Perkembangan Islam di Asia Selatan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha yang telah lebih dahulu hadir di kawasan tersebut. Realitas ini menjadi tantangan tersendiri bagi para penyiar agama Islam, terlebih ketika Islam yang mereka bawa telah terlebih dahulu terpengaruh oleh budaya Persia dan Turki. Di sisi lain, pengaruh Eropa juga mulai masuk, memberikan warna baru dalam proses islamisasi di kawasan ini.
Pengaruh Turki dapat dikenali dari gaya arsitektur masjid dan bangunan keagamaan, sementara budaya Persia sangat memengaruhi sistem administrasi dan sastra Islam di India. Tradisi Hindu meninggalkan jejak dalam bentuk stratifikasi sosial yang cukup kental, sedangkan Eropa memberikan pengaruh melalui ide nasionalisme yang mulai tumbuh dan menjalar di berbagai wilayah Asia Selatan, termasuk Asia Tenggara.
Salah satu bukti nyata bahwa Asia Selatan menjadi pusat perkembangan Islam yang signifikan adalah berdirinya Kerajaan Mughal. Kerajaan ini berdiri di atas legitimasi Islam, bersifat kosmopolitan, dan memiliki identitas keindiaan yang kuat.
Warisan intelektual dan budaya yang ditinggalkan Kerajaan Mughal memiliki dampak besar dalam pembentukan identitas Islam di kawasan ini, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan. Namun, pada abad ke-19 dan ke-20, dominasi Eropa mulai menggerus pengaruh Islam tradisional dan mendorong perubahan besar terhadap identitas keagamaan dan etnik masyarakat.
Perkembangan awal Islam di India memang lebih terfokus pada perluasan wilayah daripada pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, mulai abad ke-10, terjadi pergeseran signifikan. Ini ditandai dengan berdirinya madrasah-madrasah dan munculnya ulama yang mulai menyusun kurikulum pendidikan Islam, meliputi tafsir, hadis, fikih, dan akidah.
Keberadaan madrasah tidak hanya menarik minat pelajar dari wilayah India sendiri, tetapi juga dari kawasan lain seperti Yaman dan Syam. Hal ini menciptakan jejaring keilmuan yang luas dan mendorong ulama untuk menulis karya serta menjalin hubungan keilmuan lintas negara.
Pada masa awal, fikih lebih dominan dalam kurikulum pendidikan Islam di India, sementara ilmu hadis cenderung diabaikan. Belum ada alasan pasti mengapa fikih lebih diprioritaskan. Barulah pada abad ke-12, ilmu hadis mulai mendapatkan tempat dalam sistem pendidikan Islam, terutama setelah banyak pelajar India menuntut ilmu di Makkah dan kembali ke tanah air dengan membawa pengetahuan hadis yang diperoleh dari para ulama di Tanah Suci.
Salah satu tokoh penting dalam kebangkitan ilmu hadis di India adalah Muhammad Husain Batalvi. Kontribusi paling menonjol dari Batalvi terwujud melalui gerakan pena yang ia rintis dan kembangkan secara konsisten.
Pada tahun 1885, ia mendirikan majalah Isha’at-as-Sunnah, yang menjadi platform penting untuk menyebarkan pemikiran Ahl-i Hadith. Majalah ini tidak hanya menjadi sarana edukasi keagamaan, tetapi juga wadah untuk membahas isu-isu sosial dan politik yang dihadapi umat Islam saat itu.
Melalui tulisan-tulisannya, Batalvi mengajak umat Islam untuk kembali pada ajaran murni Islam, menolak praktik-praktik keagamaan yang dianggap sebagai bid’ah, dan memperkuat pentingnya sanad sebagai tolok ukur keabsahan hadis. Majalah ini juga menjadi forum terbuka untuk diskusi keagamaan dan membentuk opini publik Muslim yang lebih rasional dan ilmiah.
Batalvi juga dikenal sebagai kritikus keras terhadap ajaran yang dianggap menyimpang, terutama terhadap klaim Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Gerakan Ahmadiyah. Awalnya Batalvi sempat memberikan dukungan kepada Ahmad.
Namun seiring waktu, ia mulai melihat adanya penyimpangan dalam ajaran Ahmad, terutama ketika ia mengklaim sebagai Mesias. Batalvi pun secara terbuka menentang klaim tersebut dan mengingatkan umat agar tidak terjerumus dalam pemikiran yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis.
Dengan kekuatan pena dan argumen yang tajam, Batalvi berupaya membangkitkan kesadaran umat Islam terhadap pentingnya menjaga kemurnian ajaran Islam dari pengaruh ajaran dan ideologi yang menyimpang. Ia menekankan bahwa pemahaman Islam harus bersandar pada sumber-sumber otentik dan tidak boleh dipengaruhi oleh kepentingan kelompok atau ideologi sesat.
Dalam bidang pendidikan, Batalvi memberikan perhatian besar terhadap pengajaran dan penyebaran ilmu hadis. Ia meyakini bahwa pendidikan merupakan kunci untuk membentuk masyarakat yang berpengetahuan dan berakhlak mulia. Untuk itu, ia mendorong generasi muda Muslim agar mempelajari hadis dengan pendekatan yang sistematis dan kontekstual.
Selain menulis dan mengajar, Batalvi juga aktif mengorganisir seminar serta diskusi keilmuan seputar hadis dan isu-isu keagamaan lainnya. Ia mengundang para ulama dan cendekiawan untuk berdialog dan berbagi ilmu pengetahuan. Upaya ini tidak hanya memperkaya wawasan umat, tetapi juga menciptakan komunitas intelektual Islam yang kritis dan berkomitmen terhadap kemajuan ilmu pengetahuan keislaman.
Dengan semua kontribusi tersebut, Muhammad Husain Batalvi layak dikenang sebagai tokoh penting dalam perkembangan ilmu hadis di India serta pelopor gerakan literasi Islam yang mengedepankan argumentasi ilmiah dan pemurnian ajaran agama. Warisannya dalam dunia tulis-menulis dan pendidikan agama terus menjadi inspirasi bagi generasi Muslim hingga kini.





