Dalam beberapa tahun terakhir, geliat hijrah di kalangan generasi muda Muslim Indonesia mengalami pertumbuhan signifikan. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan peningkatan kesadaran spiritual, tetapi juga beriringan dengan menjamurnya konten-konten keagamaan di ranah digital.
Salah satu bentuk paling mencolok dari fenomena ini adalah munculnya kajian Islam berbayar yang dikemas secara premium dengan akses eksklusif, pembicara ternama, hingga lokasi pelaksanaan yang mewah.
Di berbagai platform media sosial, promosi terhadap kelas-kelas spiritual ini semakin masif. Mulai dari kuliah tauhid daring yang hanya bisa diakses dengan biaya tertentu, hingga forum healing Islami yang digelar di hotel berbintang. Kemasan profesional, editan berkualitas, dan narasumber populer menjadi daya tarik utama.
Namun, di balik itu semua, terdapat persoalan mendasar: apakah agama, yang seharusnya bersifat inklusif dan memberdayakan, kini tengah mengalami komodifikasi hingga hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu?
Dari sudut pandang Cultural Studies, kita tidak sedang membahas soal konten semata, tetapi lebih jauh tentang relasi kuasa, ideologi dominan, dan bagaimana budaya populer berperan membentuk identitas serta mempengaruhi akses terhadap pengetahuan keagamaan. Dalam konteks ini, fenomena kajian Islam berbayar dapat dilihat sebagai bentuk baru dari konstruksi hegemonik dalam ruang spiritual.
Antonio Gramsci, seorang filsuf Italia, menjelaskan konsep hegemoni sebagai cara kelompok dominan mempertahankan kekuasaan melalui persetujuan budaya alih-alih paksaan langsung. Dalam konteks digital religius, hegemoni ini tampak dari bagaimana kelas menengah ke atas dengan modal ekonomi dan teknologi menguasai narasi keagamaan. Mereka menentukan apa yang sahih, siapa yang pantas dijadikan panutan, dan materi mana yang dianggap relevan. Dalam ruang ini, hanya mereka yang mampu membeli yang dapat belajar.
Kajian keagamaan pun berubah wajah menjadi bagian dari proyek kapitalisme spiritual. Agama dipasarkan layaknya produk lengkap dengan diksi iklan seperti “investasi untuk jiwa”, “kelas eksklusif bersama ustadz ternama”, atau “paket platinum dengan bonus grup WhatsApp pembimbing”.
Frasa-frasa ini membingkai agama sebagai layanan premium, menciptakan batas simbolik antara Muslim “yang siap hijrah” dan Muslim “yang belum mampu”.
Michel Foucault, pemikir asal Prancis, mengingatkan bahwa kekuasaan tidak selalu represif, tetapi produktif membentuk subjek melalui diskursus. Dalam kajian Islam berbayar, diskursus keagamaan tidak lagi hanya datang dari lembaga formal atau ulama, melainkan juga dari influencer, brand busana syar’i, dan konten kreator di media sosial.
Instagram dan TikTok menjadi kanal utama dalam membangun narasi hijrah yang estetik dengan tone warna hangat, tempat kajian nyaman, serta gaya modest fashion yang berkelas. Akhirnya, kesalehan menjadi identik dengan kemewahan, ketenangan, dan ketertiban, mengesampingkan sisi spiritual yang bersifat membumi.
Representasi visual ini secara tidak langsung menciptakan standar baru dalam beragama. Stuart Hall pernah menekankan bahwa representasi tidaklah netral. Ia membawa muatan ideologis yang memengaruhi cara individu membentuk identitas.
Dalam kajian Islam berbayar, representasi perempuan sering kali digambarkan sebagai muslimah anggun, berhijab longgar, lembut dalam berbicara, dan tentu saja mampu mengakses forum eksklusif. Standar ini tak terjangkau oleh banyak perempuan dari kelas sosial yang lebih rendah, sehingga menciptakan kesenjangan identitas dalam ruang keagamaan.
Semestinya, kajian agama menjadi ruang pembebasan yang terbuka bagi siapa saja. Namun kini, ia berubah menjadi simbol status sosial. Seolah-olah, semakin mahal biaya yang dibayar, semakin tinggi pula derajat spiritual yang diraih. Ketimpangan ini bukan hanya mengkhianati semangat awal dakwah yang mengedepankan keikhlasan, tetapi juga membahayakan prinsip Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Tentu tidak semua kajian berbayar bersifat menindas atau eksklusif. Beberapa komunitas menawarkan sistem donasi sukarela, membuka akses gratis setelah periode tertentu, atau menyediakan beasiswa kajian untuk pelajar.
