Pemerintah Indonesia telah menunjukkan perhatian yang sangat serius terhadap isu kemandirian pangan, khususnya dalam konteks ketahanan nasional dan kesejahteraan masyarakat.
Fokus utama pemerintah saat ini tertuju pada tujuh komoditas strategis, yakni padi, jagung, kedelai, cabai, bawang, tebu, serta daging sapi atau kerbau. Komoditas-komoditas tersebut bukan hanya memiliki nilai ekonomi yang tinggi, tetapi juga sangat berperan dalam menjaga stabilitas harga dan mengendalikan inflasi.
Dari semua komoditas tersebut, padi menempati posisi paling penting dan strategis. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa beras merupakan makanan pokok mayoritas masyarakat Indonesia. Ketergantungan masyarakat terhadap beras sangat tinggi, dan ini menjadikan ketersediaannya sebagai isu krusial dalam perencanaan ketahanan pangan nasional.
Hingga pertengahan tahun 2024, Indonesia masih bertahan sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia setelah India, Tiongkok, dan Amerika Serikat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa populasi Indonesia telah mencapai sekitar 281,6 juta jiwa.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, dari 2020 hingga 2024, jumlah penduduk terus bertambah dengan rata-rata peningkatan sekitar 2,8 juta jiwa per tahun. Laju pertumbuhan penduduk yang tercatat sebesar 1,11 persen pada tahun 2024 menegaskan bahwa kebutuhan akan bahan pangan, terutama beras, terus meningkat setiap tahunnya.
Data dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) menunjukkan bahwa konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia pada tahun 2024 mencapai 79,08 kilogram per tahun. Meskipun angka ini mengalami sedikit penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, total konsumsi beras nasional tetap tinggi mengingat besarnya jumlah penduduk. Oleh karena itu, kebutuhan beras nasional tetap menjadi tantangan besar yang harus dihadapi pemerintah.
Indonesia sendiri sebenarnya merupakan salah satu produsen padi terbesar di dunia. Dalam laporan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), Indonesia menempati peringkat keempat setelah India, Tiongkok, dan Bangladesh.
Produksi padi nasional pada musim tanam 2024/2025 diperkirakan mencapai 34,6 juta ton, yang setara dengan sekitar 6 persen dari total produksi padi global. Angka ini sejatinya cukup signifikan, tetapi ternyata belum cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan domestik.
Hal ini terlihat dari data impor beras tahun 2023 yang mencapai sekitar 3,06 juta ton dengan nilai mencapai 1,789 miliar dolar AS. Impor terbesar berasal dari Thailand (1,38 juta ton) dan Vietnam (1,15 juta ton).
Fakta ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia tergolong sebagai produsen besar, negara ini masih belum bisa lepas dari ketergantungan pada impor untuk menjamin ketersediaan stok beras nasional.
Banyak faktor yang menyebabkan ketergantungan ini terus berlangsung. Salah satu yang paling krusial adalah keterbatasan dan penurunan luas lahan pertanian. Menurut data BPS, luas lahan baku sawah nasional pada tahun 2024 hanya sebesar 7,38 juta hektare.
Angka ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Salah satu penyebab utamanya adalah konversi lahan pertanian ke non-pertanian yang cukup masif, mencapai sekitar 80.000 hektare per tahun.
Sayangnya, kemampuan pemerintah dalam mencetak sawah baru hanya berada di kisaran 20.000 hingga 30.000 hektare per tahun. Ketidakseimbangan ini menyebabkan tergerusnya basis produksi pangan nasional secara perlahan namun pasti.
Di tengah kondisi tersebut, pemerintah Indonesia tetap memegang visi besar untuk menjadikan negeri ini sebagai Lumbung Pangan Dunia pada tahun 2045. Untuk mewujudkan visi ambisius ini, maka kunci utamanya adalah pencapaian swasembada beras yang berkelanjutan. Tanpa kemandirian dalam produksi beras, mustahil Indonesia bisa menjadi rujukan global dalam hal ketahanan dan penyediaan pangan.
Berbagai langkah strategis telah diambil pemerintah dalam rangka menuju swasembada. Mulai dari program ekstensifikasi lahan pertanian, peningkatan produktivitas melalui intensifikasi, hingga upaya pengendalian konversi lahan.
Di sisi lain, pemerintah juga terus menyalurkan subsidi bagi kebutuhan input pertanian seperti pupuk dan benih, dengan harapan dapat mengurangi beban produksi petani. Selain itu, pemerintah juga menyediakan bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan), meskipun implementasinya masih menghadapi tantangan seperti keterbatasan akses, perawatan, dan distribusi.
Ekstensifikasi menjadi salah satu strategi penting, terutama dengan mengoptimalkan lahan tidur yang masih banyak tersebar di berbagai daerah. Namun, hambatan seperti legalitas lahan, infrastruktur pertanian yang belum memadai, dan ketersediaan air irigasi menjadi persoalan yang perlu segera diatasi.
Sementara itu, program intensifikasi lahan pertanian juga harus terus didorong. Pendampingan kepada petani agar mampu menerapkan teknik bercocok tanam yang efisien dan tepat sasaran sangat dibutuhkan.
Masih banyak petani yang menghadapi kendala dalam pengelolaan lahan, termasuk risiko serangan hama, cuaca ekstrem, dan kegagalan panen. Semua itu berdampak pada rendahnya produktivitas serta hasil panen.
Selain memperkuat produksi, pemerintah juga perlu menata ulang pola konsumsi masyarakat. Diversifikasi pangan menjadi langkah penting untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras.
Pengenalan dan pembiasaan masyarakat terhadap sumber pangan alternatif seperti jagung, singkong, ubi jalar, sagu, dan jenis umbi-umbian lainnya perlu dipercepat. Program diversifikasi harus menyentuh aspek edukasi dan budaya konsumsi agar masyarakat tidak hanya mengenal beras sebagai satu-satunya sumber karbohidrat.
Mewujudkan swasembada beras yang berkelanjutan jelas tidak bisa dibebankan hanya pada pemerintah. Dibutuhkan sinergi multisektor yang melibatkan pemerintah pusat dan daerah, petani, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat luas.
Koordinasi yang solid dapat menjadi kunci dalam menyelesaikan berbagai hambatan teknis, sosial, maupun ekonomi yang selama ini menjadi penghalang. Akademisi dan lembaga penelitian dapat menyumbangkan riset dan inovasi teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas serta efisiensi pertanian.
Sementara itu, sektor swasta dapat berperan dalam penyediaan alat dan sarana produksi, sekaligus menciptakan pasar yang adil bagi petani. Di sisi lain, petani sebagai aktor utama dalam rantai produksi pangan perlu mendapatkan pendampingan, pelatihan, dan akses teknologi agar bisa lebih adaptif terhadap perubahan dan tantangan lapangan.
Jika seluruh komponen bangsa mampu bekerja sama dalam semangat gotong royong dan keberlanjutan, maka pencapaian swasembada beras bukanlah angan-angan belaka. Tantangan teknis dan struktural memang masih banyak, namun bukan berarti tidak dapat diselesaikan. Dengan kerja keras, kebijakan yang berpihak pada petani, serta dukungan nyata dari semua pihak, maka cita-cita menjadikan Indonesia sebagai Lumbung Pangan Dunia 2045 akan lebih dekat menjadi kenyataan.