Dulu, olahraga identik dengan keringat dan napas ngos-ngosan. Aktivitas fisik dilakukan diam-diam, untuk diri sendiri. Tapi sekarang, di era media sosial, khususnya di tangan generasi milenial dan Gen Z, olahraga naik level, bukan sekadar rutinitas kesehatan, tapi juga konten.
Fenomena ini terlihat jelas saat seseorang baru selesai lari lalu mengunggah tangkapan layar pace-nya di Instagram Story. Atau baru sepedaan keliling kompleks dua kali, sudah share peta Strava lengkap dengan grafiknya. Seakan-akan, olahraga masa kini kurang afdal kalau tidak dipamerkan.
Salah satu “aktor utama” dari tren ini adalah Strava, sebuah aplikasi pelacak aktivitas olahraga yang kini juga berfungsi layaknya media sosial. Di dalamnya ada fitur kudos (semacam tombol like), saling follow antar pengguna, bahkan komentar yang kadang lebih menyemangati dari alarm subuh. Strava bukan lagi sekadar alat pelacak, tapi wadah pencarian eksistensi digital lewat olahraga.
Di satu sisi, validasi digital seperti kudos dan komentar bisa menjadi penyemangat. Ada rasa puas tersendiri ketika berhasil menyelesaikan 5K run dan mendapatkan pujian dari teman. Kata-kata seperti “Wih, pace-nya keren!” atau “Konsisten banget kamu!” bisa lebih ampuh memotivasi dibanding alarm atau niat pribadi. Semangat pun meningkat, dan olahraga jadi lebih rutin.
Namun, di sisi lain, tak sedikit pula yang merasa terbebani. Setiap hari merasa harus ada progres, harus olahraga supaya bisa posting, harus tampil aktif meski tubuh belum tentu siap. Lama-kelamaan, semua jadi semacam lomba. Tapi bukan lomba dengan orang lain, melainkan lomba melawan ekspektasi yang kita ciptakan sendiri, ekspektasi dari notifikasi dan angka-angka.
Inilah yang dikenal sebagai fenomena quantified self, yaitu kecenderungan mengukur kualitas hidup berdasarkan angka: berapa kilometer hari ini, berapa kalori terbakar, berapa kudos yang dikumpulkan. Data menjadi identitas.
Kita semakin terlihat aktif jika semakin sering update aktivitas. Dan ketika update itu tidak muncul, muncul pula perasaan bersalah. Padahal, esensi olahraga bisa saja hilang saat angka-angka itu malah menciptakan kecemasan.
Pasca pandemi, banyak orang mencari cara untuk tetap terhubung. Tidak sedikit yang menemukan Strava sebagai ruang aman, tempat untuk merasa sejalan dengan teman-teman meski terpisah jarak. Ada rasa kebersamaan ketika melihat teman juga lari di pagi hari, atau bersepeda saat weekend. Kita merasa “barengan” walau di lokasi yang berbeda.
Namun, ruang yang awalnya aman ini bisa berubah menjadi ajang pembuktian. Sebuah tempat yang memunculkan rasa takut ketinggalan update ketimbang semangat ingin sehat. Yang muncul bukan lagi niat tulus untuk bergerak, melainkan rasa bersaing yang diam-diam hadir.
Pada akhirnya, Strava dan media sosial olahraga lainnya punya dua sisi. Ia bisa menjadi penyemangat luar biasa, atau tekanan tak kasat mata. Dan sebelum kita memutuskan upload rute lari terbaru, mungkin penting untuk bertanya ke diri sendiri: apakah aku lari karena ingin sehat, atau karena tidak ingin tertinggal dari teman-teman?
Jawaban jujur mungkin tidak selalu terlihat di layar. Tapi bisa dirasakan saat kaki bergerak mantap, napas mengalun tenang, dan hati terasa lega. Mungkin, itulah bentuk olahraga yang paling murni bukan untuk dilihat, tapi cukup untuk dirasakan.





