Di berbagai forum internasional, istilah transisi energi kerap terdengar begitu megah. Ia digambarkan sebagai jalan menuju dunia yang lebih hijau, udara yang bersih, dan masa depan yang berkelanjutan. Namun di pesisir utara Jawa Barat, tepatnya di Indramayu, kata “transisi” justru membawa arti yang lebih getir: ketidakpastian hidup.
Bayang Cerobong yang Mulai Redup
Selama lebih dari satu dekade, PLTU Indramayu menjadi salah satu penopang utama pasokan listrik di sistem Jawa-Bali. Namun kini, pembangkit itu masuk daftar yang akan dipensiunkan lebih awal. Langkah tersebut disebut sebagai bagian dari komitmen Indonesia untuk menekan emisi karbon dan memenuhi target energi hijau.
Di atas kertas, keputusan ini tampak sebagai kemajuan. Tetapi di lapangan, kehidupan masyarakat sekitar justru pelan-pelan kehilangan pijakan. Bagi mereka, energi bukan sekadar listrik yang mengalir ke rumah-rumah di kota, melainkan sumber nafkah, tempat kerja, dan simbol harga diri.
Ketika cerobong berhenti mengepulkan asap, ekonomi lokal pun meredup. Warung-warung di sekitar pelabuhan batubara mulai sepi, truk pengangkut berhenti beroperasi, dan para pekerja kontrak pulang tanpa kepastian. Demi masa depan yang lebih hijau, masa depan manusia di sekitarnya justru menjadi abu-abu.
Energi Tidak Pernah Netral
Dalam wacana kebijakan publik, energi sering dipandang sebagai urusan teknis tentang bahan bakar, mesin, dan efisiensi. Padahal, di balik setiap kebijakan energi, selalu tersimpan politik kekuasaan.
Keputusan kapan PLTU dimatikan, siapa yang mendapat pendanaan untuk proyek hijau, dan wilayah mana yang dipilih menjadi lokasi pembangunan, semuanya sarat dengan muatan sosial dan ekonomi. Teori political ecology menjelaskan bahwa energi bukan hanya benda mati, melainkan medan kekuasaan.
PLTU Indramayu tidak “berhenti” dengan sendirinya, melainkan dihentikan oleh rangkaian kepentingan yang kini bergeser dari batubara menuju energi terbarukan. Dari industrialisasi lokal menuju investasi global. Energi tidak pernah benar-benar netral;
ia hanya berganti bentuk dan penerima manfaat. Maka, transisi energi sejatinya bukan sekadar peralihan dari batu bara ke tenaga surya, tetapi pergeseran kuasa dari yang lemah ke yang lebih kuat.
Ketimpangan yang Tidak Terlihat
Kebijakan pensiun dini PLTU seharusnya menjadi tonggak kemajuan menuju lingkungan yang lebih bersih. Namun bagi sebagian besar masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada aktivitas PLTU, kebijakan ini justru membuka wajah lain dari ketimpangan sosial.
Para buruh, sopir truk, pedagang kecil, hingga pemilik rumah makan di sekitar kawasan industri mereka yang menjadi tulang punggung energi negeri tidak pernah benar-benar dilibatkan dalam pembicaraan mengenai “transisi yang adil”.
Saat PLTU dibangun, mereka kehilangan lahan dan udara bersih. Kini, ketika PLTU ditutup, mereka kembali kehilangan pekerjaan. Ironisnya, perusahaan dan lembaga internasional yang mendorong transisi justru mendapat reputasi sebagai “pahlawan hijau”.
Inilah paradoks green capitalism, di mana yang kuat menukar batu bara dengan panel surya, tetapi yang lemah tetap menukar hidupnya demi bertahan. Dalam perspektif Marx, ini bukan semata persoalan ekonomi, melainkan persoalan siapa yang memiliki alat produksi dan siapa yang terasing darinya. Energi bersih tanpa keadilan sosial hanyalah citra moral yang dibangun di atas fondasi timpang.
Daya Ungkit dari Abu yang Tersisa
Meski begitu, tidak semua kisah berakhir muram. Di tengah keheningan cerobong dan debu yang tersisa, sebagian warga Indramayu mulai bangkit. Beberapa mantan pekerja membuka bengkel kecil, warung makan, atau bergabung dengan koperasi nelayan. Mereka membangun kehidupan baru dengan tangan sendiri, tanpa banyak bantuan dari program transisi yang dijanjikan.
Dari kegigihan itulah muncul daya ungkit sosial semangat untuk menciptakan alternatif di tengah keterbatasan. Kekuatan masyarakat lokal ini bukan sekadar bentuk adaptasi, tetapi juga perlawanan terhadap sistem yang abai. Mereka membuktikan bahwa energi sejati bukan hanya berasal dari mesin dan batu bara, tetapi juga dari tekad manusia yang menolak menyerah.
Energi manusia ini tidak diukur dalam megawatt, melainkan dalam keteguhan, solidaritas, dan daya hidup. Mereka tidak lagi menghidupkan mesin, tetapi menghidupkan makna bahwa keberlanjutan sejati tidak hanya untuk bumi, melainkan juga untuk manusia yang berdiri di atasnya.
Menyalakan Keadilan di Tengah Transisi
Transisi energi seharusnya tidak hanya berorientasi pada teknologi dan emisi, tetapi juga pada keadilan sosial. Kasus PLTU Indramayu menjadi pengingat bahwa keberlanjutan tidak akan pernah berarti bila melupakan manusia yang terdampak langsung. Energi yang bersih bagi lingkungan, tetapi kotor bagi nurani, hanyalah paradoks yang perlu dikoreksi.
Ke depan, transisi energi harus melibatkan masyarakat di garis depan perubahan. Bukan hanya sebagai objek kebijakan, tetapi sebagai subjek yang berdaulat atas kehidupannya sendiri.
Saat Mesin Berhenti, Nurani Harus Menyala
Mungkin kelak, langit Indramayu benar-benar menjadi lebih biru, bebas dari asap PLTU. Namun di bawah langit itu, ada keluarga yang masih bertanya-tanya tentang cara bertahan hidup di dunia yang katanya telah diselamatkan.
Transisi energi sejati bukanlah tentang memadamkan api batu bara semata, melainkan tentang menyalakan cahaya keadilan agar tak ada satu pun manusia yang ditinggalkan dalam perjalanan menuju masa depan hijau.





