Kembalinya UN Sedang Dipertimbangkan, Apakah Standarisasi Kelulusan Dibutuhkan Kembali?

Opini: Suci Alifiarti Ramadhani
Opini: Suci Alifiarti Ramadhani

Ujian Nasional (UN) adalah alat evaluasi pendidikan yang pernah menjadi tolok ukur kelulusan siswa tingkat akhir di Indonesia. UN resmi dihapuskan pada tahun 2021 oleh pemerintah, meninggalkan kekosongan dalam sistem standarisasi kelulusan.

Tidak adanya UN berdampak pada berkurangnya semangat belajar siswa, yang kini lebih banyak mengandalkan teknologi, seperti Artificial Intelligence (AI), untuk menyelesaikan tugas mereka. Hal ini memunculkan pertanyaan penting: apakah standarisasi seperti UN masih relevan untuk diterapkan kembali?

Bacaan Lainnya

Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah yang baru dilantik, membuka diskusi mengenai kemungkinan kembalinya UN. Dalam sebuah pernyataan, ia menyebutkan bahwa kebijakan ini akan dikaji ulang dengan melibatkan berbagai pihak.

Menurutnya, masukan dari masyarakat sangat penting untuk menentukan arah pendidikan di Indonesia.

“Selain persoalan ujian nasional, zonasi, dan juga kesejahteraan guru, kami mengharapkan masukan dari berbagai kalangan,” ujarnya.

Namun, wacana ini memicu pro dan kontra di tengah masyarakat. Beberapa pihak, seperti Jusuf Kalla dan Ahmad Syafii Maarif, mendukung pengembalian UN sebagai alat ukur standar pendidikan nasional.

Mereka menilai UN memberikan penilaian objektif terhadap kemampuan siswa dan menjadi indikator kualitas pendidikan secara keseluruhan. Guru-guru yang mendukung wacana ini juga percaya bahwa UN dapat memotivasi siswa untuk belajar lebih giat, mengingat tekanan untuk lulus ujian.

Di sisi lain, kelompok kontra menilai bahwa UN membawa lebih banyak dampak negatif, terutama bagi kesehatan mental siswa. Isa Anshori, seorang pemerhati pendidikan, mengungkapkan bahwa UN dapat menyebabkan stres dan tekanan psikologis.

Kritikus lain, seperti Nisa Felicia dari Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, menilai bahwa UN hanya mengukur kemampuan kognitif, sementara aspek lain, seperti keterampilan sosial dan emosional, terabaikan. Kritik juga mengarah pada berbagai praktik kecurangan yang sering terjadi, seperti kebocoran soal dan manipulasi nilai.

Baca Juga: Lulusan Sekolah Lebih Pilih Bekerja, Ini Kata BPS

Menteri Abdul Mu’ti menegaskan bahwa belum ada keputusan resmi mengenai pengembalian UN. Diskusi bersama Komisi X DPR RI masih berlangsung untuk mempertimbangkan segala aspek sebelum mengambil keputusan akhir. Meski demikian, wacana ini telah memicu perdebatan panjang mengenai keuntungan dan kerugian dari keberadaan UN.

UN dinilai memberikan standarisasi penilaian yang sama untuk seluruh siswa di Indonesia, sehingga memungkinkan perbandingan yang adil antara siswa, sekolah, dan daerah. Standarisasi ini penting untuk mengidentifikasi kesenjangan pendidikan dan memastikan bahwa seluruh siswa dinilai secara konsisten.

Selain itu, UN dirancang dan dinilai oleh badan eksternal, menjadikannya alat ukur yang lebih objektif dibandingkan penilaian internal sekolah. Dengan adanya UN, sekolah terdorong untuk mempersiapkan siswa dengan lebih baik, sementara hasil UN memberikan data penting bagi pemerintah untuk merancang kebijakan pendidikan yang lebih efektif.

Sebagai tambahan, UN juga sering menjadi salah satu kriteria masuk perguruan tinggi, sehingga siswa termotivasi untuk mencapai nilai terbaik.

Baca Juga: Kemiskinan Struktural: Memahami Akar Masalah dan Solusi yang Dapat Diterapkan

Namun, di sisi lain, penghapusan UN dianggap mengurangi tekanan psikologis pada siswa, yang sebelumnya merasa stres dengan ekspektasi kelulusan. Tanpa UN, siswa dan guru memiliki kebebasan untuk menentukan fokus pembelajaran sesuai dengan minat dan kebutuhan masing-masing.

Guru juga tidak lagi terjebak pada persiapan ujian nasional, sehingga mereka dapat lebih kreatif dalam metode pengajaran. Selain itu, penilaian tanpa UN memungkinkan keterampilan siswa yang beragam, seperti seni atau olahraga, untuk lebih dihargai. Dana yang sebelumnya digunakan untuk penyelenggaraan UN pun dapat dialihkan untuk meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan.

Meskipun ada keuntungan dari penghapusan UN, saya berpendapat bahwa UN sebaiknya diadakan kembali. Kehilangan UN telah mengurangi motivasi siswa untuk belajar dan berkompetisi. Bahkan, banyak siswa di tingkat SMP dan SMA yang masih kesulitan membaca dengan lancar. UN dapat memberikan target yang jelas bagi siswa dan menjadi alat evaluasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah.

Selain itu, UN tidak hanya mengukur kemampuan siswa, tetapi juga menjadi cerminan kinerja sekolah dan tenaga pendidik. Dengan adanya UN, sekolah dapat mengidentifikasi kekurangan dalam metode pengajaran mereka dan segera melakukan perbaikan. Hal ini penting untuk memastikan pendidikan di Indonesia terus berkembang dan mampu bersaing di tingkat global.

Baca Juga: Mewujudkan Pendidikan Berkualitas untuk Menjembatani Ketimpangan Sosial dan Ekonomi

Tentu saja, pelaksanaan UN harus disertai dengan perbaikan sistem. Misalnya, penerapan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) dapat meminimalkan kecurangan dan meningkatkan efisiensi. Selain itu, soal-soal UN perlu dirancang agar tidak hanya mengukur kemampuan kognitif, tetapi juga aspek lain seperti pemecahan masalah dan keterampilan berpikir kritis.

Kesimpulannya, wacana pengembalian UN adalah langkah yang layak dipertimbangkan, asalkan disertai dengan reformasi yang mendukung tujuan pendidikan yang lebih holistik. UN dapat menjadi alat penting untuk mendorong siswa, guru, dan sekolah menuju kualitas pendidikan yang lebih baik. Dalam era persaingan global, standar yang jelas dan konsisten sangat dibutuhkan untuk memastikan Indonesia tidak tertinggal.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *