Penangkapan dua kapal ikan berbendera Filipina, FB TWIN J-04 dan FB YANREYD-293, di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP 717) perairan Papua pada Mei 2025 bukan sekadar peristiwa penegakan hukum perikanan.
Kasus ini mencerminkan persoalan yang lebih mendasar, yakni masih rapuhnya kepatuhan terhadap rezim hukum laut internasional di kawasan serta berlanjutnya praktik pencurian sumber daya laut lintas negara.
Aktivitas penangkapan ikan dan pemindahan hasil tangkapan tanpa izin resmi di perairan Indonesia menunjukkan bahwa illegal fishing tetap menjadi ancaman nyata terhadap kedaulatan maritim dan keberlanjutan sumber daya kelautan nasional.
Dalam konteks negara kepulauan seperti Indonesia, laut bukan hanya ruang ekonomi, tetapi juga ruang kedaulatan. Ketika kapal asing secara sengaja mengeksploitasi sumber daya ikan tanpa hak, pelanggaran yang terjadi tidak dapat dipersempit sebagai kerugian ekonomi semata.
Tindakan tersebut sekaligus mencederai hak berdaulat negara sebagaimana dijamin oleh hukum internasional, khususnya Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982, serta hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
Praktik illegal fishing oleh kapal asing juga membawa implikasi multidimensi. Negara kehilangan potensi penerimaan dari sektor perikanan, ekosistem laut terancam akibat eksploitasi yang tidak terkendali, dan ketegangan diplomatik dapat muncul ketika pelanggaran berlangsung berulang. Oleh sebab itu, kasus dua kapal Filipina di perairan Papua patut dibaca sebagai alarm bagi pentingnya penegakan hukum yang konsisten, terukur, dan berlandaskan hukum internasional.
IUU Fishing sebagai Bentuk Kejahatan Lintas Batas
Aktivitas yang dilakukan oleh FB TWIN J-04 dan FB YANREYD-293 memenuhi seluruh unsur Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing. Kategori ini diakui secara luas dalam tata kelola perikanan global sebagai bentuk kejahatan lintas batas yang merusak keberlanjutan sumber daya laut dan melemahkan kewenangan negara pantai.
Unsur ilegal tampak jelas dari kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan tanpa izin pemerintah Indonesia. Kapal-kapal tersebut beroperasi di wilayah yurisdiksi Indonesia tanpa memiliki dokumen perizinan yang sah, sehingga melanggar Pasal 93 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
Dalam perspektif hukum internasional, tindakan ini bertentangan dengan Pasal 56 UNCLOS 1982 yang memberikan hak berdaulat kepada negara pantai untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi, dan mengelola sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif.
Selain ilegal, kegiatan tersebut juga tidak dilaporkan. Kapal-kapal tersebut tidak menyampaikan laporan aktivitas maupun hasil tangkapan kepada otoritas perikanan Indonesia, serta tidak tercatat dalam sistem pelaporan organisasi pengelola perikanan regional.
Praktik semacam ini mencerminkan upaya sistematis untuk menghindari pengawasan dan memanfaatkan celah pengendalian di laut terbuka. Akibatnya, negara kehilangan data akurat mengenai stok ikan dan pola eksploitasi, padahal data tersebut menjadi fondasi utama pengelolaan perikanan berkelanjutan.
Unsur ketiga, yakni tidak diatur, terlihat dari operasional kapal asing yang sepenuhnya berada di luar kerangka hukum dan perjanjian yang berlaku. Ketiadaan mekanisme pengawasan, kepatuhan terhadap regulasi perikanan Indonesia, serta praktik alih muatan hasil tangkapan (transshipment) tanpa izin menunjukkan adanya upaya terorganisasi untuk menghindari rezim hukum yang sah. Kombinasi ketiga unsur ini menegaskan bahwa perbuatan kapal Filipina tersebut bukan pelanggaran administratif biasa, melainkan kejahatan lintas batas yang serius di sektor perikanan.
Pelanggaran terhadap Prinsip Hukum Laut Internasional
Dari sudut pandang hukum internasional, tindakan kapal-kapal Filipina tersebut jelas melanggar prinsip-prinsip fundamental yang diatur dalam UNCLOS 1982. Pasal 56 memberikan hak eksklusif kepada negara pantai untuk mengelola sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif. Ketika kapal asing melakukan penangkapan ikan tanpa izin, hak berdaulat tersebut secara langsung dilanggar.
Lebih jauh, Pasal 73 UNCLOS memberikan kewenangan kepada negara pantai untuk menegakkan hukum di ZEE, termasuk melakukan penangkapan, pemeriksaan, dan penyitaan terhadap kapal asing yang melanggar ketentuan perikanan. Dengan demikian, tindakan aparat Indonesia menangkap dan menahan kapal FB TWIN J-04 serta FB YANREYD-293 memiliki dasar hukum internasional yang kuat dan tidak dapat dipandang sebagai tindakan sepihak yang melampaui kewenangan.
Pelanggaran ini juga beririsan dengan prinsip hubungan damai antarnegara sebagaimana termuat dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kegiatan ekonomi ilegal di wilayah yurisdiksi negara lain tanpa persetujuan resmi berpotensi memicu friksi diplomatik dan merusak kepercayaan regional. Dalam konteks Asia Tenggara yang berbatasan langsung dan memiliki wilayah laut yang saling berdekatan, kepatuhan terhadap hukum laut internasional menjadi prasyarat utama stabilitas kawasan.
Dari perspektif lingkungan, praktik penangkapan ikan ilegal juga bertentangan dengan kewajiban negara untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut sebagaimana diatur dalam Pasal 192 hingga 194 UNCLOS. Eksploitasi yang tidak terkendali, tanpa pengawasan dan pengelolaan yang jelas, mempercepat degradasi ekosistem laut dan mengancam keberlanjutan sumber daya ikan bagi generasi mendatang.
Ketegasan Kebijakan Indonesia
Penanganan kasus dua kapal Filipina di perairan Papua menunjukkan konsistensi kebijakan pemerintah Indonesia dalam menegakkan hukum perikanan. Penangkapan kapal dan awaknya oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dilakukan berdasarkan kerangka hukum nasional dan internasional yang sah. Langkah ini menegaskan bahwa Indonesia tidak menoleransi pelanggaran kedaulatan di wilayah lautnya.
Penegakan hukum tersebut tidak berdiri sendiri. Pemerintah juga memperkuat strategi pencegahan melalui peningkatan pengawasan laut secara terpadu. Sinergi antara Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI Angkatan Laut, dan Badan Keamanan Laut menjadi elemen penting dalam menutup ruang gerak kapal ikan ilegal. Pemanfaatan teknologi pemantauan berbasis satelit turut mempersempit peluang pelanggaran di wilayah perairan yang luas dan kompleks.
Di tingkat regional, Indonesia mendorong kerja sama bilateral dan multilateral dalam pengawasan perikanan. Hubungan dengan negara tetangga, termasuk Filipina, perlu diarahkan pada mekanisme pertukaran informasi, patroli terkoordinasi, dan penyelarasan kebijakan perikanan lintas batas. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat posisi Indonesia, tetapi juga mendorong tanggung jawab bersama dalam menjaga keberlanjutan sumber daya laut kawasan.
Menjaga Kedaulatan Maritim dan Keberlanjutan
Kasus FB TWIN J-04 dan FB YANREYD-293 menegaskan bahwa illegal fishing bukan persoalan teknis semata, melainkan tantangan strategis bagi negara kepulauan. Kedaulatan maritim hanya dapat dijaga melalui kombinasi antara penegakan hukum yang tegas, kebijakan pencegahan yang konsisten, serta diplomasi yang cermat.
Penguatan kapasitas nelayan lokal juga menjadi bagian penting dari strategi ini. Nelayan yang sejahtera dan memiliki pemahaman hukum yang memadai dapat berperan sebagai garda terdepan dalam menjaga wilayah perairan nasional. Ketika masyarakat pesisir dilibatkan dalam pengawasan dan pengelolaan sumber daya laut, kedaulatan tidak hanya dijaga oleh aparat negara, tetapi juga oleh warga negara itu sendiri.
Penegakan hukum yang konsisten terhadap pelaku illegal fishing, baik individu maupun korporasi asing, diperlukan untuk menciptakan efek jera. Tanpa sanksi yang tegas dan berkelanjutan, praktik pencurian ikan akan terus berulang dengan pola dan aktor yang berbeda. Dalam konteks ini, ketegasan bukanlah pilihan, melainkan keharusan untuk melindungi kepentingan nasional.
Kasus di perairan Papua tersebut menjadi pengingat bahwa laut Indonesia adalah ruang strategis yang menuntut kewaspadaan dan komitmen berkelanjutan. Penegakan hukum yang berlandaskan hukum nasional dan internasional, didukung oleh kerja sama regional dan partisipasi masyarakat, merupakan fondasi utama untuk memastikan sumber daya kelautan Indonesia tetap lestari dan kedaulatan maritim tetap terjaga.