Namun secara umum, logika pasar tetap dominan. Praktik ini mencerminkan apa yang disebut Dick Hebdige sebagai subkultur: ekspresi budaya alternatif yang mencoba menandingi budaya dominan. Komunitas kajian gratis di Telegram, YouTube, IG Live, atau bahkan masjid-masjid lokal menjadi bentuk perlawanan simbolik terhadap arus dakwah kapitalistik.
Kritik terhadap komersialisasi dakwah ini juga banyak ditemukan di media sosial. Kaum muda progresif Muslim menghadirkan satire dan parodi di TikTok dan Twitter, mempertanyakan mengapa ilmu agama harus dibayar layaknya seminar bisnis. Mereka mengangkat pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang makna dakwah dan siapa sebenarnya yang diuntungkan dari tren ini.
Ironisnya, komersialisasi dakwah sering dibenarkan dengan narasi “memuliakan ilmu” atau “menghargai waktu narasumber”. Padahal, dalam sejarah Islam klasik, para ulama menyebarkan ilmu dengan semangat keikhlasan. Majelis ilmu bersifat terbuka, bahkan di masjid-masjid umum. Kini, ilmu agama dijual dalam bentuk kelas tertutup, lengkap dengan materi digital, sertifikat, dan bonus tambahan lainnya.
Dampak dari tren ini tidak hanya terasa pada level individu, tetapi juga komunitas. Mereka yang tidak mampu membayar sering merasa tertinggal secara spiritual. Muncul kelas-kelas baru dalam komunitas Muslim: Muslim premium dan Muslim biasa. Perbedaan ini secara simbolik dan psikologis bisa melemahkan rasa kesatuan umat.
Namun, di balik situasi tersebut, masih ada ruang untuk harapan. Beberapa platform mulai menerapkan model subsidi silang atau membuka kuota gratis untuk pelajar dan masyarakat tidak mampu. Hal ini menunjukkan bahwa profesionalisme dalam berdakwah bisa berjalan beriringan dengan tanggung jawab sosial.
Dalam kerangka Cultural Studies, dakwah tidak hanya soal penyampaian ajaran agama, tetapi juga tentang ruang kultural yang mencerminkan dan memproduksi nilai-nilai tertentu. Oleh karena itu, perlu ada upaya serius untuk mengembalikan ruh dakwah sebagai ruang publik yang inklusif dan memberdayakan. Dakwah seharusnya bukan menjadi arena eksklusif yang tunduk pada logika pasar dan kepentingan komersial.
Sebagai langkah konkret, perlu dibentuk regulasi etik dalam industri dakwah digital. Hal ini dapat menjadi acuan agar aktivitas keagamaan di ruang digital tidak melulu berorientasi pada keuntungan ekonomi. Selain itu, kerja sama antara platform dakwah dengan lembaga sosial dan pendidikan perlu diperluas agar menciptakan akses yang lebih merata.
Penting juga untuk mengembangkan literasi digital keagamaan. Masyarakat harus dibekali kemampuan kritis dalam mengonsumsi konten dakwah agar tidak terjebak dalam retorika spiritual yang manipulatif. Mereka harus bisa membedakan antara konten yang benar-benar memerdekakan secara spiritual dan konten yang sekadar menjual rasa takut atau janji keberkahan dengan tarif tertentu.
Kita tidak bisa menolak bahwa dunia dakwah telah terdigitalisasi. Namun kita bisa memastikan bahwa proses digitalisasi tidak menciptakan kasta baru dalam keagamaan. Islam tidak mengenal batas sosial dalam menuntut ilmu. Ia menyapa siapa saja tanpa syarat ekonomi, tanpa eksklusivitas, dan tanpa sekat elitisme.
Yang kita perlukan hari ini adalah ruang belajar agama yang merangkul semua kalangan, menyuarakan nilai kesetaraan, kesederhanaan, dan keberpihakan terhadap yang lemah. Bukan hanya soal siapa yang bisa bicara, tetapi siapa yang bisa mendengar. Bukan hanya tentang isi kajian, tetapi siapa yang dapat mengikutinya tanpa rasa tersisih.
Islam bukan barang dagangan. Ia adalah jalan hidup yang harus dirawat dan dibuka aksesnya seluas mungkin. Untuk semua umat.





