Kompetisi Bebas ala Adam Smith: Gojek–Grab dan Dinamika Pasar Digital Indonesia

Penulis Kompetisi Bebas ala Adam Smith: Gojek–Grab dan Dinamika Pasar Digital Indonesia - Sendi Pramudita
Penulis Kompetisi Bebas ala Adam Smith: Gojek–Grab dan Dinamika Pasar Digital Indonesia - Sendi Pramudita

Persaingan antara Gojek dan Grab kerap dibaca semata sebagai kisah duel dua raksasa teknologi di sektor transportasi daring. Padahal, jika ditelisik lebih dalam, dinamika keduanya mencerminkan praktik kompetisi bebas sebagaimana digagas Adam Smith lebih dari dua abad silam.

Dalam konteks Indonesia yang sarat regulasi, kisah Gojek dan Grab menghadirkan pelajaran penting tentang bagaimana mekanisme pasar tetap mampu mendorong efisiensi, inovasi, dan inklusivitas ekonomi, meskipun berada dalam kerangka hukum yang ketat dan kerap berubah.

Bacaan Lainnya

Dalam The Wealth of Nations, Adam Smith menegaskan bahwa kepentingan pribadi, ketika dipertemukan dalam arena persaingan, justru dapat menghasilkan manfaat kolektif melalui mekanisme yang ia sebut sebagai “tangan tak terlihat”.

Pada Bab X, Smith menjelaskan bagaimana persaingan antarpedagang mendorong penurunan harga, peningkatan kualitas layanan, serta perluasan akses barang dan jasa tanpa perlu campur tangan negara yang berlebihan. Prinsip ini tetap relevan di era ekonomi digital, ketika inovasi teknologi bergerak jauh lebih cepat daripada kemampuan negara menyusun regulasi.

Gojek dan Grab merupakan representasi paling nyata dari prinsip tersebut di Indonesia. Gojek berdiri pada 2010 sebagai layanan pemesanan ojek berbasis telepon, sebelum bertransformasi menjadi platform digital yang mengintegrasikan transportasi, pembayaran, hingga pengantaran makanan.

Grab, yang masuk ke pasar Indonesia sekitar 2014, datang dengan model bisnis serupa dan strategi ekspansi agresif. Pertemuan dua pemain ini menciptakan kompetisi intens yang mengubah wajah transportasi perkotaan secara fundamental.

Sebelum kehadiran platform daring, ojek konvensional beroperasi tanpa standar tarif yang jelas, dengan waktu tunggu tidak pasti dan jangkauan terbatas. Gojek mengintervensi persoalan tersebut melalui algoritma pencocokan pengemudi dan penumpang, pemanfaatan GPS real time, serta sistem pembayaran non tunai.

Grab merespons dengan pengembangan layanan sejenis, bahkan memperluas portofolio ke sektor logistik dan keuangan digital. Persaingan ini melahirkan inovasi berkelanjutan yang langsung dirasakan konsumen, mulai dari tarif yang lebih transparan hingga waktu tunggu yang jauh lebih singkat.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa sektor transportasi berbasis aplikasi telah menyerap sekitar empat juta tenaga kerja informal pada 2023, dengan laju pertumbuhan mencapai 25 persen per tahun. Angka ini menegaskan bahwa kompetisi tidak hanya menciptakan efisiensi, tetapi juga memperluas kesempatan kerja.

Dari sisi konsumen, perang tarif yang terjadi di masa awal ekspansi berhasil menurunkan ongkos perjalanan hingga 30 sampai 40 persen, membuat layanan transportasi menjadi lebih terjangkau bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.

Inovasi teknologi juga menjadi buah langsung dari persaingan tersebut. Gojek mengembangkan sistem prediksi permintaan berbasis kecerdasan buatan untuk mengurangi lonjakan harga ekstrem, sementara Grab mengoptimalkan pemetaan wilayah layanan hingga ke daerah pinggiran.

Akses terhadap layanan ini tidak terbatas di kota besar, melainkan menjangkau wilayah pedesaan di Jawa dan Sumatra melalui penetrasi ponsel pintar berbiaya rendah. Dalam kerangka Smithian, inilah bentuk ekonomi inklusif yang tumbuh dari dorongan pasar, bukan dari perintah negara.

