Yogyakarta, kota dengan kekayaan sejarah dan budaya yang luar biasa, telah lama menjadi magnet bagi wisatawan mancanegara maupun pelajar dari berbagai penjuru dunia. Keistimewaan Yogyakarta tidak hanya terletak pada warisan budaya dan sejarahnya, tetapi juga pada sistem pemerintahannya yang unik sebagai daerah istimewa di Indonesia.
Di balik semua itu, Yogyakarta juga menyimpan dinamika politik dan sosial yang kompleks, salah satunya adalah konflik terkait tanah adat Kesultanan Ngayogyakarta, atau yang dikenal sebagai Sultan Ground.
Yogyakarta lahir dari sejarah panjang Kesultanan Mataram yang terpecah melalui Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini membagi wilayah Kesultanan Mataram menjadi dua kekuasaan, yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Surakarta.
Dalam perjanjian itu, Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai Sultan Hamengku Buwono I, sekaligus pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta.
Sejak saat itu, Kesultanan Ngayogyakarta telah menjalankan sistem pemerintahan sendiri, diakui secara hukum oleh Belanda sebagai wilayah yang memiliki kewenangan mengatur urusan dalam negeri (Zelfbesturende Landschappen).
Keistimewaan ini terus berlanjut hingga masa kemerdekaan Indonesia, ketika Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan dukungan penuh terhadap Republik Indonesia pada 1945. Dukungan mereka sangat nyata, mulai dari penyediaan dana hingga tempat bagi pemerintahan pusat yang sempat berpindah ke Yogyakarta.
Pengakuan atas kontribusi tersebut akhirnya diabadikan melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, yang memberikan otonomi khusus kepada Yogyakarta dalam bidang pemerintahan, kebudayaan, dan keuangan. Di bawah payung hukum ini pula, keberadaan tanah adat Kesultanan—Sultan Ground—semakin dikuatkan.
Sultan Ground merupakan tanah milik adat Keraton Yogyakarta yang diwariskan secara turun-temurun. Tanah ini memiliki nilai simbolis dan historis tinggi bagi masyarakat Yogyakarta. Sultan Ground terbagi menjadi dua kategori: tanah mahkota yang diperuntukkan bagi kepentingan keraton seperti Keraton Yogyakarta, Alun-Alun Utara, dan Masjid Gede Kauman; serta tanah sewa yang dikelola untuk kebutuhan masyarakat seperti pertanian dan permukiman.
Tanah ini telah diakui sejak era kolonial, dan dasar hukumnya diperkuat dengan Maklumat HB IX tahun 1945 serta UU Keistimewaan DIY. Namun dalam praktiknya, urbanisasi dan pembangunan yang cepat menimbulkan konflik kepemilikan, terutama ketika pihak luar mencoba mengklaim atau memanfaatkan lahan ini tanpa persetujuan Keraton.
Salah satu konflik yang menjadi sorotan publik adalah sengketa antara Keraton Yogyakarta dan PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Sengketa ini mencuat ketika pada 17 Oktober 2024, pihak Keraton mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Yogyakarta atas lahan seluas 297.192 meter persegi di kawasan Stasiun Tugu. Lahan ini diklaim sebagai milik Keraton, namun PT KAI menganggapnya sebagai aset perusahaan.
Gugatan ini diajukan oleh GKR Condrokirono, putri Sri Sultan Hamengku Buwono X, melalui kuasa hukum Markus Hadi Tanoto. Menariknya, nilai gugatan yang diajukan hanya sebesar Rp 1.000. Nilai tersebut bukan tanpa alasan. Gugatan ini bukan soal ganti rugi materiil, tetapi lebih pada penegasan simbolis atas hak adat dan sejarah Kesultanan Yogyakarta atas tanah tersebut.
Dalam tradisi Jawa, angka seribu atau “sewu” memiliki arti khusus, yaitu “nuwun sewu” yang berarti permohonan izin dengan penuh rasa hormat. Melalui gugatan ini, Keraton ingin menyampaikan pesan kuat bahwa mereka tetap memegang teguh adat dan budaya, namun dengan cara yang bermartabat. Ini juga sekaligus menjadi sindiran halus namun tajam kepada pihak-pihak yang mencoba meremehkan hak adat.
Pihak Keraton menegaskan bahwa PT KAI hanya memiliki Hak Guna Bangunan (HGB) atas lahan tersebut, bukan hak milik penuh. Artinya, penggunaan lahan oleh PT KAI harus tunduk pada izin dan ketentuan yang ditetapkan oleh pemilik sah, dalam hal ini Kesultanan Yogyakarta. Klaim kepemilikan oleh PT KAI dipandang sebagai tindakan yang mengabaikan nilai-nilai budaya dan hukum adat yang telah berlaku selama ratusan tahun.
Kasus ini menunjukkan konflik struktural antara sistem hukum nasional dan hukum adat. Di satu sisi, negara mengatur kepemilikan lahan melalui sertifikat dan badan hukum; di sisi lain, tanah adat seperti Sultan Ground memiliki nilai historis yang tidak selalu tercermin dalam sistem hukum formal. Ketika negara dan BUMN tidak peka terhadap keberadaan hak adat, maka konflik seperti ini tidak bisa dihindari.
Selain itu, persoalan ini juga menunjukkan adanya tantangan besar dalam perlindungan warisan budaya di tengah arus modernisasi. Jika tanah adat bisa diklaim sepihak dan dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi tanpa konsultasi dengan pemilik aslinya, maka ke depan warisan budaya akan semakin terancam keberadaannya.
Langkah Keraton Yogyakarta dalam menggugat PT KAI patut diapresiasi sebagai bentuk perjuangan mempertahankan identitas dan kehormatan budaya lokal. Gugatan ini bukan hanya soal tanah, tetapi tentang harga diri dan pengakuan terhadap sejarah serta kontribusi Kesultanan Yogyakarta dalam pembentukan bangsa.
Ke depan, pemerintah pusat harus lebih bijak dalam menyikapi kasus-kasus serupa. Perlindungan terhadap tanah adat harus diberikan tempat yang setara dalam hukum nasional. Keterlibatan para ahli warisan budaya dan sejarawan sangat diperlukan dalam menyelesaikan sengketa semacam ini, agar keputusan hukum tidak semata berdasarkan dokumen administratif, tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai historis dan budaya yang melekat.
Kasus gugatan seribu rupiah oleh Keraton Yogyakarta ini diharapkan menjadi momentum nasional untuk membenahi tata kelola tanah adat di Indonesia. Pemerintah, institusi hukum, dan BUMN harus mulai belajar untuk menghormati hak-hak adat sebagai bagian integral dari pembangunan nasional. Tanpa itu, kita hanya akan menciptakan pembangunan fisik yang rapuh karena berdiri di atas pengingkaran sejarah dan budaya bangsa.