Hashtag sebagai Senjata: Feminisme Digital di Era TikTok

Simbolisasi kekuatan digital perempuan masa kini yang menggunakan media sosial sebagai senjata perlawanan terhadap ketidaksetaraan gender. (GG)
Simbolisasi kekuatan digital perempuan masa kini yang menggunakan media sosial sebagai senjata perlawanan terhadap ketidaksetaraan gender. (GG)

TikTok kini bukan sekadar aplikasi hiburan, melainkan menjadi arena baru perjuangan sosial, khususnya dalam gerakan feminisme digital. Dengan lebih dari satu miliar pengguna aktif di seluruh dunia, TikTok membuka ruang yang luas dan inklusif bagi perempuan untuk menyuarakan isu-isu kesetaraan gender melalui film pendek berdurasi maksimal 60 detik. Di dalamnya, konten tidak hanya menjadi sarana ekspresi diri, melainkan juga wadah perjuangan simbolik melawan dominasi budaya patriarkal.

Fenomena ini dapat dianalisis melalui pendekatan kajian budaya (cultural studies), yang menekankan pentingnya relasi kuasa dan representasi dalam media. Antonio Gramsci, melalui gagasan hegemoni, menjelaskan bahwa kekuasaan budaya tidak hanya bekerja melalui dominasi langsung, tetapi juga lewat persetujuan yang dibentuk secara ideologis.

Bacaan Lainnya

Dalam konteks ini, ideologi patriarki membentuk cara pandang masyarakat terhadap perempuan, termasuk bagaimana perempuan digambarkan dalam media. Namun, TikTok menciptakan ruang perlawanan simbolis terhadap hegemoni tersebut.

Melalui penggunaan tagar seperti #feminist dan #BodyPositivity, perempuan dan kelompok minoritas gender menantang dominasi budaya male gaze serta menyuarakan ketidaksetaraan yang selama ini dianggap wajar.

Dalam kerangka teori representasi Stuart Hall, media tidak bersifat netral, melainkan menjadi tempat di mana makna dikonstruksi dan dinegosiasikan. Respons audiens terhadap suatu konten sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosial, pengetahuan, serta pengalaman mereka.

TikTok, dalam hal ini, memungkinkan perempuan untuk memproduksi dan mempresentasikan ulang identitas gender yang lebih variatif dan inklusif. Identitas tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang tetap, melainkan sebagai hasil dari interaksi sosial yang terus berubah, termasuk dalam ruang digital.

Hal ini membuka peluang besar untuk terjadinya reformasi sosial dan pembebasan dari konstruksi gender yang mengekang.

Michel Foucault menegaskan bahwa kekuasaan tersebar dalam wacana. TikTok, sebagai platform digital, menjadi medan wacana di mana perempuan dapat merumuskan narasi alternatif terhadap mitos dominan tentang tubuh, seksualitas, dan relasi kuasa.

Melalui praktik diskursif dan visual, para pengguna perempuan menyuarakan pengalaman mereka, meruntuhkan tabu, serta memperluas pemahaman publik mengenai isu-isu gender. Dalam konteks ini, praktik digital mereka dapat dilihat sebagai bentuk bio-power, yakni pengorganisasian kekuasaan atas tubuh yang berpotensi membebaskan dan memerdekakan.

Meski demikian, penting untuk dicermati bahwa TikTok tetap merupakan produk dari kapitalisme digital. Algoritme platform tersebut dikendalikan oleh logika komersial yang dapat membatasi jangkauan konten yang dianggap terlalu radikal atau tidak menguntungkan secara ekonomi.

Artinya, perjuangan feminis di TikTok berisiko menjadi bagian dari konsumsi pasif semata, tanpa membawa perubahan struktural yang nyata. Oleh karena itu, strategi feminisme digital tidak cukup hanya mengandalkan viralitas konten, tetapi juga harus dilandasi oleh kesadaran kritis, pendidikan media, dan solidaritas komunitas.