Namun, keberhasilan ini tidak berlangsung di ruang hampa. Regulasi pemerintah memainkan peran signifikan, baik sebagai penopang maupun penghambat. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 yang mengatur tarif batas bawah dan atas, serta Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, disusun dengan semangat melindungi konsumen dan pelaku usaha lama. Pada praktiknya, regulasi tersebut sempat memicu ketegangan, sebagaimana terlihat dalam aksi protes sopir taksi konvensional pada 2016.

Gojek dan Grab merespons tekanan tersebut dengan menyesuaikan diri pada kerangka hukum yang ada, termasuk mendaftarkan pengemudi, memungut pajak pertambahan nilai melalui aplikasi, serta memperkuat aspek keselamatan.

Meski demikian, birokrasi yang berbelit tetap menjadi tantangan serius. Proses sertifikasi kendaraan yang memakan waktu berminggu-minggu berdampak pada peningkatan biaya operasional, yang pada akhirnya mengurangi fleksibilitas pasar.

Persoalan lain muncul ketika Grab mengakuisisi Uber di Asia Tenggara pada 2018. Merger ini memunculkan kekhawatiran akan praktik monopoli dan melemahnya persaingan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha melakukan penyelidikan, namun tidak menjatuhkan sanksi berat setelah Grab menyatakan komitmen investasi besar di Indonesia.

Kehadiran Gojek memang mencegah terbentuknya monopoli tunggal, tetapi struktur pasar duopoli tetap menyisakan pertanyaan tentang seberapa jauh prinsip kompetisi bebas dapat bertahan.

Ujian paling nyata terhadap fleksibilitas pasar terjadi saat pandemi Covid 19. Pembatasan mobilitas menghantam sektor transportasi, tetapi kedua platform mampu beradaptasi dengan cepat. Gojek mengembangkan layanan kesehatan dan mendukung distribusi makanan bagi jutaan pelaku UMKM, sementara Grab bekerja sama dengan pemerintah dalam penyaluran bantuan sosial. Respons ini menunjukkan bahwa mekanisme pasar, ketika diberi ruang, memiliki daya lentur tinggi dalam menghadapi krisis.

Kontradiksi regulasi semakin terasa dalam beberapa tahun terakhir. Undang Undang Cipta Kerja membuka ruang investasi dan menyederhanakan perizinan, sejalan dengan semangat pasar bebas.

Sebaliknya, kebijakan ketenagakerjaan yang mengatur pendapatan pengemudi secara kaku memicu ketegangan baru. Survei Jakpat pada 2024 mencatat bahwa sebagian besar pengemudi merasa pendapatannya cukup, tetapi tidak sedikit yang menilai pembatasan tarif menghambat mekanisme tawar menawar alami antara penawaran dan permintaan.

Dalam perspektif Adam Smith, regulasi yang terlalu jauh mengintervensi harga berpotensi mengaburkan sinyal pasar. Negara seharusnya memusatkan perhatian pada penetapan standar keselamatan, kepastian hukum, dan sistem pajak yang adil, bukan mengatur detail transaksi yang seharusnya diserahkan pada dinamika persaingan.

Terlepas dari berbagai ketegangan tersebut, Gojek dan Grab telah membangun ekosistem digital berskala nasional. Jutaan pengguna, puluhan juta transaksi harian, serta integrasi dengan sistem keuangan formal memperlihatkan bagaimana kompetisi mendorong transformasi struktural ekonomi. Indonesia memilih jalur moderat, tidak menutup pasar secara ketat sebagaimana beberapa negara lain, tetapi juga tidak melepasnya tanpa kendali.

Kisah Gojek dan Grab menegaskan bahwa persaingan bukan ancaman bagi ketertiban ekonomi, melainkan sumber pembaruan. Tantangan ke depan terletak pada kemampuan negara menata regulasi yang adaptif, memberi ruang bagi inovasi, sekaligus memastikan perlindungan publik.

Jika keseimbangan ini tercapai, Indonesia berpeluang menjadi rujukan pengelolaan ekonomi digital di kawasan ASEAN, dengan kompetisi sebagai fondasi utama kemakmuran bersama.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *