global yang terjadi tahun sebelumnya.
Di sisi moneter, tingkat inflasi berada dalam batas yang terkendali, yakni sebesar 3,02 persen. Sementara itu, nilai tukar rupiah relatif stabil meskipun tekanan eksternal cukup tinggi, terutama akibat kebijakan kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve di Amerika Serikat.
Sinergi kebijakan fiskal dan moneter yang dijalankan oleh Bank Indonesia bersama Kementerian Keuangan terbukti efektif dalam menjaga stabilitas makro yang sangat dibutuhkan dalam fase pertumbuhan ini.
Di tengah stabilitas tersebut, pemerintah berupaya memanfaatkan momentum dengan mendorong transformasi struktural ekonomi melalui penguatan industri berbasis teknologi dan energi terbarukan.
Program Making Indonesia 4.0 menjadi tulang punggung revitalisasi sektor manufaktur nasional agar lebih kompetitif di pasar global. Di sisi lain, agenda transisi energi yang sedang digalakkan diarahkan pada pemanfaatan potensi energi surya, panas bumi, serta percepatan produksi kendaraan listrik berbasis baterai.
Sektor ekonomi digital juga menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, nilai ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan mencapai 150 miliar dolar AS pada tahun 2025, menjadikannya yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
Namun, di balik optimisme tersebut, persoalan ketimpangan akses digital serta rendahnya tingkat literasi teknologi di berbagai daerah masih menjadi tantangan nyata yang harus segera diatasi.
Meskipun prospek ekonomi Indonesia terlihat menjanjikan, sejumlah tantangan struktural tetap membayangi. Kualitas sumber daya manusia, misalnya, masih belum merata. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mengungkapkan kesenjangan antarwilayah yang signifikan, terutama antara Indonesia bagian barat dan timur.
Pulau Jawa masih mendominasi struktur ekonomi nasional dengan kontribusi lebih dari 58 persen terhadap PDB, sementara daerah-daerah lain belum menunjukkan performa yang setara.
Aspek lain yang tidak kalah penting adalah iklim investasi. Meski pemerintah telah mengadopsi berbagai kebijakan deregulasi melalui sistem OSS serta pengesahan UU Cipta Kerja, pelaksanaannya di lapangan kerap menghadapi hambatan birokrasi dan minimnya kepastian hukum. Hal ini membuat para investor masih berhati-hati dalam menanamkan modalnya di Indonesia.
Ke depan, jika Indonesia ingin menjadi kekuatan ekonomi global pada 2045, maka pertumbuhan ekonomi harus diarahkan pada peningkatan produktivitas nasional, penciptaan nilai tambah, serta penguatan daya saing industri. Pertumbuhan yang tidak dibarengi dengan reformasi struktural yang konsisten berisiko menjadi eksklusif dan tidak berkelanjutan.
Konsolidasi lintas sektor menjadi sangat penting. Pemerintah pusat dan daerah harus berperan aktif dalam membangun koordinasi yang solid dengan pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat sipil.
Hanya dengan kolaborasi yang kuat dan berorientasi pada keunggulan nasional, Indonesia dapat memastikan bahwa kemajuan ekonomi yang dicapai bukan hanya sekadar angka statistik, tetapi benar-benar berdampak nyata dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat.