Dalam perspektif cultural studies, budaya populer seperti TikTok merupakan arena konflik makna, tempat berbagai kepentingan bersaing untuk mendefinisikan realitas sosial. Seperti dikemukakan Stuart Hall, makna tidak pernah tunggal dan final, tetapi selalu dalam proses negosiasi.

TikTok, dengan segala kompleksitasnya, adalah situs di mana para feminis digital menghasilkan narasi tandingan terhadap norma gender yang mapan. Ini menjadikan TikTok sebagai medan simbolik untuk menantang struktur dominasi melalui kreativitas visual, ironi, dan humor.

Gagasan Dick Hebdige mengenai subkultur juga relevan dalam melihat gerakan feminis digital. Subkultur, menurut Hebdige, merupakan bentuk resistensi simbolik yang diwujudkan melalui mode, bahasa, dan praktik budaya yang menyimpang dari arus utama.

Para feminis digital di TikTok menunjukkan perlawanan terhadap patriarki melalui penggunaan tagar, musik, bahasa sarkastik, serta estetika visual yang khas. Melalui strategi ini, mereka menciptakan “kebisingan” simbolik yang mengguncang narasi dominan.

Selanjutnya, gerakan ini juga dapat dipahami dalam kerangka cyberfeminisme, yang memandang ruang digital sebagai arena perjuangan melawan subordinasi dan kekerasan berbasis gender. Cyberfeminisme menekankan pentingnya perspektif gender dalam pemanfaatan teknologi serta penguatan literasi digital sebagai alat pembebasan.

Dalam konteks ini, aktivitas digital harus diintegrasikan dengan aksi nyata di dunia offline. Upaya seperti kampanye literasi gender, pelatihan media kritis, serta advokasi kebijakan digital yang lebih transparan sangat penting dilakukan.

Sebagai contoh konkret, para aktivis feminis digital dapat menggalang kerja sama dengan komunitas lokal untuk menyelenggarakan pelatihan gender di media sosial, menekan penyedia platform agar terbuka mengenai algoritme mereka, serta membangun jaringan offline yang mendukung gerakan online. Integrasi antara ruang digital dan aksi nyata inilah yang dapat memperkuat gerakan feminisme secara substansial.

TikTok bukan hanya aplikasi hiburan, melainkan juga arena perlawanan simbolik dan perjuangan makna. Melalui praktik digital yang cerdas dan reflektif, para feminis digital mampu menantang struktur kekuasaan, merekonstruksi identitas, dan mendorong terciptanya masyarakat yang lebih inklusif dan adil. Namun, untuk mewujudkan perubahan sosial yang nyata, perjuangan ini harus terus dikawal dengan strategi kritis yang melampaui batas layar ponsel.


DAFTAR PUSTAKA

  • Sajidah, H., & Rasyid, A. (2024). Resistensi dan negosiasi identitas gender non-biner di tiktok: studi kritis tentang representasi dan konstruksi identitas di Indonesia. IRTI (Jurnal Riset Tindakan Indonesia), 9(1), 52-61.
  • Kholil, K. L. R., & Budiantoro, W. (2022). Cyberfeminisme: Pembebasan Psikologi Perempuan di Ruang Digital. KURIOSITAS: Media Komunikasi Sosial Dan Keagamaan, 15(1), 97–121. https://doi.org/10.35905/kur.v15i1.2587
  • Rachmawati, E., Arief, M., & Ekoputro, W. (2024). # patriarki Sebagai Upaya Counter Hegemony Budaya Male Gaze di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Mahasiswa Komunikasi (SEMAKOM), 02(02), 95–104. https://conference.untag-sby.ac.id/index.php/semakom
  • Hall, S. (1981). “Notes on Deconstructing the Popular.” In People’s History and Socialist Theory, edited by R. Samuel, London: Routledge.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *