Kasus Kematian Pekerja Migran Indonesia Akibat Penyiksaan dan Kekerasan oleh Majikan di Malaysia

Kemewahan yang dipoles citra baik, namun berdiri di atas penderitaan pekerja yang tak terlihat. (gg)
Kemewahan yang dipoles citra baik, namun berdiri di atas penderitaan pekerja yang tak terlihat. (gg)

Tragedi kematian Adelina Lisao atau yang lebih dikenal sebagai Adelina Sau kembali menggugah kesadaran publik tentang rapuhnya perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri. Kasus ini bukan sekadar kisah kekerasan domestik yang berujung maut, melainkan potret nyata relasi kuasa yang timpang, lemahnya pengawasan, serta bolongnya mekanisme penegakan hukum bagi pekerja migran sektor domestik. Adelina adalah satu nama dari sekian banyak korban yang bekerja di ruang privat rumah tangga, namun justru paling kerap terpinggirkan dari jangkauan perlindungan negara.

Adelina berangkat bekerja sebagai asisten rumah tangga di Malaysia pada 2015. Ia ditempatkan di rumah majikannya, Ambika M. A. Shan, di Bukit Mertajam, Penang. Dalam kurun waktu bekerja, ia menghadapi situasi kerja yang tidak manusiawi. Pada Februari 2018, warga sekitar menemukan Adelina dalam kondisi memprihatinkan: tubuh penuh luka, mengalami infeksi berat, dan dipaksa tidur di beranda bersama anjing peliharaan. Sinyal kekerasan berkepanjangan tampak jelas, namun majikan tetap membiarkan kondisinya tanpa pertolongan medis.

Bacaan Lainnya

Adelina meninggal pada 11 Februari 2018. Hasil otopsi menunjukkan kegagalan multiorgan yang dipicu anemia parah dan infeksi serius. Rangkaian fakta ini memperlihatkan bahwa penderitaan fisik dan psikis yang dialaminya bukan akibat kecelakaan domestik, melainkan hasil pola kekerasan yang berulang dan pembiaran yang disengaja. Kasus ini menohok rasa keadilan publik karena seorang pekerja migran perempuan, yang semestinya dilindungi, justru kehilangan nyawa di tempat kerja.

Kekerasan yang memenuhi unsur pelanggaran berat

Dalam perspektif hukum pidana internasional, perlakuan majikan terhadap Adelina memenuhi unsur kejahatan berat. Tindakan memaksa korban bekerja dalam keadaan sakit, membiarkannya tidur di luar rumah bersama hewan, serta mengabaikan kebutuhan medis yang mendesak, merupakan bentuk perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat. Hal ini sejalan dengan definisi penyiksaan dalam Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT) yang menekankan adanya penderitaan fisik atau mental yang ditimbulkan secara sengaja.

Elemen penting lain dalam kasus ini adalah pembiaran yang disengaja atau intentional omission. Majikan mengetahui kondisi Adelina telah mencapai tahap kritis, namun tidak mengambil tindakan penyelamatan. Kelalaian yang disengaja ini berkaitan langsung dengan pelanggaran hak untuk hidup sebagaimana dijamin Pasal 6 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Hak hidup bukan hanya larangan membunuh secara aktif, melainkan juga kewajiban untuk mencegah hilangnya nyawa akibat tindakan atau pembiaran yang sewenang-wenang.

Pembiaran tersebut menunjukkan pengabaian total terhadap tanggung jawab hukum dan moral atas pekerja yang berada di bawah wewenang majikan. Relasi kerja rumah tangga yang tertutup dari pengawasan negara membuat praktik kekerasan berlangsung lama tanpa terdeteksi. Kasus Adelina mengungkap bahwa ruang privat sering kali menjadi lokasi paling rentan bagi pelanggaran berat hak asasi manusia.

Hak korban atas pemulihan dan keadilan

Prinsip hukum hak asasi manusia menegaskan bahwa setiap korban pelanggaran berhak atas pemulihan efektif. Pemulihan tidak hanya berupa penghukuman pelaku secara pidana, tetapi juga kompensasi finansial, rehabilitasi, serta jaminan tidak berulangnya kejahatan.

Dalam ranah hukum perdata, hak ini bertumpu pada doktrin perbuatan melawan hukum. Majikan memiliki kewajiban hukum menjamin keselamatan pekerja. Ketika kewajiban itu dilanggar dan berujung kematian, timbul hak bagi ahli waris untuk menuntut ganti rugi.

Kerugian yang timbul tidak semata materiil, seperti upah yang belum dibayarkan, biaya perawatan medis, pemulangan jenazah, dan pemakaman. Terdapat pula kerugian immateriil berupa penderitaan fisik dan psikis yang dialami korban serta duka mendalam keluarga yang kehilangan anggota dan tumpuan ekonomi. Pemulihan melalui jalur perdata menjadi penting ketika jalur pidana tidak mampu sepenuhnya memenuhi rasa keadilan.

Dinamika peradilan dan diplomasi

Setelah kematian Adelina, aparat penegak hukum Malaysia memproses majikan dengan tuduhan pembunuhan. Namun pada April 2019, Pengadilan Tinggi Pulau Pinang membebaskan terdakwa karena dinilai kurang bukti. Putusan tersebut memicu kecaman luas dan menimbulkan pertanyaan serius mengenai perlindungan pekerja migran dan sensitivitas sistem peradilan terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tertutup.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri dan perwakilan diplomatik melakukan langkah-langkah diplomasi dan bantuan hukum. Gugatan perdata difasilitasi untuk memastikan keluarga korban tetap mendapatkan pemulihan. Pada 8 Februari 2024, Mahkamah Tinggi Pulau Pinang memerintahkan majikan membayar kompensasi sebesar RM 750.000 kepada ahli waris. Putusan ini memperlihatkan bahwa keadilan masih dapat ditempuh melalui jalur perdata, meskipun proses pidana tidak menghasilkan vonis bersalah.

Selain aspek litigasi, kasus Adelina memberi tekanan politik yang mendorong perubahan kebijakan. Malaysia merevisi regulasi ketenagakerjaan melalui Employment (Amendment) Act 2022. Pada saat yang sama, kedua negara menandatangani Nota Kesepahaman baru pada 2022 mengenai penempatan dan perlindungan pekerja rumah tangga migran. Kerangka kerja ini memperkuat mekanisme pengawasan, termasuk skema perekrutan yang lebih terpusat dan perlindungan yang lebih jelas bagi pekerja.

Pekerja migran dan kerentanan struktural

Kasus Adelina tidak dapat dibaca sebagai peristiwa individual yang berdiri sendiri. Ini adalah cermin kerentanan struktural pekerja migran sektor domestik. Mereka bekerja di ruang privat, sering tanpa hari libur, jam kerja panjang, dan bergantung sepenuhnya pada kebaikan majikan. Posisi tawar yang rendah diperburuk status keimigrasian, keterbatasan bahasa, minimnya akses informasi hukum, dan ketergantungan ekonomi keluarga di kampung halaman.

Struktur perekrutan yang tidak transparan juga menambah risiko. Jalur tidak resmi, biaya penempatan tinggi, dan praktik penahanan dokumen menciptakan situasi mirip kerja paksa. Ketika terjadi kekerasan, korban sulit melapor karena takut kehilangan pekerjaan atau dideportasi. Negara pengirim dan penerima tenaga kerja memiliki tanggung jawab bersama untuk memutus rantai kerentanan ini melalui regulasi, pengawasan, dan mekanisme pengaduan yang efektif.

Arah pembenahan kebijakan

Ada sejumlah pelajaran penting dari kasus Adelina Sau. Pertama, negara penerima tenaga kerja perlu melakukan pengawasan aktif, bukan sekadar menunggu laporan. Inspeksi berkala terhadap rumah tangga pemberi kerja harus dipertimbangkan, terutama untuk kasus pekerja yang tinggal serumah. Perlindungan pekerja rumah tangga tidak boleh berhenti pada teks undang-undang, melainkan harus hadir dalam praktik pengawasan yang nyata.

Kedua, implementasi Nota Kesepahaman Indonesia–Malaysia 2022 harus konsisten. Sistem perekrutan satu kanal menjadi kunci untuk memutus jalur ilegal yang sarat eksploitasi. Mekanisme ini perlu dibarengi sanksi tegas terhadap agen nakal serta pemantauan terpadu antara kementerian tenaga kerja, imigrasi, dan aparat penegak hukum kedua negara.

Ketiga, perwakilan RI di luar negeri perlu memperkuat strategi litigasi ganda. Selain mendorong proses pidana, jalur gugatan perdata harus ditempuh secara proaktif untuk memastikan pemulihan materiil bagi korban atau keluarganya ketika pembuktian pidana mengalami hambatan. Pilihan langkah ini menunjukkan keberpihakan negara pada warga negara yang menjadi korban kekerasan di luar negeri.

Keempat, edukasi pra-keberangkatan bagi calon pekerja migran harus diperkuat. Mereka perlu dibekali informasi hak-hak dasar, saluran pengaduan, kontrak kerja yang jelas, serta risiko kerja di sektor domestik. Edukasi tidak boleh formalitas administratif, melainkan upaya nyata membangun kesadaran hukum dan keberanian melapor.

Kasus Adelina Sau menyodorkan pesan tegas tentang pentingnya perlindungan komprehensif bagi pekerja migran. Kekerasan yang dialaminya memenuhi unsur penyiksaan dan berujung pada pelanggaran hak hidup, hak yang paling mendasar dalam sistem hukum hak asasi manusia.

Pembebasan pelaku di jalur pidana memperlihatkan tantangan besar penegakan hukum. Namun keberhasilan gugatan perdata menunjukkan ruang lain bagi pemulihan keadilan tetap terbuka.

Penguatan kerja sama bilateral Indonesia–Malaysia, pengetatan sistem perekrutan, pengawasan aktif, serta keberanian menempuh berbagai jalur hukum harus berjalan serempak. Keselamatan pekerja migran tidak boleh dikorbankan atas nama privasi rumah tangga atau kepentingan ekonomi. Negara memiliki kewajiban untuk hadir, melindungi, dan memastikan tidak ada lagi nyawa yang melayang karena kekerasan yang seharusnya dapat dicegah.

Pekerja migran adalah bagian dari warga negara yang menopang perekonomian keluarga dan negara. Mereka berhak atas kerja yang layak, lingkungan yang aman, dan perlindungan hukum yang efektif. Tragedi Adelina Sau seharusnya menjadi pengingat kuat bahwa perlindungan pekerja migran bukan kemurahan hati, melainkan mandat konstitusional dan kewajiban kemanusiaan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *