Fatwa Haram Sound Horeg: Perlukah Dijadikan Perda?

Opini Muhammad Ulil Abror
Opini Muhammad Ulil Abror

Baru-baru ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur mengeluarkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 Tentang Penggunaan Sound Horeg. Dalam fatwa tersebut MUI Jatim menyatakan bahwa festival sound horeg dapat dihukumi haram apabila memiliki intensitas suara melebihi batas wajar sehingga mengganggu kesehatan dan merusak fasilitas umum atau properti pribadi, terjadinya pencampuran pria wanita yang menjurus kepada kemaksiatan, serta menimbulkan mudarat berupa menyia-nyiakan harta (idha’atul mal).

Yang menarik dalam fatwa tersebut adalah di dalam rekomendasi nomor dua MUI Jawa Timur meminta kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk menginstruksikan kepada Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota di Jawa Timur agar segera membuat aturan sesuai kewenangannya tentang penggunaan alat pengeras suara mulai dari perizinan, standar penggunaan, dan sanksi dengan mempertimbangkan berbagai macam aspek, termasuk norma agama.

Bacaan Lainnya

Beberapa hari setelah fatwa tersebut dikeluarkan, Kepolisian Daerah Provinsi Jawa Timur (Polda Jatim) mengeluarkan surat edaran yang mengimbau masyarakat agar tidak mengadakan karnaval sound horeg. Namun nyatanya masih banyak masyarakat yang tetap mengadakan karnaval sound horeg walaupun sudah ada himbauan dari Polda Jatim.

Bahkan salah satu kepala desa di Kabupaten Malang menjadi viral karena mengeluarkan surat edaran yang mengimbau agar lansia dan orang sakit untuk mengungsi ketika karnaval sound horeg dilaksanakan di desa tersebut. Lantas, bila imbauan semata ternyata kurang efektif, apakah itu berarti bahwa pemerintah daerah (pemda) perlu membuat regulasi khusus berupa Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur karnaval Sound Horeg?.

Di dalam UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) Pasal 12 ayat (1) huruf e dijelaskan bahwa urusan pemerintahan di bidang ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat menjadi urusan pemerintahan yang wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

Hal ini bermakna bahwa pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk memastikan agar pelaksanaan karnaval sound horeg berjalan tertib serta tidak merugikan orang lain. Oleh sebab itu diperlukan suatu regulasi khusus berupa Perda yang mengatur tentang batasan-batasan dalam menyelenggarakan karnaval sound horeg.

Dikarenakan sebentar lagi kita akan merayakan Peringatan Hari Kemerdekaan RI yang ke-80 dimana biasanya banyak masyarakat desa yang menyelenggarakan karnaval sound horeg, maka penulis berpendapat bahwa sebaiknya Pemda mengupayakan agar memanfaatkan Perda yang sudah ada, terutama Perda yang terkait Ketentraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat.

Sebagai contoh penulis akan me-review Perda di Kabupaten Malang yang menjadi daerah asal kemunculan sound horeg. Pemda Kabupaten Malang telah menerbitkan Perda Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Ketertiban Umum yang menurut penulis cukup mengakomodir poin-poin penting yang disampaikan oleh MUI Jawa Timur.

Di dalam konsiderannya, MUI Jawa Timur memaparkan alasan-alasan pengharaman sound horeg. Yang pertama adalah menimbulkan bahaya dan kerugian (dharar), sound horeg dapat menimbulkan kebisingan intensitas suara 120-135 desibel (dB) atau bahkan lebih.

Ini jelas melebihi batas aman yang direkomendasikan oleh WHO yakni sebesar 85 dB. Dan ternyata di dalam Pasal 15 Perda No. 11 Tahun 2019 sudah ditentukan bahwa Setiap orang dan/atau badan dilarang menyelenggarakan kegiatan dengan pengeras suara atau sound system dengan intensitas kekuatan suara lebih dari 60 (enam puluh) desibel.

Kemudian yang kedua adalah sound horeg berpotensi menimbulkan kemunkaran dan kemerosotan moral. Seringkali karnaval sound horeg diiringi dengan joget bebas dan bercampurnya laki-laki dan perempuan yang mengenakan pakaian yang mengumbar aurat dan gerakan joget yang tidak senonoh.

Dalam acara tersebut juga sering diiringi dengan mabuk-mabukan yang terkadang berujung pada aksi tawuran. Ternyata di dalam Perda No. 11 Tahun 2019 Pasal 29 dan 31 jelas melarang setiap orang melanggar norma kesusilaan dan mabuk yang dapat mengganggu ketertiban umum.

Kemudian yang ketiga adalah sound horeg yang berlebihan dapat melanggar hak asasi orang lain. MUI Jawa Timur mengambil pendapat Imam Ghazali yang mengatakan salah satu tujuan syariat (maqashid syariah) adalah melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Dalam prakteknya seringkali merusak bangunan umum atau milik pribadi yang dianggap menghalangi masuknya sound horeg. Sound horeg yang terlalu keras juga mengganggu ketenangan yang dibutuhkan oleh bayi, orang sakit dan lansia.

Sebenarnya hal tersebut sudah diatur dalam Perda No. 11 Tahun 2019 Pasal 13 huruf a yang melarang setiap orang melakukan kegiatan yang membuat ramai, gaduh, dan/atau dapat mengganggu ketenteraman orang lain di dekat/sekitar tempat ibadah selama ibadah berlangsung, lembaga pendidikan, rumah sakit, dan/atau sekitar tempat tinggal. Pasal 16 juga melarang setiap orang merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial di Daerah.

Dari pemaparan tersebut penulis berpendapat jika suatu daerah sudah memiliki suatu Perda yang mengatur tentang ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat, maka sebenarnya pemda tersebut tidak perlu menjadikan Fatwa MUI Jawa Timur No. 1 Tahun 2025 Tentang Penggunaan Sound Horeg sebagai suatu Perda tersendiri.  

Misalnya saja Kabupaten Malang yang sudah memiliki Perda No. 11 Tahun 2019 Tentang Ketertiban Umum yang secara substansi sudah selaras dengan poin-poin yang menjadi dasar fatwa MUI Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2025 Tentang Penggunaan Sound Horeg. Tinggal bagaimana menerbitkan peraturan turunan yang lebih spesifik mengatur sound horeg serta memastikan peraturan tersebut ditaati oleh masyarakat.

Dikarenakan sound horeg sudah menjadi budaya populer bahkan Pemerintah Kabupaten Malang sendiri sudah menetapkan sound horeg sebagai kebudayaan daerah melalui Keputusan Bupati Malang Nomor: 188.45/144/KEP/35.07.013/2022. Maka menurut penulis diperlukan regulasi berupa Peraturan Bupati (Perbup) yang mengatur lebih rinci dan rigid mengenai pedoman penyelenggaraan sound horeg.

Dan yang tak kalah penting adalah diperlukan pemantauan dan pengawasan yang kuat dengan berkoordinasi dengan Satpol PP, kepolisian, Babinsa, dan instansi terkait guna mewujudkan cita-cita hukum yang menurut Rosco Pound harus mampu menciptakan rekayasa sosial (Social Engineering).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *