Bur Rasuanto, seorang sastrawan kelahiran 6 April 1937 di Palembang, telah melahirkan berbagai karya sastra, seperti puisi, cerpen, dan novel. Selain menjadi sastrawan, ia juga dikenal sebagai wartawan perang di Harian Kami serta redaktur di Harian Indonesia Raya.
Ia aktif menulis artikel tentang kebudayaan, politik, dan isu-isu umum, terutama yang berkaitan dengan tugasnya sebagai wartawan perang. Salah satu tulisannya, “Sketsa-Sketsa Eksklusif dari Laos,” diterbitkan di Sinar Harapan (18 Juli 1968–14 Agustus 1968) dan menggambarkan pengalamannya selama bertugas di Laos.
Pada tahun 1966, Bur turut serta dalam demonstrasi mahasiswa yang menuntut keadilan. Ia menjadi salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan dan aktif memperjuangkan gerakan moral tersebut. Akibatnya, dua kumpulan cerpennya dilarang terbit, dan penghargaan dari Yayasan Yamin yang seharusnya ia terima dibatalkan karena hasutan dari kelompok Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI.
Pengalaman politik dan sosial yang ia alami terekam dalam karya-karyanya, termasuk kumpulan puisi Mereka Telah Bangkit (1966), yang berisi puisi-puisi perlawanan terhadap rezim yang berkuasa. Jakob Sumardjo dalam Pengantar Novel Indonesia (1983:253) menyebut Bur sebagai tokoh sastra yang mapan dalam sejarah sastra Indonesia modern.
Salah satu puisinya yang terkenal, “Tirani,” mencerminkan kritik sosial dan politik terhadap kekuasaan yang menindas. Berikut adalah analisis puisi tersebut:
Tirani
Tirani adalah kata
Yang melahirkan banyak pengertian
Yang tak berkata
Tirani adalah pikiran
Yang dipindahkan dalam slogan
Yang merantai pikiran
Tirani adalah kebebasan
Di tengah padang tandus tak bertepi
Yang melumpuhkan kebebasan
Tirani adalah kekuasaan
Yang bertahta di atas segala penggelapan
Yang menimbun kekuasaan
Di dalam puisinya yang berjudul “Tirani” karya Bur Rasuanto, dia mencoba mengungkapkan persoalan yang terjadi di negaranya. Di balik penulisan sajak ”Tirani” ada peristiwa politik sehingga Bur mengungkapkan lewat tulisan puisinya.
Sebagai sastrawan angkatan 66 dalam puisinya Bur menyuarakan keprihatinannya terhadap G30S/PKI, Rezim orde baru yang berkuasa saat itu, dan dianggap sebagai bentuk tirani baru yang membatasi kebebasan berekspresi dan menindas kelompok-kelompok yang dianggap oposan.
Bur dalam puisinya menyindir para penguasa yang haus akan kekuasaan, itu terjadi pada tahun 1965 dimana kala itu Presiden Soekarno di gantikan oleh soeharto. Lahirnya Orde Baru di tandai tri tuntutan rakyat atau tritura yang terdiri dari tiga tuntutan rakyat, yakni pembubaran PKI, perombakan kabinet Dwikora, dan penurunan harga.
akan tetapi sikap Presiden Soekarno bertolak belakang dengan aksi-aksi mereka. Sehingga terjadi peristiwa G30S/PKI yang membuat rakyat Indonesia menurunkan kepercayaan terhadap Presiden Soekarno.
Pada tahun 1965 terjadi peristiwa yaitu G30S/PKI yang mana gerakan itu disebut sebagai pengkhianatan paling besar di Indonesia yang bertujuan untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Peristiwa tersebut terjadi pada dini hari pergantian dari tanggal 30 September atau tanggal 1 Oktober. Tak hanya itu mereka juga menginginkan pemerintah Indonesia beralih menjadi pemerintahan komunis.
Baca Juga: Dusta Cempaka
G30S/PKI di pimpin oleh D. N Aidit, awal mula dari gerakan ini hanya bertujuan menculik dan membawa paksa para jenderal, akan tetapi juga ada yang mereka bunuh. Dari peristiwa tersebut masyarakat Indonesia meminta kepada Presiden Soekarno untuk membubarkan partai komunis indonesia (PKI).
Kemudian Presiden Soekarno memberikan instruksi untuk membersihkan semua struktur pemerintahan yang berbau PKI kepada soeharto dalam suratnya yang terkenal yaitu surat perintah 11 Maret 1966 (supersemar).
Mereka yang dituduh ikut bertanggung jawab terhadap insiden 1 oktober 1965, selama hukuman mati yang terlibat langsung dalam tragedi berdarah itu serta pembunuhan massal terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota PKI.
Pada 12 Maret 1967 jenderal soeharto di tetapkan sebagai pejabat presiden setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWASKARA) di tolak MPRS. Kemudian, soeharto menjadi presiden sesuai hasil sidang umum MPRS pada 27 Maret 1968.
Selain sebagai presiden, ia juga merangkap jabatan sebagai menteri pertahanan dan keamanan. Dikatakan bahwa pemerintahan sebelumnya dianggap pemerintahan kacau yang koruptif dan tak mampu menyelenggarakan negara, makanya kelompok yang dipimpin jenderal soeharto menamakan dirinya sebagai Orde Baru. Tema pokok perjuangan Orde Baru adalah melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Semenjak menjabat menjadi presiden sejak tahun 1968-1998, secara luas ia di anggap sebagai diktator militer oleh pengamat internasional, soeharto memimpin sebagai rezim otoriter sejak jatuhnya presiden pendahulunya Soekarno pada tahun 1967, hingga pengunduran dirinya pada tahun 1998 menyusul kerusuhan nasional.
Kediktatorannya selama 32 tahun dianggap sebagai salah satu diktator yang paling korup dan brutal. Selama memimpin negeri ini soeharto banyak dikenal oleh masyarakat dengan pembangunan ekonomi yang pesat dan stabilisasi politik, namun keberhasilannya juga diwarnai pelanggaran hak asasi manusia dan dugaan korupsi di dalamnya.
Masa pemerintahan soeharto di sebut sebagai masa Orde Baru, kebijakan politik dalam dan di luar negeri diubah. Salah satunya, Indonesia kembali menjadi anggota PBB (perserikatan bangsa-bangsa) pada 28 september 1966.
Pada kesempatan ini, penulis mencoba menganalisis puisinya Bur Rasuanto yang berjudul “Tirani”, puisi tersebut mempunyai makna dan pesan yang mendalam, menceritakan pergolakan politik yang terjadi di Indonesia meskipun di tulis pada tahun 1966 Tetapi puisinya pas untuk dikaitkan dengan politik pada era sekarang.
Tirani adalah kata
Yang melahirkan banyak pengertian
Yang tak berkata
Pada bait pertama “tirani” disimbolkan dengan penguasa, kata ini merujuk pada kekuasaan yang sewenang-wenang, penindasan, dan adanya ketidakadilan. Sementara “kata” menggambarkan kekuatan bahasa, “melahirkan banyak pengertian” melambangkan kompleksitas komunikasi, “tak berkata” memiliki simbol penindasan kebebasan berbicara.
Baca Juga: Keterlanjangan Cinta
Maksud dari bait pertama tersebut para penguasa dengan kemampuan bahasanya mampu berkomunikasi dan menggunakannya untuk menindas rakyat agar tidak memiliki kebebasan dalam berpikir dan berpendapat.
Tirani adalah pikiran
Yang dipindahkan dalam slogan
Yang merantai pikiran
Bur Rasuanto menggunakan berbagai simbol dan metafora untuk mengekspresikan perasaannya, dalam bait kedua diatas kata ”pikiran” maknanya adalah melambangkan pemikiran dan kata ”slogan” memiliki simbol propaganda dan manipulasi.
Dalam larik “tirani adalah pikiran” menggambarkan sorang penguasa yang memiliki pemikiran-pemikiran. “Yang dipindahkan dalam slogan” artinya pemikiran tersebut bisa dijadikan propaganda dan manipulasi. “Yang merantai pikiran” maknanya para penguasa tersebut menindas kebebasan berpikir rakyat.
Dalam bait kedua tersebut menggambarkan bagaimana para penguasa melalui ide atau pemikirannya bisa memanipulasi, pemikiran tersebut bisa dijadikan propaganda yang akhirnya rakyat tidak memiliki kebebasan dalam berpendapat dan berpikir.
Tirani adalah kebebasan
Di tengah padang tandus tak bertepi
Yang melumpuhkan kebebasan
Larik “tirani adalah kebebasan” menggambarkan para penguasa yang menjanjikan hak-hak individu.” di tengah padang tandus tak bertepi” yang berarti faktanya berbeda, para penguasa tersebut hanya janji-janji kosong saja. “Melumpuhkan kebebasan” menggambarkan kontradiksi antara janji dan realitas, para penguasa hanya janji kosong saja tidak benar-benar terjadi.
Maksud dari bait ketiga tersebut bahwa para penguasa menjanjikan kebebasan hak kepada setiap individu namun kenyataannya para penguasa tersebut hanya omong kosong belaka yang pada akhirnya rakyat tetap dalam penindasan tidak diberi kebebasan berpikir dan pendapat yang mana tidak sesuai dengan hak-hak setiap individu.
Tirani adalah kekuasaan
Yang bertahta di atas segala penggelapan
Yang menimbun kekuasaan
Larik “tirani adalah kekuasaan” menggambarkan para penguasa yang menyalah gunakan kekuasaannya, “yang bertahta di atas penggelapan” menggambarkan bagaimana para penguasa menggunakan kekuasaannya untuk memanipulasi. “yang menimbun kekuasaan” menggambarkan para penguasa yang haus akan kekuasaan.
Baca Juga: Sepucuk Harapan Mohammad Yamin
Dalam bait terakhir menggambarkan para penguasa yang menyelewengkan kekuasaannya, menggunakan kekuasaannya untuk dirinya sendiri dan betapa kejamnya para penguasa menggunakan kekuasaannya untuk memanipulasi orang lain dan menindas rakyat yang tak bersalah, para penguasa tersebut selalu menginginkan kekuasaannya atau haus akan kekuasaan.
Dalam puisi ini Bur memandang bahwa betapa kejamnya para penguasa terhadap rakyatnya, penindasan dan pelanggaran HAM sudah terjadi sejak dulu. Apa yang di ungkapkan oleh Bur dalam puisinya memang benar adanya dan dapat dirasakan langsung oleh rakyat yang tak berdosa. Bagaimana para penguasa memerintah dengan sewenang-wenang, rakyat takut untuk berpikir dan berpendapat karena tidak di beri kebebasan dalam hal itu.





