Hardiknas 2025: Menata Ulang Arah Pendidikan Tinggi

Opini Febrina Nur Ramadhani
Opini Febrina Nur Ramadhani

Hari Pendidikan Nasional bukanlah sekadar seremoni tahunan yang lewat begitu saja. Tanggal 2 Mei seharusnya menjadi momen reflektif bagi seluruh elemen bangsa untuk kembali bertanya: apa makna sejati pendidikan, dan ke mana sebenarnya arah yang sedang dituju oleh sistem pendidikan kita, khususnya pendidikan tinggi.

Pada tahun 2025 ini, peringatan Hardiknas terasa getir. Kita tidak hanya dihadapkan pada realitas kebijakan efisiensi anggaran, tetapi juga pada polemik mengenai tunjangan kinerja (tukin) dosen yang menjadi perhatian serius di kalangan akademisi. Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah nilai-nilai Ki Hajar Dewantara masih menjadi kompas dalam pembangunan sistem pendidikan nasional?

Bacaan Lainnya

Pemerintah, tentu saja, memiliki tanggung jawab untuk menjaga kesehatan fiskal negara. Upaya menata ulang skema pembiayaan pendidikan tinggi demi efisiensi dan keberlanjutan merupakan langkah yang dapat dipahami.

Namun, dalam pelaksanaannya, kebijakan efisiensi ini sering kali berdampak langsung pada kualitas layanan akademik dan operasional perguruan tinggi. Universitas sebagai episentrum pembentukan karakter dan ilmu pengetahuan, tak bisa berjalan baik jika aspek pendanaan dan penghargaan terhadap tenaga pendidik diabaikan.

Tak dapat dipungkiri, dalam membicarakan arah pendidikan, suara para pelaku di lapangan sangatlah penting. Dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan adalah pihak-pihak yang setiap harinya menjalankan roda pendidikan, mulai dari ruang kelas, laboratorium, hingga pelosok desa tempat mereka melakukan pengabdian masyarakat.

Sayangnya, banyak keputusan kebijakan saat ini terasa lahir dari ruang-ruang birokrasi yang terlalu jauh dari realitas kampus. Inilah saat yang tepat untuk menata ulang cara mendengar dan cara mengambil keputusan dalam pendidikan. Sebab, kebijakan yang baik bukan semata-mata berorientasi pada efisiensi administratif, tetapi berpihak pada manusia sebagai jiwa dari pendidikan itu sendiri.

Pendidikan tidak bisa hanya dimaknai sebagai proses administratif yang bertumpu pada angka dan laporan. Lebih dari itu, pendidikan adalah perihal nilai, proses, dan keberlanjutan karakter bangsa.

Perguruan tinggi seharusnya menjadi ruang yang melahirkan gagasan segar, karakter kuat, serta integritas yang kokoh. Menilai kinerja dosen tidak cukup hanya berdasarkan publikasi atau angka kredit. Yang jauh lebih penting adalah sejauh mana kontribusi mereka terhadap masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Dalam konteks ini, kita patut bertanya: apakah sistem pendidikan kita kini terlalu teknokratis? Apakah kita masih memberikan ruang bagi nilai-nilai luhur pendidikan atau justru terjebak dalam logika target, birokrasi, dan akreditasi semata? Sudah saatnya kita kembali pada warisan nilai dari Ki Hajar Dewantara. Pendidikan, menurut beliau, adalah proses untuk memanusiakan manusia.

Filosofi “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” seharusnya tetap menjadi fondasi dalam setiap kebijakan pendidikan. Peran dosen dan tenaga pendidik tidak bisa direduksi hanya sebagai pekerja yang dinilai lewat insentif atau laporan formal semata.

Tata kelola pendidikan tinggi idealnya mengedepankan dua aspek penting: akuntabilitas administratif dan akuntabilitas sosial. Kampus harus menjadi tempat yang aman bagi siapa saja untuk berpikir kritis, belajar bebas, dan berkarya dengan penuh daya cipta. Efisiensi anggaran tentu penting, namun hanya akan bermakna jika manusia tetap menjadi pusat kebijakan pendidikan.

Pendidikan tinggi tidak hanya soal rangking global atau sertifikasi, melainkan rumah tempat karakter bangsa ditempa dan dibentuk. Dosen bukanlah sekadar pegawai negeri, mereka adalah penjaga nalar dan nurani bangsa. Maka, penghargaan terhadap dosen adalah bentuk nyata penghormatan terhadap masa depan Indonesia.

Hardiknas 2025 harus dijadikan tonggak perubahan, bukan hanya untuk mengenang Ki Hajar Dewantara, tetapi juga untuk menghidupkan kembali semangat pendidikan nasional yang membebaskan dan memanusiakan.

Mari kita pastikan bahwa kampus tetap menjadi ruang hidup yang kaya gagasan, bukan hanya tempat mengejar angka dan memenuhi target. Sebab pendidikan sejati bukan tentang berapa banyak yang dihemat, melainkan tentang seberapa besar yang kita bangun dalam jiwa, akal, dan harapan generasi mendatang.

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025. Jaya terus pendidikan Indonesia!

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *