Di balik keindahan alam Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur—yang memanjakan mata dengan bukit-bukit bergelombang dan padang rumput kering—tersimpan sebuah tradisi tua yang hingga kini masih bertahan: kawin tangkap atau dikenal dalam bahasa lokal sebagai Pitti Rambang.
Bagi sebagian masyarakat adat, tradisi ini dianggap sebagai bagian dari kehormatan dan warisan leluhur. Namun bagi banyak perempuan, pengalaman ini menjadi awal dari luka yang panjang.
Bayangkan seorang perempuan muda yang sedang berjalan pulang dari pasar. Tiba-tiba ia ditarik, dibopong, dan dibawa ke rumah seorang pria yang mungkin bahkan belum pernah ia kenal, apalagi cintai. Secara adat, tindakan tersebut dianggap sah. Namun dalam dirinya—baik secara fisik maupun psikis—kekerasan terhadap perempuan telah terjadi, tanpa disadari banyak pihak.
Mengapa Kawin Tangkap Masih Terjadi?
Dalam masyarakat Sumba yang sangat menghormati nilai-nilai adat, kawin tangkap bukan semata soal pernikahan. Ia menyatu dalam sistem sosial yang telah diwariskan turun-temurun, dan kadang menjadi jalan untuk menyelesaikan masalah keluarga.
Ada kalanya, keluarga perempuan menyerahkannya karena terlilit hutang. Di lain waktu, laki-laki dari keturunan bangsawan merasa memiliki hak istimewa atas perempuan mana pun yang ia kehendaki. Dalam sistem budaya patriarkal yang masih kuat, perempuan sering kali tidak memiliki ruang untuk bersuara, apalagi menolak.
Yang lebih menyedihkan, banyak dari mereka bahkan tidak menyadari bahwa mereka punya hak untuk mengatakan “tidak”.
Luka yang Ditinggalkan Tradisi
Dampak dari praktik kawin tangkap tidak bisa dianggap enteng. Dalam banyak kasus, perempuan mengalami berbagai bentuk kekerasan. Mulai dari fisik—seperti ditarik paksa, dibawa secara paksa, hingga dikurung—hingga kekerasan seksual seperti pelecehan atau pemaksaan hubungan yang tidak dikehendaki. Tak sedikit pula yang mengalami tekanan psikis yang berkepanjangan: rasa malu, trauma, kehilangan harga diri, bahkan hingga dikucilkan.
Stigma sosial yang dilekatkan pada perempuan yang melawan juga sangat kuat. Mereka dianggap “tidak patuh”, “tidak tahu adat”, atau bahkan “memalukan keluarga”. Tekanan semacam ini membuat banyak korban memilih diam, bukan karena rela, tetapi karena tidak tahu harus mengadu kepada siapa.
Antara Adat dan Hukum Negara
Dari sudut pandang hukum, kawin tangkap jelas bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan, UU Perlindungan Anak, dan UU Hak Asasi Manusia. Semua peraturan tersebut secara tegas melarang pernikahan yang terjadi karena paksaan.
Namun dalam praktiknya, hukum negara kerap kali tidak mampu bersuara lantang di hadapan kekuatan adat. Aparat penegak hukum di wilayah-wilayah tertentu bahkan ragu bertindak, khawatir dicap tidak menghargai budaya lokal.
Padahal, budaya sejati tidak seharusnya menyakiti. Budaya sejati adalah yang merawat, bukan yang melukai. Ia ada untuk membangun peradaban yang lebih manusiawi.
Perubahan Itu Mungkin
Untuk mengubah praktik ini, kita tidak perlu menghapus seluruh adat istiadat. Yang diperlukan adalah pemaknaan ulang. Dialog dengan tokoh adat harus dibuka. Para pemuka agama perlu menyuarakan nilai-nilai kasih dan kesetaraan. Dan, yang paling penting, perempuan Sumba harus dikuatkan untuk berani bersuara.
Tak kalah penting adalah peningkatan pendidikan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Karena perempuan yang terdidik dan berdaya tidak akan mudah dibungkam, dan keluarga yang sejahtera tidak akan menjadikan anaknya sebagai alat tukar atau pelunasan utang.
Sudah ada secercah harapan. Beberapa keluarga di Sumba mulai menolak praktik ini. Mereka lebih memilih proses lamaran yang manusiawi, mengedepankan komunikasi, dan melakukan pencatatan nikah secara sah. Ini mungkin langkah kecil, tapi arah yang ditempuh sangat berarti.
Perempuan Adalah Subjek, Bukan Objek
Perempuan bukan objek yang bisa diperebutkan. Mereka bukan binatang yang bisa “ditangkap” lalu “dimiliki”. Perempuan adalah manusia yang utuh, memiliki hak, kehendak, dan impian. Mereka layak dihargai sebagai subjek, bukan dijadikan komoditas adat.
Dalam segala keindahan budaya Sumba—kuda sandelnya yang megah, tenunan ikat yang memukau, hingga ritual adat yang sakral—tidak boleh terselip kisah pilu perempuan yang dipaksa menikah tanpa cinta dan kehendak.
Sudah waktunya kita bertanya dengan jujur: apakah semua yang diwariskan leluhur layak dipertahankan tanpa perubahan? Ataukah kita justru harus meninjau ulang, dan menyelaraskannya dengan nilai-nilai kemanusiaan?
Menata Ulang Masa Depan Sumba
Perubahan sosial memang membutuhkan waktu, namun tidak ada perubahan besar tanpa langkah pertama. Suara satu orang saja bisa menjadi awal gelombang. Mari kita dengar suara-suara yang selama ini dibungkam. Mari kita dengar jerit perempuan yang dipaksa diam, dan beri mereka ruang untuk bersuara.
Penegakan hukum juga menjadi kunci penting. Negara harus hadir dengan tegas. Hukum tidak boleh tunduk pada kekuasaan adat yang menyakiti. Pemerintah wajib melindungi semua warga negara—tanpa kecuali—termasuk perempuan yang menjadi korban tradisi yang menyimpang.
Tradisi tidak selalu salah. Namun tradisi yang menindas harus berani dikritisi. Hak perempuan bukan barang baru. Ia adalah hak dasar yang harus dijaga dan dihormati.
Sumba akan tetap indah—dan bahkan menjadi lebih indah—jika budaya dan kemanusiaan bisa berjalan beriringan. Jika semua anak Sumba, terutama anak-anak perempuan, bisa tumbuh tanpa takut kehilangan suara atas tubuh dan masa depannya.





