Ekspresi Generasi Z: Dari ‘Baper’ Menuju Isu ‘Burnout’

Ilustrasi/penulis
Ilustrasi/penulis

Generasi Z, yang lahir di era digital, menghadapi tantangan emosional yang berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Salah satu tantangan besar adalah bagaimana mereka mengelola tekanan psikologis yang terwujud dalam istilah seperti “baper” (bawa perasaan) dan “burnout.”

Istilah “baper” awalnya menggambarkan kepekaan emosional yang berlebihan. Namun, kini istilah ini mencerminkan beban emosional yang kerap dialami anak muda dalam kehidupan modern yang serba cepat.

Bacaan Lainnya

Di sisi lain, “burnout” — yang dulunya lebih sering dikaitkan dengan dunia kerja — kini juga menjadi kenyataan bagi pelajar dan mahasiswa akibat tekanan akademik, sosial, dan ekspektasi diri.

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi gangguan mental emosional pada populasi usia 15 tahun ke atas di Indonesia meningkat dari 6% pada 2013 menjadi 9% pada 2018. Kenaikan ini menunjukkan peningkatan tekanan psikologis pada generasi muda.

Salah satu penyebab utama adalah ekspektasi tinggi dari keluarga, lingkungan pendidikan, dan media sosial. Media sosial sering kali menciptakan ilusi kesempurnaan yang mendorong individu untuk tampil produktif, bahagia, dan sukses. Hal ini menimbulkan kecemasan, rasa tidak percaya diri, bahkan depresi, yang berujung pada burnout.

Fenomena ini diperburuk oleh kurangnya akses ke layanan kesehatan mental di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, negara ini hanya memiliki sekitar 1.200 psikiater dan 3.000 psikolog untuk melayani lebih dari 270 juta penduduk.

Baca Juga: Dampak Media Sosial terhadap Kebahasaan Masyarakat

Selain itu, stigma terhadap kesehatan mental membuat banyak individu enggan mencari bantuan profesional. Sistem pendidikan yang terlalu menitikberatkan prestasi akademik juga mengabaikan keseimbangan antara kesehatan mental dan fisik.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan menyeluruh yang melibatkan berbagai pihak:

Institusi pendidikan harus menjadi garda terdepan dalam menangani isu kesehatan mental. Sekolah dan universitas perlu menyediakan layanan konseling yang mudah diakses serta mengintegrasikan edukasi kesehatan mental ke dalam kurikulum. Langkah ini dapat membantu siswa mengelola tekanan dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya self-care.

Keluarga memegang peran penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung. Orang tua perlu memahami bahwa tantangan yang dihadapi Generasi Z berbeda dari generasi mereka. Membangun pola komunikasi terbuka dan menghargai emosi anak dapat membantu mengurangi tekanan psikologis.

Pemerintah harus meningkatkan investasi dalam layanan kesehatan mental dengan menambah tenaga ahli, menyediakan fasilitas yang terjangkau, serta memperluas akses di daerah terpencil. Kampanye nasional untuk mengurangi stigma terhadap kesehatan mental juga sangat diperlukan. Dukungan dari media massa dan influencer dapat membantu mengubah cara pandang masyarakat.

Baca Juga: Kecanduan Gadget: Ancaman Tersembunyi bagi Masa Depan Akademik Anak

Masyarakat perlu mengubah budaya yang mengagungkan produktivitas tanpa batas menjadi penghargaan terhadap keseimbangan hidup. Generasi Z perlu diajarkan bahwa istirahat dan perawatan diri adalah kebutuhan yang sah untuk menjaga kesehatan mental.

Pada akhirnya, fenomena “baper” dan “burnout” adalah refleksi dari tekanan sosial dan budaya yang dihadapi Generasi Z. Masalah ini hanya dapat diatasi melalui kerja sama institusi pendidikan, keluarga, pemerintah, dan masyarakat.

Dengan menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental, Generasi Z dapat berkembang menjadi individu yang sehat secara emosional dan mental, membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *