Keadilan Internasional di Persimpangan, Sikap Indonesia terhadap Pengadilan Kriminal Internasional dalam Kasus Pelanggaran HAM di Timor Timur

Dibaca, tetapi tidak dibuka. (gg)
Dibaca, tetapi tidak dibuka. (gg)

Wacana keadilan internasional selalu berangkat dari satu premis normatif: kejahatan paling serius terhadap kemanusiaan tidak boleh dibiarkan tanpa pertanggungjawaban. Genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang dipandang sebagai pelanggaran yang melampaui batas teritorial negara, sehingga menuntut mekanisme penegakan hukum yang bersifat universal.

Lahirnya Pengadilan Kriminal Internasional atau International Criminal Court (ICC) merupakan artikulasi paling konkret dari gagasan tersebut. Namun, bagi negara-negara yang memiliki sejarah konflik internal dan persoalan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, prinsip keadilan internasional kerap berhadapan langsung dengan sensitivitas kedaulatan negara. Indonesia berada di titik persimpangan itu, terutama dalam membaca kembali kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur.

Bacaan Lainnya

Sebagai negara yang sejak awal kemerdekaannya menjunjung tinggi prinsip non-intervensi dan kedaulatan nasional, Indonesia memandang keterlibatan mekanisme peradilan internasional dengan kehati-hatian yang tinggi.

Kekhawatiran utama terletak pada kemungkinan terkikisnya yurisdiksi hukum nasional serta terbukanya ruang intervensi asing terhadap proses hukum dan politik domestik. Di sisi lain, perkembangan hukum internasional pasca-Perang Dunia II menunjukkan bahwa kedaulatan negara tidak lagi dipahami sebagai hak absolut yang kebal dari pertanggungjawaban, melainkan dibatasi oleh kewajiban melindungi hak asasi manusia. Ketegangan antara dua prinsip inilah yang membingkai sikap Indonesia terhadap ICC, khususnya dalam konteks Timor Timur.

Konflik Timor Timur berakar pada proses dekolonisasi yang gagal setelah Portugal menarik diri pada 1975. Kekosongan kekuasaan yang terjadi dimanfaatkan oleh Indonesia untuk melancarkan Operasi Seroja dan mengintegrasikan wilayah tersebut ke dalam Republik Indonesia.

Langkah ini tidak pernah diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang secara konsisten menempatkan Timor Timur sebagai wilayah non-self governing territory. Sejak awal, integrasi tersebut dibayangi resistensi bersenjata dari FRETILIN dan sayap militernya, FALINTIL, yang kemudian direspons negara dengan pendekatan keamanan yang keras dan militeristik.

Pendudukan selama hampir seperempat abad itu meninggalkan jejak kekerasan sistemik terhadap penduduk sipil. Operasi militer, pemindahan penduduk secara paksa, pembatasan akses pangan, serta praktik penahanan sewenang-wenang menjadi bagian dari realitas keseharian masyarakat Timor Timur.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor-Leste (CAVR) dalam laporannya memperkirakan jumlah kematian terkait konflik mencapai antara 90.800 hingga 202.600 jiwa sepanjang 1975–1999. Mayoritas korban meninggal bukan semata akibat kontak senjata, melainkan karena kelaparan dan penyakit yang berkaitan langsung dengan kebijakan keamanan dan blokade militer.

Kekerasan mencapai titik kulminasi setelah jajak pendapat yang difasilitasi PBB pada 30 Agustus 1999, ketika 78,5 persen rakyat Timor Timur memilih merdeka. Alih-alih menghormati hasil tersebut, milisi pro-integrasi yang memiliki keterkaitan dengan aparat keamanan melancarkan kampanye teror dan bumi hangus.

Sedikitnya 1.400 warga sipil tewas, ratusan ribu orang mengungsi, dan infrastruktur vital dihancurkan sebelum pasukan multinasional INTERFET mendarat untuk memulihkan keamanan. Peristiwa inilah yang mengukuhkan tragedi Timor Timur sebagai salah satu kasus pelanggaran HAM berat paling serius di kawasan Asia Tenggara.

Tekanan internasional pasca-1999 memaksa Indonesia mengambil langkah hukum yang belum pernah terjadi sebelumnya. Melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, negara membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum undang-undang tersebut berlaku.

Pengadilan ini dibentuk melalui Keputusan Presiden dan secara khusus menangani kasus Timor Timur dan Tanjung Priok. Secara normatif, pembentukan pengadilan ad hoc dimaksudkan sebagai bentuk pertanggungjawaban negara sekaligus penegasan bahwa mekanisme hukum nasional mampu menangani kejahatan serius tanpa campur tangan peradilan internasional.

Namun, praktik peradilan tersebut justru memperlihatkan berbagai kelemahan mendasar. Dari belasan terdakwa yang diajukan, sebagian besar dibebaskan, termasuk perwira militer dan pejabat sipil dengan posisi strategis.

Vonis bebas dan pembatalan hukuman di tingkat banding memunculkan kesan kuat bahwa pengadilan lebih berfungsi sebagai respons politis ketimbang upaya sungguh-sungguh menghadirkan keadilan substantif bagi korban. Kritik tajam datang dari organisasi HAM internasional dan domestik yang menilai proses tersebut sarat impunitas, lemah dalam pembuktian, serta gagal menyentuh rantai komando.

Kegagalan Pengadilan HAM Ad Hoc memperkuat sorotan terhadap sikap Indonesia yang belum meratifikasi Statuta Roma sebagai dasar hukum ICC. Pemerintah berulang kali menyampaikan bahwa ratifikasi berpotensi mengancam kedaulatan nasional dan membuka kemungkinan aparat negara diadili oleh lembaga internasional.

Kekhawatiran ini tidak sepenuhnya tanpa dasar, mengingat sejarah panjang peran militer dalam politik domestik Indonesia. Namun, argumen kedaulatan menjadi problematis ketika mekanisme nasional terbukti tidak efektif menuntaskan pelanggaran HAM berat.

Dalam situasi semacam itu, prinsip komplementaritas ICC justru menempatkan pengadilan internasional sebagai mekanisme terakhir ketika negara gagal atau tidak mau menegakkan hukum.

Menariknya, meskipun belum menjadi negara pihak Statuta Roma, Indonesia kerap menunjukkan sikap normatif yang mendukung penguatan hukum pidana internasional. Dalam berbagai forum PBB, Indonesia mendukung resolusi terkait penanggulangan impunitas dan perlindungan korban kejahatan berat.

Posisi ini mencerminkan ambivalensi kebijakan: di satu sisi menolak yurisdiksi ICC secara hukum, di sisi lain mengafirmasi nilai-nilai yang menjadi fondasi keberadaan pengadilan tersebut. Ambivalensi ini sulit dilepaskan dari kalkulasi politik domestik sekaligus upaya menjaga citra internasional sebagai negara demokratis yang menghormati HAM.

Peran komunitas internasional dalam kasus Timor Timur memperlihatkan bahwa diplomasi dan tekanan multilateral mampu memengaruhi arah kebijakan sebuah negara berdaulat. Sejak 1975, PBB secara konsisten menolak integrasi Timor Timur dan terus mengeluarkan resolusi yang menuntut penentuan nasib sendiri.

Dukungan negara-negara Barat, jaringan advokasi HAM, serta liputan media internasional membangun tekanan berlapis yang akhirnya memaksa Indonesia menerima referendum 1999. Pengiriman INTERFET di bawah mandat Dewan Keamanan menjadi penanda bahwa komunitas internasional bersedia menggunakan kekuatan militer untuk menghentikan krisis kemanusiaan.

Tragedi Timor Timur dengan demikian tidak hanya berbicara tentang kegagalan dekolonisasi atau konflik bersenjata, tetapi juga tentang keterbatasan konsep kedaulatan dalam menghadapi kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kasus ini menempatkan Indonesia dalam posisi strategis sekaligus dilematis: antara mempertahankan otonomi hukum nasional dan memenuhi tuntutan akuntabilitas global. Pilihan untuk terus berada di luar ICC tanpa pembenahan serius terhadap mekanisme domestik berisiko memperpanjang bayang-bayang impunitas dan mereduksi kredibilitas komitmen HAM Indonesia.

Ke depan, penguatan sistem peradilan nasional menjadi prasyarat mutlak. Evaluasi menyeluruh terhadap desain dan praktik Pengadilan HAM Ad Hoc perlu dilakukan, mencakup hukum acara, independensi jaksa dan hakim, serta perlindungan korban dan saksi.

Reformasi hukum pidana dan HAM harus diarahkan pada penyelarasan dengan standar internasional agar mekanisme domestik benar-benar mampu menjalankan fungsi komplementer yang selama ini dijadikan argumen penolakan terhadap ICC.

Di saat yang sama, pemerintah perlu membuka ruang dialog publik yang jujur dan transparan mengenai kemungkinan ratifikasi Statuta Roma. Diskursus ini tidak boleh dibatasi pada ketakutan terhadap kriminalisasi aparat negara, melainkan harus ditempatkan dalam kerangka penguatan supremasi hukum dan pencegahan kejahatan berat di masa depan. Keterlibatan akademisi, masyarakat sipil, serta institusi pertahanan menjadi kunci untuk membangun konsensus nasional yang rasional dan berbasis argumen hukum.

Diplomasi HAM Indonesia juga perlu bergerak melampaui dukungan normatif. Partisipasi aktif dalam kerja sama internasional, pertukaran praktik terbaik, serta pemulihan hak-hak korban akan memperkuat posisi Indonesia sebagai aktor global yang bertanggung jawab.

Dengan menempatkan keadilan sebagai fondasi, bukan ancaman, Indonesia dapat membangun keseimbangan yang lebih sehat antara kedaulatan negara dan tuntutan keadilan internasional, sekaligus memastikan bahwa tragedi seperti Timor Timur tidak terulang di masa mendatang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *