Korupsi di Halaman Sendiri: Patologi Sosial yang Mengakar di Lingkungan RT

Menggambarkan bahwa korupsi tidak hanya terjadi di gedung tinggi, tetapi juga dapat tumbuh diam-diam di lingkungan kecil seperti RT dan harapan perubahan dimulai dari warga yang berani menjaga kejujuran.
Menggambarkan bahwa korupsi tidak hanya terjadi di gedung tinggi, tetapi juga dapat tumbuh diam-diam di lingkungan kecil seperti RT dan harapan perubahan dimulai dari warga yang berani menjaga kejujuran.

Ketika kita mendengar kata korupsi, pikiran kita biasanya langsung tertuju pada gedung-gedung tinggi, pejabat berdasi, dan angka-angka besar yang mencengangkan di layar berita. Namun, siapa sangka bahwa praktik korupsi ternyata bisa tumbuh subur di tempat yang jauh lebih kecil dan dekat dengan kehidupan kita yakni di lingkungan rukun tetangga (RT).

Di tempat yang seharusnya menjadi simbol gotong royong dan kepercayaan sosial, korupsi justru bisa berakar dalam bentuk paling sederhana namun berdampak besar.

Bacaan Lainnya

Patologi sosial seperti korupsi tidak mengenal batas wilayah, suku, atau agama. Ia bisa tumbuh di mana saja, termasuk di tingkat masyarakat paling bawah. Korupsi di lingkungan RT mungkin tidak melibatkan miliaran rupiah seperti di pemerintahan pusat, tetapi dampak sosial dan moralnya tidak kalah serius. Ia merusak fondasi dasar kehidupan bermasyarakat yakni kejujuran, amanah, dan rasa saling percaya.

Menurut laporan Transparency International 2024, Indonesia masih berada di peringkat 115 dari 180 negara dengan skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) sebesar 34 dari 100 poin. Angka ini menunjukkan bahwa praktik korupsi bukan hanya masalah elite, tetapi juga mencerminkan budaya yang sudah mengakar di masyarakat. Dengan kata lain, korupsi besar yang kita lihat di berita adalah cerminan dari perilaku kecil yang sering dibiarkan di lingkungan sekitar.

Fenomena korupsi di lingkungan RT sering muncul dalam bentuk sederhana: iuran warga yang tidak jelas penggunaannya, laporan keuangan yang tidak transparan, bantuan sosial yang dibagikan tidak adil, hingga keputusan pengurus yang lebih menguntungkan pihak tertentu. Meski nilainya kecil, perilaku ini menunjukkan hilangnya nilai moral dan tanggung jawab sosial.

Masalahnya bukan pada jumlah uang yang diselewengkan, tetapi pada rusaknya nilai kejujuran dan rasa malu. Saat tindakan menyimpang dianggap wajar dan tidak dipermasalahkan, di situlah patologi sosial mulai berkembang. “Kalau cuma uang ratusan ribu, buat apa diributkan?” adalah bentuk pembenaran yang sering muncul di masyarakat. Padahal, dari hal kecil seperti inilah korupsi besar berakar.

Fenomena ini juga menggambarkan bagaimana nilai sosial masyarakat mulai memudar. Rasa malu, tanggung jawab sosial, dan keikhlasan dalam melayani warga perlahan tergantikan oleh kepentingan pribadi dan ego kelompok. Lingkungan RT yang seharusnya menjadi ruang solidaritas sosial justru berubah menjadi arena kepentingan individu.

Korupsi di RT bukan sekadar persoalan moral individu, melainkan gambaran mikro dari patologi sosial bangsa. Jika kita menelusuri, praktik serupa juga terjadi di berbagai desa dan kelurahan di Indonesia. Misalnya, laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2023 mencatat bahwa 13 persen kasus korupsi di Indonesia terjadi di tingkat desa, termasuk penyelewengan dana bantuan sosial dan dana pembangunan.

Artinya, perilaku menyimpang di tingkat bawah memiliki keterkaitan langsung dengan budaya korupsi di tingkat atas. Seperti pohon yang akarnya tertanam di tanah, korupsi di pemerintahan tumbuh dari bibit-bibit kecil yang tidak pernah diberantas di masyarakat. Bila di RT saja warga membiarkan pengurus memanipulasi dana, bagaimana mungkin mereka bisa menuntut pejabat publik untuk bersih?

Korupsi di lingkungan RT bisa muncul dalam berbagai wajah. Ada pengurus yang menggunakan dana kas warga untuk kepentingan pribadi, ada laporan pertanggungjawaban kegiatan yang dibuat ala kadarnya, dan ada pula praktik nepotisme di mana bantuan sosial hanya diberikan kepada kerabat atau orang dekat. Bentuk lain yang sering luput dari perhatian adalah korupsi waktu dan tanggung jawab, di mana seseorang lalai menjalankan amanahnya tetapi tetap menikmati fasilitas sosial.

Di sisi lain, korupsi juga bisa muncul dalam bentuk “moral hazard” yang lebih halus seperti mencari keuntungan pribadi dari jabatan sosial. Misalnya, pengurus yang merasa berhak mendapat imbalan karena telah mengurus lingkungan, padahal tugas itu merupakan bentuk pengabdian bersama. Inilah yang disebut oleh sosiolog Robert K. Merton sebagai “disfungsi sosial”, di mana nilai gotong royong berubah menjadi alat mencari keuntungan.

Ada beberapa faktor yang membuat korupsi di lingkungan RT bisa bertahan. Pertama, kurangnya transparansi dan pengawasan. Banyak warga yang pasif dan tidak mau tahu soal laporan keuangan, sehingga pengurus merasa aman untuk “bermain-main” dengan tanggung jawabnya.

Kedua, budaya permisif yakni anggapan bahwa penyimpangan kecil tidak perlu dipersoalkan. Lama-kelamaan, hal ini membentuk budaya baru di mana korupsi dianggap lumrah.

Ketiga, motif ekonomi dan ego pribadi. Dalam situasi ekonomi sulit, sebagian orang mungkin merasa wajar mengambil sedikit keuntungan dari dana bersama. Padahal, itu sama saja dengan mencuri hak orang lain.

Terakhir, rendahnya kesadaran spiritual dan moral. Ketika amanah tidak lagi dianggap suci, penyimpangan menjadi mudah dilakukan. Dalam konteks ini, pendidikan karakter dan nilai-nilai agama menjadi kunci untuk membangun kesadaran kolektif agar warga lebih berintegritas.

Dampak paling nyata dari korupsi di tingkat RT adalah rusaknya kepercayaan antarwarga. Ketika dana iuran tidak dikelola secara jujur, warga mulai curiga dan enggan berpartisipasi dalam kegiatan sosial.

Perlahan muncul gejala disintegrasi sosial dimana menurunnya rasa kebersamaan dan solidaritas. Akibatnya, semangat gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia semakin memudar.

Lebih berbahaya lagi, korupsi kecil di tingkat RT memberi contoh buruk bagi generasi muda. Anak-anak tumbuh dengan melihat bahwa kebohongan dan kecurangan bisa diterima selama tidak ketahuan.

Ini menciptakan siklus moral yang rusak, di mana kejujuran dianggap tidak penting dan penyimpangan menjadi hal biasa. Jika hal ini terus dibiarkan, maka masa depan bangsa akan dibangun di atas fondasi moral yang rapuh.

Mencegah korupsi di RT bukan hal mustahil. Justru di sinilah langkah kecil bisa membawa perubahan besar. Upaya pertama adalah membangun transparansi keuangan. Setiap dana warga harus dicatat, dilaporkan, dan dapat diakses oleh siapa pun.

Pengurus yang terbuka justru akan mendapat kepercayaan lebih besar dari warga. Kedua, meningkatkan partisipasi warga dalam setiap pengambilan keputusan. Setiap warga berhak mengetahui dan ikut mengawasi bagaimana uang bersama digunakan.

Ketiga, menanamkan kembali nilai kejujuran dan amanah. Pendidikan moral dan agama harus menjadi fondasi perilaku sosial, tidak hanya di sekolah tetapi juga di lingkungan tempat tinggal. Keempat, mendorong budaya kontrol sosial. Warga harus berani menegur dan mengingatkan ketika ada sesuatu yang tidak semestinya, tanpa takut dianggap ikut campur. Perubahan besar berawal dari keberanian kecil untuk berkata benar.

Seperti dikatakan oleh tokoh antikorupsi Indonesia, Busyro Muqoddas, “Korupsi bukan hanya persoalan hukum, tapi juga soal budaya dan kejujuran.” Maka, jika kita ingin bangsa ini bersih, kita harus mulai menanamkan nilai kejujuran sejak di tingkat paling bawah dari lingkungan RT.

Korupsi di lingkungan RT adalah cermin kecil dari wajah bangsa. Ia mengingatkan kita bahwa tanggung jawab sosial tidak bisa dibangun dari atas ke bawah, melainkan dari bawah ke atas. Jika warga di tingkat terendah mampu menjaga amanah, maka struktur sosial di atasnya akan lebih kuat.

Kita mungkin tidak bisa langsung menghentikan korupsi di pemerintahan, tetapi kita bisa mulai dari halaman rumah sendiri dengan menolak segala bentuk penyimpangan sekecil apa pun. Karena bangsa yang bersih lahir dari warga yang jujur, dan warga yang jujur tumbuh dari lingkungan sosial yang sehat dan beretika.

Korupsi di lingkungan RT bukan sekadar soal uang yang hilang, tetapi soal hilangnya rasa malu, kejujuran, dan tanggung jawab sosial. Lingkungan RT seharusnya menjadi tempat belajar tentang kebersamaan, gotong royong, dan keadilan sosial.

Namun ketika nilai-nilai itu dikalahkan oleh kepentingan pribadi, makna “rukun” dalam rukun tetangga pun menjadi hampa. Sekali kepercayaan rusak, jauh lebih sulit memperbaikinya daripada sekadar mengganti uang yang hilang.

Karena itu, langkah pertama pemberantasan korupsi sebenarnya bukan di gedung pemerintahan, melainkan di rumah kita sendiri di halaman tempat kita berinteraksi setiap hari. Jika setiap warga mau menjaga amanah kecilnya dengan tulus, maka bersama-sama kita sedang menanam benih bangsa yang lebih bersih, adil, dan bermartabat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *