Inklusi atau Ilusi? Menggugat Kesiapan Sekolah Menuju Pendidikan Ramah Semua Anak

Pendidikan inklusif telah menjadi istilah yang kian akrab dalam wacana kebijakan pendidikan nasional. Spanduk “Sekolah Ramah Inklusi” terpasang di berbagai sudut kota, muncul dalam dokumen akreditasi, dan menjadi slogan yang sering didengungkan sekolah.

Namun, di balik maraknya label tersebut, muncul pertanyaan mendasar: benarkah sekolah-sekolah kita telah siap menerima keberagaman dengan sistem yang sungguh-sungguh inklusif? Atau jangan-jangan inklusi baru menjadi jargon kebijakan dimana hanya indah dalam dokumen, tetapi rapuh dalam praktik?

Bacaan Lainnya

Kegelisahan itu tidak berlebihan. Dalam banyak kasus, penetapan sekolah inklusi dilakukan secara tergesa tanpa persiapan memadai. Pemerintah menunjuk sekolah-sekolah berdasarkan target administrasi, bukan hasil pemetaan kebutuhan.

Pertanyaannya: pernahkah pengambil kebijakan melihat langsung kondisi riil kelas dan interaksi harian di sekolah? Jika pun pernah, kondisi itu kerap telah dipoles agar tampak ideal di hadapan publik. Di sinilah kesenjangan antara kebijakan dan praktik pendidikan inklusi tampak telanjang.

Secara normatif, Indonesia sesungguhnya memiliki kerangka hukum yang kuat. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 menegaskan hak setiap peserta didik, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK), untuk memperoleh layanan pendidikan yang setara.

Ketentuan tersebut dipertegas melalui Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 dan diperbaharui lewat Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023 yang mewajibkan satuan pendidikan menyediakan sarana ramah disabilitas dan melakukan penyesuaian kurikulum bagi peserta didik penyandang disabilitas.

Konsep pendidikan inklusi pada dasarnya sederhana: semua anak, tanpa terkecuali, berhak belajar bersama dalam satu ruang yang aman, suportif, dan menghargai keberagaman. Sekolah tidak lagi berfungsi sebagai tempat yang memisahkan, melainkan ruang sosial yang merangkul perbedaan sebagai keniscayaan. Dalam model ini, ABK tidak dianggap sebagai beban atau “penyimpangan”, melainkan bagian sah dari ekosistem pendidikan itu sendiri.

Namun, idealisme itu justru berhadapan dengan realitas lapangan yang jauh dari memadai.

Banyak sekolah yang menyematkan label “inklusi” sebatas pemenuhan tuntutan administratif. Spanduk dipasang, dokumen disiapkan, tetapi sistem pembelajaran tidak berubah. Guru tidak dibekali kompetensi untuk menghadapi keberagaman kebutuhan belajar, sementara sarana pendukung nyaris tidak tersedia.

Dalam kenyataan sehari-hari, ABK masih kerap dipinggirkan. Mereka tidak jarang menghadapi tatapan aneh, menjadi bahan ejekan, atau dianggap menghambat proses pembelajaran. Sebagian guru bahkan tanpa sadar memperlakukan mereka berbeda, misalnya dengan memisahkan tempat duduk, membatasi partisipasi, atau memberikan tugas yang sifatnya “asal selesai”. Situasi ini tidak hanya menggerus kepercayaan diri anak, tetapi juga menegaskan bahwa inklusi masih dipahami sebatas akses masuk, bukan penerimaan penuh.

Padahal, pendidikan inklusi sejati lahir dari kesadaran kolektif bahwa setiap anak membawa keunikan cara belajar yang patut dihargai. Selama pandangan tersebut belum tertanam kuat, apa pun nama kebijakan yang dikeluarkan tidak akan banyak mengubah praktik di ruang kelas.

Tantangan terbesar pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia terletak pada aspek sumber daya manusia. Data Kemendikbudristek menunjukkan hanya sekitar 4.695 guru pendamping khusus (GPK) yang harus melayani lebih dari 135.000 peserta didik penyandang disabilitas di lebih dari 40.000 sekolah penyelenggara inklusi. Artinya, satu GPK harus menangani puluhan bahkan ratusan siswa sekaligus.

Tidak hanya itu, hanya sekitar 14,8 persen sekolah yang memiliki guru pembimbing khusus. Mayoritas guru di sekolah umum belum memiliki pelatihan yang memadai tentang pengajaran diferensiasi, asesmen alternatif, komunikasi dengan anak berkebutuhan khusus, atau strategi pengelolaan kelas inklusif. Pelatihan yang tersedia pun sering kali bersifat teoritis dan tidak menyentuh praktik konkret.

Ketidaksiapan ini berimbas langsung pada proses pembelajaran. Guru kesulitan menyesuaikan metode, tidak mampu mengidentifikasi kebutuhan individual, dan akhirnya kembali pada pendekatan seragam yang mengabaikan keragaman kemampuan siswa. Dalam konteks ini, inklusi bukan hanya sulit diwujudkan, tetapi juga berpotensi melahirkan ketidakadilan baru.

Isu lain yang mencolok ialah keterbatasan sarana dan prasarana. Survei Kemendikbudristek menunjukkan banyak sekolah penyelenggara inklusi belum memiliki fasilitas dasar seperti jalur landai, toilet ramah disabilitas, ruang belajar kondusif, alat bantu untuk tunanetra atau tunarungu, dan lingkungan fisik yang aman bagi anak dengan hambatan motorik.

Beberapa sekolah yang telah menyediakan fasilitas pun kerap menghadapi persoalan kualitas. Misalnya, jalur landai yang terlalu curam, papan braille yang tidak standar, atau ruang layanan yang tidak didukung peralatan memadai. Hal-hal semacam ini, yang tampak sepele, justru menentukan keberhasilan partisipasi ABK dalam pembelajaran.

Dengan kondisi demikian, sulit mengatakan bahwa regulasi yang ada telah diimplementasikan dengan baik. Kebijakan ada, tetapi tidak diiringi dengan dukungan anggaran, pendampingan, dan sinergi lintas sektor yang memadai.

Salah satu masalah struktural pendidikan inklusi ialah pola kebijakan yang bersifat top-down. Pemerintah pusat mengeluarkan regulasi, namun sekolah di daerah dibiarkan berjuang sendiri. Tidak ada mekanisme evaluasi berkelanjutan maupun pendampingan intensif yang memastikan sekolah benar-benar siap menerapkan sistem inklusif.

Akibatnya, sekolah mengejar label “inklusi” hanya demi memenuhi tuntutan administrasi. Tanpa supervisi yang kuat, kebijakan itu berhenti pada kepatuhan formal, bukan transformasi praksis.

Jika kondisi ini terus berlanjut, pendidikan inklusi berpotensi menjadi ilusi kebijakan—gagasan besar yang kehilangan daya ketika bertemu kenyataan lapangan.

Agar pendidikan inklusi tidak berhenti sebagai slogan, pemerintah perlu beralih dari pendekatan simbolik menuju aksi nyata. Ada beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh.

Pertama, pelatihan guru harus dirancang secara komprehensif dan berkelanjutan. Model seperti Professional Development Program (PDP) dan Teacher Empowerment for Disability Inclusion (TEDI) menunjukkan hasil positif karena menggabungkan teori, praktik lapangan, serta refleksi kritis. Pendekatan ini perlu diperluas agar guru tidak hanya memahami konsep, tetapi juga mampu menerapkannya dalam pengajaran sehari-hari.

Kedua, pemerintah perlu memperkuat budaya inklusif di sekolah. Keberhasilan inklusi tidak semata ditentukan fasilitas fisik, tetapi juga nilai-nilai empati, penghargaan, dan penerimaan yang hidup dalam keseharian interaksi di sekolah. Pendekatan seperti mindfulness teaching dapat menjadi salah satu strategi membangun kesadaran emosional guru dalam menghadapi keberagaman peserta didik.

Ketiga, sekolah harus mengembangkan kolaborasi lintas peran. Guru pendidikan umum dan guru pendidikan khusus perlu bekerja bersama melalui model co-teaching untuk merancang asesmen, memodifikasi kurikulum, dan menyesuaikan metode pengajaran. Orang tua juga harus dilibatkan sebagai mitra pembelajaran yang aktif. Dukungan pemerintah daerah pun tak kalah penting dalam memastikan penyediaan anggaran dan fasilitas.

Pada akhirnya, pendidikan inklusi bukan sekadar aturan atau prosedur administratif. Ia adalah komitmen moral bahwa setiap anak memiliki hak yang sama untuk tumbuh, belajar, dan berpartisipasi dalam lingkungan pendidikan. Keberagaman bukan hambatan, melainkan sumber kekuatan yang memperkaya proses belajar dan menumbuhkan empati.

Ketika sekolah mampu melihat perbedaan sebagai bagian alami dari kemanusiaan, pendidikan tidak lagi sekadar penyampaian materi pelajaran, melainkan proses memanusiakan. Inklusi sejati terwujud ketika setiap anak apa pun latar belakang dan kebutuhannya merasa diterima, dihargai, dan memiliki ruang untuk berkembang.

Jika negara sungguh ingin mewujudkan visi pendidikan ramah semua anak, maka inklusi tidak boleh berhenti pada wacana. Ia harus menubuh dalam keseharian sekolah, ditopang oleh kebijakan yang berpihak, guru yang kompeten, fasilitas yang memadai, dan budaya yang merangkul keberagaman. Hanya dengan itu, inklusi dapat keluar dari ranah ilusi dan menjadi kenyataan yang memuliakan setiap anak bangsa.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *