Indonesia dan Swiss dalam Penanganan Korupsi E-KTP: Pelajaran dari Kasus Paulus Tannos

Penulis Indonesia dan Swiss dalam Penanganan Korupsi E-KTP: Pelajaran dari Kasus Paulus Tannos - Mohammad Dafa Al Lukman
Penulis Indonesia dan Swiss dalam Penanganan Korupsi E-KTP: Pelajaran dari Kasus Paulus Tannos - Mohammad Dafa Al Lukman

Kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) merupakan salah satu episode paling kelam dalam sejarah tata kelola pemerintahan modern Indonesia. Proyek strategis nasional yang semestinya memperkuat layanan publik justru berubah menjadi ladang bancakan anggaran.

Kerugian negara yang ditaksir mencapai triliunan rupiah memperlihatkan bahwa korupsi tidak hanya merusak keuangan negara, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi.

Bacaan Lainnya

Di tengah kompleksitas perkara ini, nama Paulus Tannos menempati posisi penting. Ia menggambarkan wajah baru kejahatan keuangan yang tidak lagi mengenal batas negara. Aset dipindahkan lintas yurisdiksi, identitas berubah, dan celah sistem hukum internasional dimanfaatkan.

Kondisi ini menuntut negara untuk tidak hanya mengandalkan instrumen penegakan hukum domestik, tetapi juga membangun kerja sama internasional yang efektif. Perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) antara Indonesia dan Swiss menjadi salah satu instrumen penting dalam upaya tersebut.

Kronologi Singkat dan Posisi Hukum Paulus Tannos

Paulus Tannos, juga dikenal sebagai Thian Po Tjhin, merupakan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, salah satu anggota konsorsium pemenang tender proyek e-KTP. Pada 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka dalam perkara korupsi e-KTP periode 2011–2014. Ia diduga terlibat dalam pengaturan proyek serta aliran dana yang merugikan keuangan negara dalam jumlah besar.

Seiring proses hukum berjalan, Paulus Tannos tidak lagi berada di Indonesia. Ia diketahui bermukim di luar negeri, sementara penegak hukum terus berupaya menangkapnya. Namanya kemudian dimasukkan dalam daftar pencarian orang sejak Oktober 2021.

Perubahan identitas, perpindahan negara, hingga kendala administratif internasional membuat proses penegakan hukum tidak sederhana. Pada sisi lain, terdapat dugaan pengalihan dan penempatan aset di sejumlah yurisdiksi asing.

Situasi ini menunjukkan dengan jelas bahwa perkara e-KTP tidak lagi bersifat domestik. Korupsi berkembang menjadi kejahatan transnasional yang memanfaatkan sistem keuangan global. Di sinilah pentingnya kerja sama hukum antarnegara, khususnya melalui mekanisme MLA, untuk menembus batas yurisdiksi dan kerahasiaan finansial.

Mengapa Swiss Menjadi Penting

Swiss memiliki reputasi sebagai pusat keuangan internasional dengan rezim kerahasiaan perbankan yang kuat. Sejarah panjang perbankannya menjadikan negara tersebut tujuan favorit penyimpanan dana lintas negara, termasuk dana ilegal. Walau regulasi Swiss kini semakin terbuka, hambatan hukum tetap ada, terutama bagi negara yang tidak memiliki perjanjian kerja sama formal.

Dalam konteks kasus e-KTP, keberadaan Paulus Tannos di luar negeri disertai dugaan penempatan aset dalam sistem keuangan global menimbulkan kebutuhan mendesak untuk mengaktifkan mekanisme MLA.

Perjanjian MLA Indonesia–Swiss menjadi dasar hukum bagi pelacakan, pembekuan, penyitaan, dan pengembalian aset yang berpotensi ditempatkan di lembaga keuangan Swiss. Tanpa mekanisme ini, penegak hukum Indonesia akan sulit melampaui tembok kerahasiaan perbankan.

Dasar Hukum Perjanjian MLA Indonesia–Swiss

Perjanjian MLA antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss ditandatangani pada 4 Februari 2019 di Bern. Perjanjian tersebut kemudian diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pengesahan Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters between the Republic of Indonesia and the Swiss Confederation. Dengan ratifikasi ini, kerja sama hukum pidana Indonesia–Swiss memiliki legitimasi kuat dalam sistem hukum nasional.

Sebelum perjanjian ini berlaku, Indonesia menghadapi keterbatasan besar dalam memperoleh informasi perbankan dari Swiss. Prinsip kerahasiaan nasabah membatasi akses otoritas asing terhadap data keuangan. Perjanjian MLA menyediakan jalur formal untuk meminta bantuan hukum timbal balik dalam perkara pidana, termasuk kejahatan korupsi dan pencucian uang.

Ruang lingkup MLA cukup luas. Perjanjian ini mencakup pengumpulan bukti, permintaan keterangan, pelacakan dana, pembekuan aset, penyitaan, hingga pengembalian aset ke negara korban. Secara yuridis, keberadaan MLA selaras dengan amanat Pasal 43A Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menegaskan bahwa pemberantasan korupsi dapat dilakukan melalui kerja sama internasional.

Dimensi Pidana, Perdata, dan Politik Hukum

Dari sudut pandang hukum pidana internasional, MLA meneguhkan prinsip bahwa kejahatan lintas negara tidak bisa ditangani secara unilateral. Aset, pelaku, dan bukti kerap tersebar di berbagai negara. Melalui MLA, Indonesia memperoleh mekanisme sah untuk meminta otoritas Swiss membantu penelusuran aset maupun informasi keuangan yang berkaitan dengan tindak pidana.

Dari perspektif hukum perdata dan keuangan negara, implementasi MLA terkait langsung dengan agenda asset recovery. Pemulihan aset hasil tindak pidana merupakan bagian dari pemulihan kerugian negara. Pasal 18 Undang-Undang Tipikor membuka jalan bagi perampasan aset hasil kejahatan, dan MLA menyediakan saluran lintas negara untuk mewujudkannya.

Pada dimensi politik hukum, keberhasilan Indonesia memanfaatkan MLA dalam kasus Paulus Tannos akan menjadi preseden penting. Keberhasilan asset recovery bukan hanya persoalan jumlah rupiah yang kembali ke kas negara, tetapi juga simbol keseriusan negara memberantas korupsi. Reputasi internasional Indonesia sebagai negara yang konsisten melaksanakan Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) juga akan menguat.

Tantangan Implementasi MLA

Walau secara normatif kuat, implementasi MLA tidak otomatis berjalan mulus. Terdapat sejumlah tantangan yang perlu diakui secara jujur.

Pertama, rezim kerahasiaan perbankan Swiss tetap ketat. Akses terhadap informasi keuangan hanya diberikan jika permintaan memenuhi persyaratan formal dan materiil yang rinci. Otoritas Swiss membutuhkan uraian jelas mengenai tindak pidana, alur transaksi keuangan, dan bukti keterkaitan aset dengan kejahatan. Permintaan yang umum, tidak terperinci, atau bersifat fishing expedition berpotensi ditolak.

Kedua, perbedaan sistem hukum berpengaruh. Prinsip dual criminality mensyaratkan bahwa perbuatan yang dimintakan bantuannya juga merupakan tindak pidana menurut hukum Swiss. Artinya, konstruksi hukum dalam permintaan MLA harus disusun dengan presisi, tidak cukup hanya mengacu pada kerangka hukum nasional.

Ketiga, tantangan koordinasi domestik. Pengajuan MLA melibatkan banyak lembaga, mulai dari KPK, Kejaksaan Agung, Polri, Kementerian Hukum dan HAM, hingga Kementerian Luar Negeri. Tanpa koordinasi solid, permintaan bantuan bisa berlarut-larut atau tidak memenuhi standar teknis yang dipersyaratkan.

Strategi Penguatan Implementasi MLA

Untuk memaksimalkan manfaat MLA dalam penanganan kasus Paulus Tannos dan perkara sejenis, beberapa langkah strategis perlu ditempuh.

Pertama, kualitas permintaan MLA harus ditingkatkan. Permintaan tidak cukup mendalilkan adanya dugaan tindak pidana, melainkan wajib melampirkan uraian konkret aliran dana, identitas rekening, dan hubungan langsung antara aset dan kejahatan. Penyusunan permintaan MLA harus melibatkan jaksa, penyidik, dan ahli keuangan forensik sejak awal.

Kedua, orientasi asset recovery perlu diprioritaskan. Dalam banyak kasus, pemulihan aset jauh lebih berdampak bagi negara dibanding sekadar penghukuman pidana. Kerangka UNCAC memungkinkan pembekuan dan perampasan aset meskipun proses pidana masih berjalan, sepanjang dapat dibuktikan keterkaitannya dengan tindak pidana. Instrumen perampasan aset tanpa pemidanaan (non conviction based asset forfeiture) dapat menjadi opsi jika didukung kerangka hukum yang memadai.

Ketiga, sinkronisasi dengan proses ekstradisi. Proses MLA sebaiknya berjalan selaras dengan upaya memulangkan tersangka dari negara tempat ia berada. Putusan pengadilan nasional yang berkekuatan hukum tetap akan memperkuat posisi Indonesia dalam permintaan pengembalian aset. Artinya, koordinasi lintas negara dan lintas instrumen hukum harus dirancang sebagai strategi terpadu, bukan terpisah.

Keempat, penguatan central authority. Indonesia membutuhkan unit khusus yang fokus mengelola MLA dan asset recovery secara profesional, berkelanjutan, dan terukur. Unit ini harus dilengkapi sumber daya manusia dengan kompetensi hukum internasional, perbankan, keuangan, serta kemampuan investigasi lintas batas.

Kelima, pemanfaatan mekanisme multilateral. Kerja sama dengan organisasi internasional seperti FATF, INTERPOL, dan UNODC dapat mempercepat pertukaran informasi dan mempermudah proses pembekuan aset lintas negara. Partisipasi aktif dalam inisiatif global memperluas jejaring dan meningkatkan kapasitas institusi penegak hukum nasional.

Kasus Paulus Tannos sebagai Cermin

Kasus ini mengajarkan bahwa korupsi tidak lagi berhenti pada ruang rapat pengadaan atau kantor birokrasi. Modal, teknologi, dan akses finansial lintas negara membuat kejahatan keuangan kian canggih. Sistem penegakan hukum harus bertransformasi dengan kecepatan yang sama.

Pelarian ke luar negeri, perubahan identitas, penggunaan berbagai yurisdiksi keuangan menunjukkan celah pengawasan dan koordinasi. Namun situasi ini juga membuka peluang pembelajaran kelembagaan. Aktivasi MLA, peningkatan kapasitas penyidik, serta pemanfaatan teknologi intelijen keuangan menjadi kebutuhan yang tak bisa ditunda.

Ke depan, keberhasilan negara tidak hanya diukur dari banyaknya tersangka yang ditahan, tetapi dari kemampuan memulihkan kerugian negara dan mencegah pengulangan kejahatan. Kepastian bahwa pelaku korupsi tidak memiliki tempat aman untuk menyembunyikan hasil kejahatan merupakan pesan penting bagi publik sekaligus pelaku potensial.

Perjanjian Mutual Legal Assistance antara Indonesia dan Swiss merupakan tonggak penting dalam membangun arsitektur penegakan hukum yang responsif terhadap kejahatan lintas batas. Di tengah kompleksitas kasus e-KTP dan pelarian Paulus Tannos, perjanjian ini memberi peluang nyata untuk menembus hambatan yurisdiksi, kerahasiaan perbankan, dan perbedaan sistem hukum.

Tantangan teknis memang besar, namun bukan alasan untuk menyerah. Dengan memperkuat koordinasi, meningkatkan kualitas pembuktian, dan fokus pada pemulihan aset, Indonesia dapat menunjukkan bahwa korupsi besar dapat ditangani secara tegas dan terukur. Kredibilitas negara dipertaruhkan pada konsistensi, bukan sekadar retorika.

Kisah e-KTP seharusnya menjadi momentum pembenahan menyeluruh. Negara perlu memastikan bahwa proyek pelayanan publik tidak lagi menjadi arena penyalahgunaan kekuasaan. Penguatan integritas birokrasi, transparansi pengadaan, dan penegakan hukum lintas batas harus berjalan beriringan.

Penegakan hukum yang efektif bukan hanya instrumen penghukuman, tetapi juga pilar utama keadaban politik dan kepercayaan publik.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *