Gus Elham Yahya Luqman: Penceramah Muda yang Membumi dari Kediri

Potret Gus Elham Yahya Luqman. (ist)
Potret Gus Elham Yahya Luqman. (ist)

Nama lengkapnya Muhammad Elham Yahya Luqman, namun masyarakat lebih mengenalnya dengan panggilan akrab Gus Elham. Ia lahir pada 8 Juli 2001 di Kecamatan Tarokan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

Putra dari pasangan K.H. Luqman Arifin Dhofir Pengasuh Pondok Pesantren Al Ikhlas 1 dan Hj. Ernisa Zulfa Al Hafidz ini merupakan cucu dari ulama kharismatik, K.H. Mudhofir Ilyas, pendiri Pondok Al Ikhlas Kaliboto.

Bacaan Lainnya

Selepas menamatkan sekolah dasar, Gus Elham melanjutkan pendidikan keagamaan di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri—sebuah pesantren besar tempat ayah dan kakeknya dahulu juga menimba ilmu. Dari Lirboyo inilah fondasi keilmuan Gus Elham terbentuk, membekalinya untuk terjun ke dunia dakwah di usia yang masih sangat muda. Ia juga memiliki kakak laki-laki bernama Gus Agung, alumni Pondok Pesantren Ploso.

Meski usianya masih tergolong muda, Gus Elham telah menapaki jalan dakwah dengan penuh keyakinan. Ia dikenal sebagai sosok sederhana, ramah, dan rendah hati, namun memiliki semangat dakwah yang luar biasa.

Cita-cita besarnya untuk meneruskan perjuangan keluarga dalam dunia pesantren diwujudkan dengan mendirikan Pondok Pesantren Al Ikhlas 2, yang berlokasi di Desa Kaliboto, Kecamatan Tarokan. Pesantren ini merupakan cabang dari Al Ikhlas 1 dan kini sedang dalam tahap pengembangan, baik dari sisi bangunan fisik maupun jumlah santri mukim.

Kompleks pesantren Al Ikhlas 2 terletak di tengah hamparan sawah, jauh dari hiruk-pikuk pemukiman padat. Di atas lahan yang cukup luas itu, berdiri bangunan utama rumah induk, musholla, serta beberapa bangunan yang masih dalam tahap pengerjaan. Tak jauh dari musholla terdapat makam sang kakek, K.H. Mudhofir Ilyas, yang juga menjadi tempat ziarah bagi masyarakat sekitar.

Gus Elham bukan hanya mendirikan pondok, tapi juga menyulut semangat perubahan bagi banyak jiwa yang terluka. Ia mendirikan Majelis Taklim Ibadallah pada September 2023, sebuah forum pengajian yang kini dikenal luas dan menjadi tempat rujukan banyak orang.

Yang menarik, berdirinya majelis ini bermula dari peristiwa sederhana dan penuh makna. Saat tengah mengisi bahan bakar di SPBU Kecamatan Banyakan, ia didatangi seorang pemuda dalam kondisi mabuk.

Alih-alih mengusir, Gus Elham justru menerima sang pemuda dengan tangan terbuka. Pemuda tersebut meminta dituntun agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik. Dari situ, benih-benih majelis tumbuh.

Santri-santri yang diasuh Gus Elham bukan berasal dari latar belakang “baik-baik” seperti yang umum dijumpai. Sebagian besar justru datang dari masa lalu yang kelam: pecandu alkohol, mantan preman, bahkan mereka yang pernah mengalami gangguan kejiwaan.

Namun, ketulusan dan kesabaran Gus Elham membuat mereka merasa diterima dan perlahan berubah. Ia tidak hanya mengajar, tapi juga mendampingi mereka dengan pendekatan khas anak muda: duduk bersama, ngopi, ngobrol santai, dan menyelami problem mereka satu per satu.

Kepekaan sosial dan gaya dakwahnya yang membumi membuat ceramah-ceramahnya mudah diterima. Melalui platform media sosial, Gus Elham menyebarkan dakwahnya ke lebih banyak kalangan. Ribuan orang mengikuti pengajiannya secara daring maupun luring.

Setiap Kamis malam dan Sabtu malam, pengajian di pondoknya dipadati jamaah hingga 3000 lebih kendaraan terdata melalui kartu parkir.

Salah satu jamaah pernah bertanya kepada Gus Elham, “Gus, apa amalan panjenengan kok bisa jamaah sekali ikut langsung cinta?” Dengan senyum khasnya, ia menjawab singkat namun penuh makna: “Senengno ibukmu.” Sebuah pesan sederhana yang menyiratkan bahwa kunci keberkahan hidup adalah berbakti kepada ibu.

Pada Ramadhan 2024, untuk pertama kalinya Gus Elham menolak seluruh undangan ceramah di luar daerah. Ia memilih fokus membina sekitar 30 santri mukim yang berasal dari berbagai daerah seperti Lampung, Bengkulu, dan kota-kota lain di Pulau Jawa. Komitmennya menandakan bahwa dakwah bukan sekadar tampil di atas mimbar, tapi tentang hadir secara nyata membina dan mendidik generasi.

Sikapnya yang tidak ingin tampil di layar kaca menunjukkan kepribadian yang rendah hati. Baginya, dakwah bukan untuk popularitas. “Kampung ini yang mencetak saya, sudah seharusnya saya mengabdi di sini,” ungkapnya. Ia lebih memilih berdakwah di tanah kelahiran daripada keliling Indonesia, menandakan cinta yang besar terhadap daerah asal.

Gus Elham pun tak gentar dengan komentar negatif di media sosial. “Sebaik apapun seseorang tetap terlihat jelek di mata orang yang tidak suka,” ucapnya. Prinsip hidupnya sederhana namun dalam: umur hanyalah angka. Kebaikan tidak perlu menunggu tua, sebab ajal bisa datang kapan saja.

Kini, nama Gus Elham semakin dikenal sebagai salah satu tokoh muda penggerak dakwah yang inspiratif. Ia bukan hanya menjadi simbol kebangkitan generasi muda dalam berdakwah, tetapi juga menjadi contoh bahwa ketulusan, keberanian, dan keikhlasan dapat mengubah kehidupan banyak orang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *