Sewu kuto, uwis tak lewati. Sewu ati tak takoni. Nanging kabeh podo ra ngerti, lungamu neng endi…
Sepenggal lirik lagu Sewu Kuto yang dilantunkan oleh almarhum Didi Kempot, The Godfather of Broken Heart, kerap kali mengaduk perasaan pendengarnya. Lirik yang dalam, penuh keluh kesah dan kerinduan yang belum berakhir, seolah mewakili perasaan mereka yang sedang patah hati, ditinggalkan, atau merasa kehilangan harapan.
Kata “ambyar”, yang populer melalui lagu-lagu Didi Kempot, kini telah menjelma menjadi istilah yang familiar untuk menggambarkan kondisi perasaan yang hancur, tidak karuan, dan kehilangan arah.
Namun, apakah makna “ambyar” harus selalu dimaknai dalam konteks kegalauan dan kehilangan cinta? Dalam dunia pendidikan, saya melihat istilah ini bisa dimaknai secara lebih positif, bahkan inspiratif. Saya ingin mengajak kita semua khususnya para pendidik untuk melihat “ambyar” bukan sebagai representasi kehancuran, melainkan sebagai strategi pendekatan guru dalam membangun semangat belajar peserta didik.
Di tengah tantangan dunia pendidikan saat ini, guru tidak cukup hanya mengandalkan metode ceramah dan instruksi. Dibutuhkan pendekatan yang lebih menyentuh sisi emosional dan psikologis siswa. Dalam kerangka itulah saya memaknai ulang kata “ambyar” sebagai singkatan dari: Akrab, Maedahi, Bingar, Yekti, Asih, dan Rumaket.
Pertama, Akrab. Dalam konteks hubungan sosial, keakraban menjadi kunci utama untuk menciptakan atmosfer belajar yang menyenangkan. Guru yang akrab dengan peserta didik akan memudahkan terciptanya kedekatan emosional. Ketika siswa merasa nyaman dengan gurunya, mereka akan lebih terbuka dalam proses belajar.
Keakraban tidak berarti menghilangkan batas profesionalitas, tetapi lebih kepada bagaimana guru bisa menjadi figur yang dirindukan dan dihormati sekaligus. Inilah wujud dari kompetensi sosial yang seharusnya dimiliki setiap pendidik.
Kedua, Maedahi. Kata ini berasal dari Bahasa Jawa yang berarti ‘bermanfaat’ atau ‘berguna’. Guru yang baik adalah guru yang mampu menyampaikan materi pembelajaran yang relevan dengan kehidupan nyata siswa.
Ketika peserta didik merasa bahwa pelajaran yang diberikan guru memiliki manfaat langsung bagi kehidupan mereka, maka antusiasme mereka untuk belajar akan meningkat. Lebih dari sekadar menyampaikan teori, guru yang maedahi adalah mereka yang menjadi inspirasi dan motivator, memberikan nilai tambah dalam kehidupan siswa di masa depan.
Ketiga, Bingar, yang berarti ceria. Keceriaan guru menjadi salah satu faktor penentu dalam keberhasilan proses pembelajaran. Suasana kelas yang ceria, santai namun tetap terarah, dapat mengurangi tekanan psikologis siswa dan membuat mereka lebih terbuka terhadap materi pelajaran.
Guru yang datang ke kelas dengan wajah berseri, sapaan hangat, serta pembawaan yang menyenangkan akan lebih mudah menggerakkan semangat belajar siswa. Sebaliknya, guru yang tampil muram, galak, atau terlalu kaku justru bisa menjadi pemicu stres di kalangan siswa.
Keceriaan adalah energi yang menular, dan semangat belajar siswa akan mengalir mengikuti pancaran semangat dari gurunya.
Keempat, Yekti, yang bermakna kesungguhan. Dalam dunia pendidikan, kesungguhan guru adalah landasan utama untuk menghasilkan proses belajar yang bermakna. Guru yang sungguh-sungguh mempersiapkan materi, memahami karakter siswanya, dan konsisten dalam menerapkan metode pengajaran akan memberikan dampak besar dalam pencapaian prestasi siswa.
Kesungguhan ini juga menjadi teladan bagi peserta didik untuk bersikap serius dalam belajar. Siswa bisa membedakan mana guru yang bekerja karena panggilan hati dan mana yang sekadar menggugurkan kewajiban. Oleh karena itu, profesionalisme dan dedikasi tinggi adalah wujud nyata dari makna yekti itu sendiri.
Kelima, Asih atau kasih sayang. Guru adalah figur orang tua kedua bagi siswa di sekolah. Di tengah beragam latar belakang keluarga dan sosial siswa, kehadiran guru yang penuh kasih menjadi sangat penting.
Sikap empati, perhatian, dan kepedulian tulus dari guru akan membentuk ikatan emosional yang kuat dengan peserta didik. Guru yang penuh kasih tidak akan mudah memarahi, namun memilih untuk memahami dan membimbing.
Di tangan guru yang memiliki asih, siswa akan merasa dihargai dan diperhatikan, yang pada gilirannya akan meningkatkan rasa percaya diri serta motivasi belajar mereka.
Keenam, Rumaket, yang berarti ramah dan mudah didekati. Sikap ramah bukan hanya sekadar senyum, tetapi juga mencakup bagaimana guru mampu bersikap terbuka, sabar, dan tidak menghakimi siswa. Guru yang ramah akan menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan suportif.
Dalam suasana seperti ini, siswa akan merasa aman untuk bertanya, mengemukakan pendapat, atau bahkan menyampaikan permasalahan pribadi yang mereka hadapi. Ketika siswa merasa bahwa gurunya adalah tempat yang aman untuk bersandar, maka mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih percaya diri dan mandiri.
Dengan demikian, konsep Guru Ambyar yang saya tawarkan adalah representasi dari seorang guru yang mampu membangun relasi kemanusiaan yang kuat dengan peserta didiknya. Seorang guru yang ambyar bukan berarti guru yang patah hati dan kehilangan arah, melainkan guru yang membagi hatinya sepenuhnya untuk pendidikan. Guru yang mampu membaur, bersikap manusiawi, dan hadir sebagai penyemangat hidup di tengah tantangan belajar siswa.
Istilah ambyar yang dahulu dianggap negatif kini saya harapkan bisa menjadi simbol transformasi positif dalam dunia pendidikan. Mari kita ubah cara pandang. Jadilah guru yang akrab, berguna, ceria, sungguh-sungguh, penuh kasih, dan ramah.
Guru yang mampu membuat kelas menjadi ruang yang dinantikan oleh siswa setiap harinya, bukan ruang yang ingin mereka hindari. Guru yang tidak hanya hadir sebagai pengajar, tetapi sebagai pemantik semangat dan pelita kehidupan.
Sudah saatnya dunia pendidikan kita menyambut era baru: era guru ambyar guru yang hadir bukan untuk meratap, tetapi untuk menginspirasi. Guru ambyar adalah penyemangat belajar sejati.





